BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

SENJA DI BULAN NOPEMBER

Cerpen

Pena Laut
- Juragan kula’an mayat. Mayat tiga container 40 feet datang ke kampung kami. Kampung kalang kabut seperti rumah lebah yang terbakar api, semburat. Semburat semua orang berloncotan. Loncat dari tiap tiap kepala yang tak mengenali badannya. Badan yang juga merasa risih untuk menemui matanya. Mata yang ngeri menyongsong adegan asing. Asing yang mungkin pertama dan terakhir. Terakhir dari seribu mimpi yang celaka. Celaka andaikata tiga container itu tak segera dibongkar, mayat mayat jadi busuk, memang ada freezer di dalamnya, tapi sampai seberapa tahan freezer mampu nahan, belum lagi bensinnya juga sudah sangat mahal. Mahal buat juragan juga sebuah bisnis, dimana kula’an dengan semurah murahnya akan mendapatkan keuntungan sebesar besarnya. Besar dan kecilnya mayat juga tak mempengarui harga, juragan mborong. Mborong dengan ukuran dan bentuknya yang berbeda, warna kulit berbeda tak masalah. Masalahnya warga resah. Resah dengan tingkah pola juragan. Juragan melihat peluang bisnis yang luar biasa. Biasa yang dipikir tiap pengusaha. Pengusaha yang cerdas. Cerdas melihat pasar bebas. Bebas untuk bisnis apa saja. Apa saja yang yang membuat warga marah. Marah yang lahir dari nurani yang dikalahkan.

“ Apa sudah ndak ada barang yang lain untuk di kula’, sampai harus kula’an mayat? “.

“ Apa harga mayat mayat itu jauh lebih murah dari barang barang lain?”.

“ Apa karena harga harga barang itu terus melambung sampai Juragan kula’an mayat?”.

“Apa juga karena makin banyak mayat bergelimpangan dan ndak ada harganya?”.

“ Apa karena mayat mayat itu gampang dan murah untuk dikula’?”.



Mayat mayat membusuk. Membusuk karena para kuli menolak membongkarnya. Membongkarnya, menurut mereka sama dengan membuka aibnya. Aibnya sendiri sama dengan membunuh diri sendiri, menyeberangi mautnya sendiri, membunuh keluarga, anak anak, istri, kakek, nenek. Nenek moyang mereka tak pernah berani menyalahi budaya. Budaya haram menelanjangi harga diri di muka umum. Umum yang tidak umum ialah sebuah kenyataan yang harus diterima. Diterima mentah-mentah meski harus demonstrasi di jalan jalan. Jalan jalan yang belum mereka kenal akan terobosan bisnis yang melintasi pikiran Juragan dengan mutlak. Mutlak juga andaikata mereka menerima, toh nantinya bagi kesejahteraan . Kesejahteraan semua rakyat. Rakyat harus setuju demi terselenggaranya masyarakat yang adil dan makmur. Makmur yang bukan hanya milik cukong-cukong yang perutnya buncit. Buncit memang sebahagian besar mayat mayat itu karena sudah tujuh hari tujuh malam melewati laut, benua dan samudra. Samudra keterbukaan yang diharapkan masyarakat . Masyarakat tetap menolak membongkar dengan alasan takut dan ngeri. Ngeri dengan nasib yang nantinya juga mereka terima jika mereka nekat membongkar, karena nantinya mereka juga akan bernasib sama, semacam kutukan.

