“Dalam dunia di mana dusta mendunia,
berkata jujur adalah tindakan revolusioner”
(George Orwell, 1984)
Pena Laut - Dalam sistem demokrasi, memang sepatutnya sebuah organisasi mengalami regenerasi. Perihal bagaimana jalannya roda organisasi, itu sudah menjadi urusan kader-kader yang ada di dalam struktur. Tapi yang jelas, regenerasi harus dilakukan. Bagaimanapun situasi dan kondisinya. Tindakan yang bertendensi kepada dinasti politik merupakan sebuah langkah yang berusaha untuk menghancurkan nilai-nilai demokrasi. Secara eksplisit maupun implisit, kasar atau halus, segala bentuk tindakan yang mengarah pada perlawanan terhadap nilai demokrasi harus, meminjam istilah Derridean, didekonstruksi. Biarkan ia luluh lantak, centang perenang, dan berserakan. Sehingga ia akan menciptakan logos baru, dan menjadi objek dekonstruksi kembali.
Organisasi yang menggunakan sistem demokratis, seyogyanya memahami hal tersebut. Jangan sampai organisasi kaderisasi, khususnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), terjerumus ke dalam jurang tak berdasar bagaikan Ubermensch yang menari-nari di atas ketidakpastian. Ah, sudahlah, agaknya wacana-wacana filosofis harus ditanggalkan terlebih dahulu di sini. Agar pesan yang terkandung di dalam tulisan ini, tersampaikan dengan baik dan mendarat dengan selamat. Jika suara tidak didengar, karena penguasa menutup telinga; jika tulisan tidak terbaca, karena pemimpin sibuk bernyanyi dengan biduan, lantas dengan apalagi kita mengemukakan pendapat? Sepertinya, habituasi elite PMII sekarang ini, cenderung meniru kultur yang ada di Senayan atau kultur yang ada di Istana. Jangan sampai, jargon “tangan terkepal dan maju ke muka” berganti menjadi “tangan terkepal dan maju ke istana”. Wah! Bisa geleng-geleng kepala kader PMII se-Nusantara.
Beberapa waktu lalu, PMII Banyuwangi telah merampungkan hajat tahunannya, yakni Konferensi Cabang (Konfercab) XXIV. Sebuah prestasi yang perlu diapresiasi. Mengapa? Hampir tiga bulan lamanya, Konfercab diam-diam saja bak dua sejoli yang sedang bertengkar. Namun, agaknya, Panitia Konfercab XXIV sudah merasakan kejenuhan dan bahkan kelelahan, karena ulah kader-kader yang mempunyai kepentingan politis di wahana Konfercab. Iya, kan? Tidak ada sahabat abadi, tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan pribadi! Sudahlah, jujur saja. Begitu kan, kalian memandang PMII. Kalau saja Bung Mahbub masih hidup, sudah dibikin rempeyek kader-kader yang mengoyak-oyak PMII itu.
Akhirnya, melalui proses yang cukup melelahkan, mandataris Ketua Umum PC PMII Banyuwangi terpilih. Siapa yang menentukan? Koin! Lemparan koin presidium sidang, menentukan siapa pemimpin PMII Banyuwangi ke depan. Mau dibilang aneh, kok faktanya demikian. Jadi, selain “alumni”—saya lebih suka menyebutnya demikian, bukan senior—koin pun memiliki kekuatan untuk menentukan siapa mandataris PC PMII Banyuwangi. Kelihatannya, soal “koin-koinan” itu bagus juga dibuat kajian atau dialog publik. Misalnya, lemparan koin ditinjau dari sudut pandang saintiko-positivistik, probabilitas dalam ilmu Matematika, hingga ditinjau dari manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah. Soal sejarah, diameter, dan cara pembuatannya, bisa juga dibahas. Itung-itung, buat kajian yang sifatnya mubah.
Nama yang terpilih menjadi mandataris PC PMII Banyuwangi ialah M. Haddad Alwi Nasyafiallah. Maaf, saya tidak perlu menyebutkan gelar, untuk kenikmatan membaca. Sahabat Nasa, demikian sapaan akrabnya, adalah kader yang menceburkan diri dalam kontestasi politik kaderisasi PMII Banyuwangi. Dengan tekad yang kuat, dan melewati jalan yang penuh onak berduri, ia dapat menduduki kursi cabang yang telah usang. Sebelum duduk, bersihkan dulu kotoran-kotoran yang menempel di atas kursi. Jangan lupa membaca basmalah, agar tidak sempoyongan dalam perjalanan PC PMII Banyuwangi ke depan. Soalnya, bulan-bulan ini terlalu sensitif bagi PMII. Kalau tidak berhati-hati, bisa mampus. Sekarang ini, banyak orang yang menjual ideologi. Jangankan ideologi, agama saja dijual habis oleh bajingan-bajingan itu. Sehingga, jangan sampai njenengan ikut-ikutan jualan. Jualan nilai-nilai PMII, misalnya. Kasihan rumpun kader. Sudah tunggang langgang nguri-nguri PMII, eh, para elite yang ada di struktur justru menginjak-injak ideologi dan konstitusi PMII. Saya yakin, njenengan tahu soal ini.