Akankah dibongkar container-container itu? Hari apa, tanggal berapa, bulan Jawa apa, Kliwon, Legi, Pahing, atau tahun berapa? Dimana? Dimanapun saja Juragan tak bakal nemukan orang orang yang sanggup membongkar isi container-nya, kecuali ia harus mendatangkan seratus atau dua ratus orang dari kampung lain, yang tentu dengan bayaran tiga kali lipat. Lipatan keuntungan itu pun juga dihitung oleh juragan. Juragan optimis bakal meraup keuntungan yang berlimpah ruah, melebihi keuntungan bisnis padi yang selama ini dilakoninya. Lakon yang ia terima dari Bapaknya. Bapaknya yang juga seorang rentenir ternama di kampung kami. Kami hidup memang juga dari Bapaknya. Bapaknya yang juga tega mempermainkan harga gabah, yang terkadang harganya tak pasti. Tak pasti naik turunnya hingga petani hanya mampu menggigit bibir. Bibirnya jadi biru karena tak pernah mengenyam keuntungan dari hasil panennya. Panennya sukses tapi harganya anjlok. Anjlok juga harga ketika panen tak sukses. Sukses yang terus diraih Bapak juragan. Juragan juga tinggal meneruskan menindas petani. Petani hanya bernyanyi sendiri di ruang sunyi. Sunyi membajaki sawahnya. Sawahnya yang juga suatu saat akan jadi gedung bertingkat yang dibeli dengan harga singkat. Singkat kata, Juragan memaksaku untuk segera membongkar container, sebelum terkena biaya denda atas menginapnya container. Container celaka, yang bakal membawa hikmah bagi kesejahteraanku juga Masyarakat. Masyarakat yang tak pernah paham akan hal demikian. Demikianlah bisnis. Bisnis yang sering tak memberikan toleransi peradaban. Peradaban mana yang punya ukuran kedewasaan nurani. Nurani yang tak lagi dimiliki Juragan.

“ Aku akan PHK kalian semua jika tak segera membongkar isi container ini !!. Aku sudah bosan kalian mengaturku. Kalian selalu nekan minta gaji naik, minta cuti hamil, cuti haid, cuti bersih bersih kampung, dan semua alasan alasan yang kalian Rekayasa, asalkan dapat cuti. Aku sudah bosan atas sikap kalian yang terus mengancam mogok besar besaran. Aku sudah bosan. Aku akan PHK kalian semua tanpa pesangon. Silakan protes. Aku tak perduli. Aku mendingan bayar Polisi untuk keamanan dari pada harga diriku diinjak injak “.

Maka semua karyawan di PHK. PHK besar besaran, karena bagi Juragan lebih baik membeli baju baru dari pada mencuci baju lama yang penuh bercak darah, tanpa pesangon. Pesongan ngaplo yang mereka terima. Terima kasih pun tidak. Tidak demikian yang mereka terima atas kedzaliman. Kedzaliman harus dilawan. Dilawan dengan demonstrasi besar besaran yang tak terkalahkan oleh ganasnya Polisi. Polisi yang juga dibayar juragan beradu, berhadap hadapan seperti ayam tanpa tandingan. Tandingannya hanya kilat yang bertaburan di angkasa. Angkasa bergolak seperti mau muntah melihat realitas yang tak wajar diterima nalar. Nalar bagi Juragan ngeluarkan dana yang tak berimbang, yang penting keuntungan. Keuntungan bagi sebuah bisnis besar yang tak terkalahkan oleh mimpi. Mimpi celaka bagiku jika proyek ini gagal. Gagal dan tidak semua bergantung padaku. Padakulah segala bisnis Juragan bergantung. Bergantung padaku semua perhitungan atas tiap barang yang dijual dan dibeli. Dibeli murah harga diriku sejak aku masih belum lahir. Lahir dengan hutang Ayah yang membuncit.

Membuncit juga perut ibu yang terbeli. Terbeli dengan jaminan kalau ayah tak bisa membayar hutang. Hutangku pada juragan seperti tak dapat ditebus. Ditebus dengan harga diripun tidak. Tidak juga dengan nyawa. Nyawa-nyawa yang tak berharga. Harga berapapun dibayarnya. Dibayarnya dengan merdeka. Merdeka bila semua keinginannya terkabul. Terkabul juga keinginan juragan membasmi demonstran. Demonstran yang sebagian besar juga bisa dibayar. Dibayar dengan pekerjaannya kembali. Kembali Juragan menang. Menang dengan kepala terangkat. Terangkat juga nasibku bila proyek Juragan terealisir. Terealisir pula container untuk dibongkar. Dibongkar oleh para kuli dari luar kota yang dibayar tiga kali lipat lebih mahal. Mahal tentunya cost untuk mayat mayat. Mayat mayat yang tanpa kepala. Kepala yang tanpa badan. Badan yang jari dan perutnya hancur. Hancur telinga yang menggantung di kepala. Kepala yang tanpa hidung. Hidung yang tak berbentuk hidung. Hidung yang tanpa lubang. Lubang mulut yang tak berbentuk bulat. Bulat oval bayi bayi yang melepuh karena ledakan. Ledakan yang menewaskan anak anak dan ibu ibu. Ibu ibu gosong dengan bayi yang putih karena melepuh masih di gendongan. Gendongan yang ter-cat warna darah. Darah yang amis meng-aroma-i isi container.

“ Ada berapa mayat yang tak bertelinga? Ada berapa mayat yang tak berkepala? Ada berapa kepala yang tanpa badan ? Ada berapa pasang jari yang remuk ? Ada berapa pasang kaki anak anak ? Ada berapa pasang tangan anak anak? Ada berapa pasang telinga anak anak ? Jangan lupa, hitung yang benar!! Khususnya untuk kepala dan telinga anak anak. Itu mahal harganya”.

Seperti robot aku menghitung anak-anak yang badannya tinggal separuh. Separuh ibu-ibu bunting dengan bayi yang juga masih di dalam perut. Perut-perut yang pecah. Pecah mata nggantung di kelopoknya satu. Satu peristiwa ngeri. Ngeri bagi lelaki celaka sepertiku. Sepertiku anak anak yang tak punya bapak. Bapak dari zaman yang tak pernah dipercaya oleh zaman. Zaman ku terima dengan rentengan telinga yang tak ku tahu berapa jumlah. Jumlah badan anak-anak tanpa kepala pertama ku hitung seribu. Seribu ke sepuluh ribu. Sepuluh ribu ke seratus ribu. Seratus ribu ke satu juta. Satu juta ke sepuluh juta. Sepuluh juta ke seratus juta. Seratus juta ke seribu juta. Seribu juta ke tak terhitung. Tak terhitung ke banyak. Banyak yang terus bertambah, seperti pancuran air yang tak henti henti jumlah kepala anak-anak tanpa badan. Badanku lemas, keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Tubuh gemetar. Gemetar seakan gigil dari maut yang tak kau percaya hadirnya.

“Hitung yang benar! Jangan kelewatan ! Semua mayat ini sudah ada pembelinya. Untuk rumah sakit ? Untuk Mahasiswa Kedokteran ? Untuk Donor organ ? Untuk tumbal ? Untuk Penjagalan ? Untuk Kolektor? Dan lain lain. Jadi, hitung yang benar. Juga untuk bonus, jangan lupa per seratusnya dapat satu mayat. Kalau seribu berarti sepuluh. Kalau satu miliar Kau hitung sendiri berapa ? . Ingat !”.

Aku menghitung, semacam karnaval. Karnaval dari kengerian. Kengerian bukan dari dongeng. Dongeng tentang anak-anak yang bersayap membawa senapan pergi ke medan perang. Perang yang mengebiri impian mereka. Mereka tak penah dapat kesempatan untuk bermain. Bermain dengan maut ialah pilihan terpaksa. Terpaksa menjalani lakon kebrutalan. Kebrutalan bisnis lebih sadis dari perang.

“Jangan ngelamun! Hitung yang betul, berapa pasang kepala bayi? “.

“Ada tiga ratus ribu juragan “.

“ Perempuan bunting yang gosong berapa ?”.

“ Lima ratus ribu Juragan “.

“ Perempuan bunting yang melepuh?”.

“ Lebih banyak juragan “.

“ Lebih banyak? Lebih banyak Berapa ? Ini uang bukan batu !”.

“ Ada tujuh ratus lima puluh , Juragan “.