Visi “Mewujudkan PMII Banyuwangi yang Kritis, Responsif, dan Progresif Guna Mencapai PMII Banyuwangi Berdaya Saing Global” adalah visi yang njenengan sampaikan pada saat debat kandidat bersama calon lain. Tentu, njenengan tidak akan pernah melupakan visi-misi tersebut. Kalau lupa, ya, saya ingatkan. Kalau ingat, ya, segera direalisasikan. Bukankah begitu? Tidak hanya itu, visi-misi calon lain juga harus dijalankan. Seperti visi “PMII Banyuwangi Mengabdi, Bergerak, dan Berinovasi” dari sahabat Gilang Ramadhan dan “Mewujudkan PMII Sebagai Organ Unggul dan Kreatif” gubahan sahabat Moh. Rizal Rofik. Semuanya baik untuk PMII dan harus direalisasikan. Tanpa kata “tapi”. Jika hal ini dilakukan, dan njenengan memiliki tujuan semacam itu sebelumnya, dalam konteks ini, njenengan adalah pemimpin yang baik. Selain bisa bermain cantik, semoga njenengan juga baik. Bukankah setelah kontestasi Konfercab ini selesai, tidak ada dendam di antara kita? Yang ada hanyalah make great PMII.
Perihal formatur, njenengan juga harus selektif. Tidak asal comot saja seperti tukang loak. Sebaiknya, hal ini dilakukan dengan sangat serius. Bukan berarti, sahabat-sahabat yang berkoalisi untuk pemenangan njenengan waktu itu, harus mendapatkan posisi yang strategis. Baru ikut PKD kemarin, kok jadi Ketua I. Baru muncul kemarin, kok tiba-tiba jadi Sekretaris Umum. Bukan bermaksud merendahkan, lho, ya. Tapi, demikian ini sering kali diabaikan, sehingga membuat struktur PC PMII Banyuwangi menjadi tidak efektif dan cenderung kontraproduktif. Belajar dari pengalaman, agaknya sangat penting. Kualitas, totalitas, dan loyalitas kader harus dipertimbangkan. Kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, bukan?
Bersihkan juga sampah-sampah politik dari struktur PC PMII Banyuwangi. Para oknum yang sudah jelas masuk organisasi politik—dan sejenisnya—harus ditendang dari struktur organisasi. Selain inkonstitusional, demikian juga tidak baik buat PMII. Potensi para kader menjadi domba yang diadu oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Politik adu domba, sekarang ini menjadi senjata ampuh, terutama untuk memperkeruh keadaan di dalam tubuh PMII. Sehingga, sebagai mandataris, njenengan harus mengambil sikap tegas untuk memastikan bahwa kader yang ada di struktur tidak melakukan perselingkuhan dengan para politisi. Masa, iya, kader PMII kepergok kumpul kebo dengan kekuasaan. Kan, enggak lucu!
PMII Banyuwangi, khususnya, harus kembali pada khittah-nya. Menjadi lokus dialektis, kritis, dan produktif. Konsep khittah PMII ini, selain kembali pada Nilai Dasar Pergerakan (NDP), juga menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada di Banyuwangi. Karakteristik otentik Banyuwangi adalah salah satu objek penelaahan kita dalam menentukan ciri khas dan karakter PMII Banyuwangi. Sehingga, orientasi PMII mampu “berdaya saing global” dapat terwujud. Tentu, dengan metode dan analisis yang rigid. Kita tahu, PC PMII Banyuwangi membawahi delapan Komisariat yang mempunyai latar belakang berbeda-beda. Maka, perlu membantu sahabat-sahabat yang ada di Komisariat untuk menemukan karakteristik masing-masing. Pluralitas karakteristik tersebut, harus menjadi fokus PC PMII Banyuwangi dalam menjaganya. Pluralitas perlu dijaga, dihargai, dan diakui keberadaannya.
Konsekuensi khittah PMII tersebut, juga berimplikasi pada pengambilan kebijakan dan program kerja PC PMII Banyuwangi selama satu periode ke depan. Para kader juga harus dilibatkan dalam penentuan kebijakan dan program kerja PC PMII Banyuwangi. Seperti yang dikonsepsikan Arendt (1906-1975) tentang perlibatan warga negara dalam deliberasi untuk menentukan kebijakan-kebijakan politik. Sebuah keputusan kolektif harus merupakan hasil dari sebuah proses demokratis yang melibatkan kader dengan sarana argumentasi, dan yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai PMII.
Akhirul kalam, semoga PMII Banyuwangi segera bangun dari tidur panjangnya. Pemikiran dan gerakan PMII harus menjadi promotor bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan kader PMII Banyuwangi khususnya. Sudahi perselingkuhan gelap dengan kekuasaan, politik transaksional yang destruktif, dan pemeliharaan sentimen politik yang tak berkesudahan. Ada yang lebih penting dari politik, yakni kaderisasi. Ada yang lebih urgen dari pemuasan birahi politik, yakni aktualisasi nilai-nilai PMII. Sudahi pertengkaran fisik, mari kita mulai pertengkaran logic. Sehingga, ucapkan selamat tinggal kepada siapapun yang ingin meruntuhkan idealisme. Terkesan ndakik, ya? Memang. Kenapa bisa begitu? Ya, karena kita sudah terbiasa melihat praktik politik yang mencekik di dalam tubuh organisasi kita. Sehingga, kita menganggapnya sebuah ke-banal-an semata. Namun, spirit tulisan ini, menurut saya adalah kejujuran. Seperti apa yang disampaikan oleh George Orwell (1903-1950) dalam novel distopis-nya yang bertajuk Nineteen Eighty-Four:
“Dalam dunia di mana dusta mendunia,
berkata jujur adalah tindakan revolusioner”.
Oleh: Dendy Wahyu
PMII Banyuwangi: Reformasi Struktur dan Khittah PMII
Pena Laut
... menit baca
Dengarkan
Posting Komentar