“ Kurang, mestinya tujuh ratus lima puluh dua. Pasti ada yang mencuri ! Cepat laporkan polisi, sebelum pencurinya lari keluar kota. Cepat! Bilang sama Polisinya saya yang nyuruh. Cepat !”.

Aku yang kambing segera ke kantor polisi. Polisi yang berjaga ada empat segera meloncat. Meloncat seperti bajing loncat. Loncat bagai kilat dahsyat. Dahsyat kabar kehilangan mayat Juragan melebihi koruptor yang lari keluar negeri. Luar negeri semua jalannya sudah di blokade. Diblokade ketat laksana teroris yang bakal lolos. Lolos juga akhirnya Si pencuri. Pencuri tak ternama tapi bikin pecah kepala Juragan. Juragan kecolongan dari pesaing Bussinessman lain. Bussinessman lain yang seringkali memang berbuat curang untuk menjegal atau mencurangi tiap aktifitas bisnis Juragan dalam bentuk apapun. Apapun kecurangan itu sering kali dilawan Juragan dengan tindakan tindakan yang kadang lebih sadis, lebih gila, lebih brutal, lebih ngawur dan lebih tak masuk akal. Tak masuk akal memang kalau Juragan hanya diam membisu. Membisu sama dengan mati, begitu prinsipnya. Prinsip yang dikutuk-kan oleh Bapaknya. Bapaknya yang juga sama kejam. Kejam ialah pilihan yang tak bisa diingkari dalam bisnis. Bisnis apapun namanya.

“Sekarang coba kamu hitung berapa jumlah pasang mata yang lepas dari kelopaknya?’.

“ Ada dua ribu tiga ratus pasang, Juragan “.

“Bagus, itu sesuai Invoice. Nah, kalau anak anak yang badannya hancur ada berapa?”.

“ A-anakk-aaanakkk yang baaadannnya haancur?? Aaaada buuuuuuanyak, Juragan”.

“Buuuuanyak beerapa?! Hitung!! Cepat!!”.

“ Buuuuuuanyak, juuuuraaagan “.

“Hitunggggg!!”.

“Buuuuuuuanyakkkk”.

“Hitungggggggg”.

“Buanyaaakkkkk”.

Aku menghitung. Menghitung yang kabur. Kabur pandangan ngawur. Ngawur menyosongsong ratusan, bahkan ribuan, bahkan juga jutaan dari mayat anak-anak yang hancur badannya. Badan yang mungkin tertimpah granat liar atau juga ranjau tiba tiba yang tumbuh bersama rumputan. Rumputan yang tak pernah dapat ditebak di mana ujung rumahnya. Rumahnya yang juga meledak seketika karena rudal nyasar. Nyasar seperti mulut para politisi. Politisi yang ngelindur disiang bolong. Bolong juga hatiku mengidap racun nafsu. Nafsu untuk terus mengibarkan bendera-bendera kematian. Kematian abstrak seperti pisang goreng masuk wajan penggorengan. Penggorengan nasib anak-anak celaka yang tak mengenyam mimpi indah. Indah yang banyak diceritakan mengusung kedamaian. Kedamaian dimana banyak dibicarakan. Dibicarakan sambil melinting kumis dan membelai rambutnya yang klimis. Klimis darah wajah anak-anak yang badannya hancur. Hancur purnama di bulan Nopember. Nopember berdarah yang mengingatkan kita akan lolongan Anjing. Anjing-anjing berliur dilepas di medan perang. Perang yang tak menyisahkan mata air bening dalam air mata. Air mata sejuta bangsa tumpah sia sia. Sia sia kebudayaan yang digembar gemborkan. Gemborkan demokrasi. Demokrasi hanya dongeng sebelum tidur. Sebelum tidur angankan wajah wajah anak anak yang berseri seri menyongsong harapan. Harapan akan hangatnya Matahari. Matahari yang adil menyiramkan cahaya. Cahaya rohani berteduh. Berteduh di bawah bayang-bayang masa depan. Masa depan gemilang. Gemilang dari segala yang hilang. Hilang ……

“Berapa?????????!!!!!!!!”.

“Buuuuuannnnyakkkkk”.

“Beeeeeraaapaaaaaa?????!!!!!!!”.



Aku tercekik. Tercekik laksana kambing. Kambing yang disembelih. Disembelih sadis hingga meringis kelojotan. Kelojotan serasa Ayan. Ayan yang meledakkan gemuruh darah. Darah setetes tetes habis. Habis keberanianku. Keberanianku menentang keadaan. Keadaan mati yang sedetik detik. Detik yang berpacu dalam sirkuit tikungan ber-api . Api yang membakar seisi sukmaku. Sukmaku loyo serasa tikus terjerembab dalam got. Got-got peradaban panjang yang ditelikung oleh kelahiran manusia sendiri. Sendiri rasanya seperti menunggu mati yang tinggal sedetik. Sedetik lagi sisa nafasku terhirup. Terhirup amis darah menyentak hidungku. Hidungku tersadar dari mabuk berkepanjangan……….

“Hitunggggggggggggg!!!!!!!!”.

“Tidakkkkkkkkkkkkkkkkkk!!!!!!!!!!!!!!”.



Empat lelaki berbadan gempal menyergapku. Menyergapku sampai aku kaku – macam patung. Patung yang tak laku dijual. Dijual berapapun tak kan laku karena serupa moyet bersepatu. Sepatu dengan sol batu menyeruduk wajahku. Wajahku berantakan kayak kepala babi. Babi betul orang orang suka menjilat. Menjilat nasibnya yang di kerubungi lalat. Lalat lalat yang juga mengerubungi mulut Juragan yang bau tai. Tai kuda najis. Najis bila aku harus menyerahkan nurani pada para penjilat. Penjilat yang dikutuk para Nabi. Nabi siapa pun . Siapapun saja yang masih percaya akan kehidupan abadi setelah mati. Mati nurani ialah Juragan, sebuah kenyataan. Kenyataan dari ribuan orang yang tersesat. Tersesat jalan atau tersesat malam. Malam terkabung bertabur pecahan kaca. Pecahan kaca yang tak memberiku ruang bernafas. Bernafas di atas burung burung Nazar. Burung burung Nazar abadi membawa kabar kematian. Kematian yang merupakan lahan bisnisnya. Bisnisnya yang terus mengalir. Mengalir tak habis habisnya seperti ada mata air yang menyemburkannya. Menyemburkannya penuh kesegaran. Kesegaran mayat mayat lokal yang diharapkan, yang tentu jauh lebih mahal, lebih fresh, lebih segar, lebih cocok untuk export. Export-nya makin melambung. Melambung perlahan, seperti kapas yang terbawa angin, terus terbang kelangit. Ke langit yang melawan gravitasi. Gravitasi kesadaran tak pernah membebaskanku. Membebaskanku dari penjagal anak anak dan istriku. Istriku yang kehilangan kehormatannya. Kehormatannya lenyap menjelang belia . Belia nama anak perempuanku yang dibantai di senja hari. Senja hari yang tragis. Tragis saat aku cemas takut dipecat. Dipecat karena tak pandai menjaga kehormatannya. Kehormatannya makin tegar saat memecat pegawainya. Pegawainya sudah ribuan lebih yang diputuskan nasibnya. Nasibnya tak lebih dari monyet. Monyet sirkus yang jadi tontonan di pusat kota mayat. Mayat jadi sekedar obrolan. Obrolan di meja marmer berkilauan. Berkilauan di dalam cermin kering. Kering sukmaku seperti layang layang yang tak punya angin. Angin angin-kah rumahmu. Rumahmu yang berpintu sembilan. Sembilan laut tempat mayatku terbuang. Terbuang bersama petir menyambar kepalaku. Kepalaku pecah, menggelinding, masuk got, hanyut lewat sungai kotor, masuk muara kotor, tersungkur ke laut kotor, jadi bangkai, membusuk, rongsokan, atau juga aku ikut terlelang?


Yogya – Banyuwangi 2008
Oleh: Muhammad Iqbal Baraas
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak