BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Nietzsche: Will to Power dan Will to Übermensch

Friedrich Wilhelm Nietzsche, Will to Power, Ubermensch

“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah!
Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka carilah!”
(surat Nietzsche kepada ibunya)

Pena Laut - Di tengah padang savana dunia, manusia terus mencari telaga-telaga yang menuntaskan dahaga pengetahuan untuk terus melampaui etape-etape kejumudan. Menggunakan orisinalitas akal budi dan pemetaan yang jelas, tentu membantu perjalanan panjang manusia yang tidak dapat dihentikan begitu saja di persimpangan jalan. Tidak ada yang tahu, konsep apa yang menjadi spirit mereka dalam menelusuri setapak demi setapak bagaikan hamba yang terbelenggu deretan rantai. Prinsip, penelaahan, dan falsifikasi yang dibuat manusia—dengan sengaja—terlihat plural, hetero, dan multi-perspektif.

Pluralitas pandangan manusia di setiap golongan atau komunitas tertentu, niscaya akan menemukan superioritasnya dalam menjalani hidup yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakseimbangan. Menjaga ekuivalensi bineritas adalah salah satu kemauan manusia untuk terus berusaha menguasai alam semesta dengan berbagai cara dan konsep yang abstrak. Salah satu alat yang canggih, menjanjikan, dan tidak terelakkan adalah ilmu pengetahuan (science). Sejak manusia menyadari bahwa realitas ternyata tidak sesuai dengan kredo dan korpus tertulis yang diyakini—atau diketahui—mayoritas manusia, secara prinsipil hal tersebut mendorong manusia untuk menantang kemapanan sistem yang telah diberlakukan bertahun-tahun lamanya, khususnya yang dibuat oleh stuktur kekuasaan. Kekuasaan, menurut Foucault, tidak hanya dilihat sebagai entitas di dalam sebuah negara—yang bersifat hierarkis, melainkan ia bertebaran, centang perenang, dan sifatnya diseminatif di dalam realitas kehidupan manusia. Atau, secara sederhana, subjektivitas manusia juga berpotensi menghegemoni atau berkuasa atas yang lain.

Filsafat menjadi salah satu khazanah ilmu pengetahuan yang sering kali dijadikan rujukan dan pelarian manusia akibat anomali kehidupan beserta pernak-perniknya untuk menemukan pemahaman yang komprehensif, sehingga memberikan sebuah lentera keabadian. Seolah-olah, filsafat yang menjadi mother of all science memposisikan dirinya sebagai misykatul anwar. Kesabaran manusia dalam memahami perjalanan intelektual—pemikiran—dari masa ke masa adalah sebuah realitas yang menggambarkan betapa manusia memang benar-benar membutuhkan kerangka epistemik dan sistematik untuk memutar roda kehidupan yang terkadang stagnan, monoton, dan “njelehi”. Bahkan, lebih tragisnya, manusia seperti berjalan di tengah labirin yang tak berujung. Maju buntu, mundur buntu. Maju kena, mundur kena.

Kendati demikian, manusia juga mendapatkan angin segar yang membuat mereka merasa rileks, ayem, dan tentrem dalam mempelajari epistemologi yang menurut sebagian orang terasa njelimet. Seperti halnya yang dikemukakan oleh seorang filsuf dan moralis Prancis, Jean de La Bruyère (1645-1696): “Life is a tragedy for those who feel, and a comedy for those who think”. Selain merasa, manusia juga harus berpikir. Agar tidak hanya melihat kehidupan sebagai tragedi, namun juga melihat kehidupan sebagai komedi. Sekarang menjadi badut kesayangan, besok pagi sudah jadi serbet yang tergeletak di rak sepatu. Bukankah hal ini adalah sebuah komedi?

Baiklah, lupakan saja ihwal badut dan serbet. Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan tentang badut yang lucu dan serbet yang ada di rak sepatu, melainkan sekelumit pemikiran filsuf. Pembahasan mengenai filsafat tidak kunjung menemukan ajal-nya, justru semakin masif dan kritis. Kajian mengenai pemikiran yang mendobrak benteng demarkasi ke-kolot-an tersebut, menemukan tempat istimewa di kalangan akademisi dan pegiat pemikiran filosofis. Meski tidak semua bersifat filosofis, namun hal tersebut dapat membantu dalam memahami realitas objektif. Tentu, yang termasuk dalam wilayah—istilah Kant—akal budi murni (Vernunft).

Fokus tulisan ini membahas beberapa epistemologi pemikiran filsuf Jerman yang masyhur hingga saat ini, yakni Friedrich Wilhelm Nietzsche. Seseorang yang genius dan membuka babak post-modernisme. Bahkan, ada yang menyatakan, bahwa otak filsuf ini telah terkena kepakan sayap Jibril—karena terlampau genius.

Secercah Tentang Nietzsche Si Kumis Tebal

Seperti mempelajari pemikiran filsuf lainnya, untuk memberikan pemahaman atas pemikiran-pemikiran yang seabrek di dunia ini, perlu mengetahui latar belakang, biografi, hingga konteks sosio-politik-kultural. Sebab, tanpa mengetahui “siapa”, niscaya akan kesulitan memahami “apa” esensi pemikirannya. Sehingga, hal ini menjadi pola yang harus dilakukan oleh setiap orang yang ingin belajar khazanah intelektual umat manusia yang berada di ujung pulau sekalipun.

Riwayat hidup Nietzsche—seseorang yang mempunyai kumis tebal dan rambut yang nyentrik itu—memiliki masa kecil dalam keluarga Kristen yang taat. Nietzsche lahir pada 15 Oktober 1844 di Röcken, Lützen, Jerman. Pada saat Nietzsche menjadi mahasiswa, ia memulai pengembaraan intelektualnya dengan berkenalan dengan pujangga Jerman J.W Goethe, musikus Richard Wagner, dan filsuf Athur Schopenhauer. Perkenalan tersebut di kemudian hari sangat berpengaruh bagi konstruksi pemikiran Nietzsche, khususnya Schopenhauer atas pemikiran kehendaknya.

Pada tahun 1869, Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel, Swiss, untuk menjadi dosen. Sebulan setelah panggilan tersebut, tanpa dugaan, ia mendaoatkan gelar doktor dari Leipzig dengan tanpa ujian dan formalitas apapun. Karir yang terbilang melejit, ternyata tidak membuat kesehatan Nietzsche membaik. Hari demi hari kesehatannya menurun, sehingga ia berkali-kali harus meminta cuti untuk istirahat demi kesembuhannya. Pada masa ini, ia sangat produktif dalam menuliskan pokok-pokok pikirannya. Hingga pada 1879 Nietzsche harus mengundurkan diri sebagai dosen, karena penyakitnya yang tidak dapat diabaikan.

Semenjak meninggalkan Basel, kehidupan Nietzsche lebih kepada kesuraman dan kesepian. Ia menjadi pribadi soliter dan menghindari kontak sosial kepada siapapun. Ia terus mengembara di beberapa tempat dan ditemani oleh saudara perempuannya, Elizabeth Nietzsche, Lou Salome, dan Paul Ree. Kemudian, tahun 1889 adalah masa yang menyedihkan bagi Nietzsche. Ia dilanda sakit. Pada kondisi semacam ini, sungguh kehidupan yang tragis bagi Nietzsche, karena penyakit yang terus menggerogoti kekuatan fisiknya. Hingga dia tidak bisa bertarung dengan penyakit yang dideritanya, akhirnya Nietzsche meninggal pada 25 Agustus 1900 (Purwanto, 2005).

Kematian Tuhan, Nihilisme, dan Kebenaran

Membaca Nietzsche—karya-karya—merupakan pembacaan panjang atas alam pikiran yang begitu subtil dan perlu penelaahan reflektif yang kuat untuk memahami metode, epistemologi, dan konklusi pemikiran filsuf Jerman tersebut. Mendengar nama Nietzsche, sebagian orang akan mengingat adagium “God is Dead” atau “Gott ist Tot” yang tertera dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra (1883-1885) dan The Gay Science (1882). Dalam The Gay Science, Nietzsche menyatakan:

“Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan terhadap Tuhan]?” (Nietzsche, 2018).

Nietzsche dikenal sebagai filsuf yang menolak agama. Istilah di atas ditafsirkan sebagai sosok pemikir yang dijadikan patron dalam menolak agama. Kematian Tuhan menunjukkan bahwa kematian-Nya masih diikuti oleh kehadiran bayang-bayang metafisis. Meski nilai-nilai ilahiah kehilangan credit-nya, manusia masih akan mencari kebenaran tertinggi metafisis. Kebutuhan akan pegangan masih terjadi di dalam kehidupan manusia. Hal tersebut menunjukkan kelemahan manusia. Manusia selalu ingin memuja dirinya sendiri melalui proyeksi antropomorfis dunia ideal yang melupakan dunia real. Dunia menjadi gelap karena manusia tidak bisa menerima realitas apa adanya, tidak berani menatap dirinya sendiri sesuai dengan apa adanya (V Akoit, 2021).

Membahas kematian Tuhan, berarti juga membahas apa yang disebut Nihilisme. Istilah ini, sebenarnya sudah ada jauh sebelum Nietzsche. Secara historis, Nihilisme atau sejarah pemikiran yang nihil, sudah ada sejak zaman Yunani. Bagi Nietzsche, Nihilisme bukan sebuah aliran filosofis, gerakan sastra, atau praktik politik anarkis. Hematnya, Nihilisme dipakai oleh Nietzsche untuk menggambarkan karakter peradaban Eropa, yang pada masa itu ditandai oleh kematian Tuhan dan erosinya nilai-nilai lama, yaitu nilai-nilai platoniko-kristiani (Wibowo, 2017). Franz Magnis-Suseno (1997) menyatakan bahwa Nietzsche, secara fanatik, menyangkal adanya Tuhan bukan berdasarkan pertimbangan filosofis-rasional, melainkan bahwa adanya kepercayaan pada Tuhan akan menutup ruang bagi pengembangan diri manusia. Ketika manusia tetap bergantung pada Tuhan, maka ia tidak akan pernah percaya pada kemampuan dirinya sendiri dan tidak pernah bisa mandiri dalam menghadapi kenyataan hidup (Magnis-Suseno, 1997).

Nihilisme Nietzsche berimplikasi pada konsep kebenaran yang selalu menjadi antinomi dalam wilayah epistemologis, khususnya pagi penelusuran manusia untuk mengembangkan diri. Bagi Nietzsche, kebenaran adalah metafora. Nietzsche menyatakan:

“To begin with, a nerve stimulus is transferred into an image: first metaphor. The image, in turn, is imitated in a sound: second metaphor. And each time there is a complete overleaping of one sphere, right into the middle of an entirely new and different one” (Nietzsche, 1993).

(Pertama-tama suatu rangsangan syaraf dialihkan menjadi suatu citra: metafora pertama. Citra tersebut kemudian ditransformasikan menjadi suara: metafora kedua. Dalam tiap kasus, terdapat lompatan dari suatu ranah menuju ranah yang berbeda dan baru).

Berdasarkan teks di atas, Nietzsche membagi dua tahapan metafora. Dalam metafora pertama, merupakan tahap “pengalihan”. Secara sederhana, metafora tahap pertama adalah perpindahan dari ranah rangsangan syaraf menuju ranah (wilayah) citra atau penggambaran. Sedangkan metafora kedua, peralihan dari sistem yang satu menuju sistem yang lain. Tahap ini lebih transformatif atau sebagai aktivitas perubahan bentuk. Karena, perpindahan ini melibatkan semacam perubahan tatanan, yakni dunia citra menjadi dunia suara, bunyi, atau kata (Tandyanto, 2015). Sehingga, maksud dari kebenaran menurut Nietzsche adalah sebuah ilusi.

Untuk memperjelas pengalihan dan transformasi tersebut, Tandyanto (2015) memberikan Ilustrasi sebagai berikut:

Seorang anak kecil diajari oleh orang tuanya bahwa “batu itu keras”. Suatu ketika, anak kecil tersebut berjalan-jalan dan menemukan sebongkah bentuk padat yang tergeletak di tepi jalan. Setelah ia mengamati cukup lama, ia menyadari bahwa di tepi jalan terdapat pula bongkahan padat yang memiliki ciri khas sama dengan bongkahan pertama, yakni ciri “keras”-nya. Namun, ia juga menyadari bahwa jenis dan bentuk bongkahan padat tersebut bermacam-macam, meski memiliki sifat kerasa yang relatif sama. Akhirnya, setelah anak kecil tersebut berdiam beberapa saat, ia menyimpulkan, “batu itu keras”.

Dalam ilustrasi di atas menunjukkan bahwa terdapat dua tahap metafora. Pertama, berbagai bongkahan padat yang tergeletak di tepi jalan merangsang penginderaan (alat indera) subjek untuk mengalihkan rangsangan syaraf tentang batu menjadi suatu gambaran atau representasi visual. Kedua, citra visual tentang batu tersebut diungkapkan atau diterjemahkan oleh subjek (pengamat) ke dalam dimensi suara/bunyi yang sangat berbeda dengan dimensi visual, yakni sebuah pernyataan: “batu itu keras”.

Nietzsche mengajak manusia—pembaca—untuk mengacak-acak, mengobrak-abrik segala sesuatu yang sering kali dianggap sebagai sebuah kebenaran. Karena kebenaran tersebut tak lebih sekedar kebohongan manipulatif yang menjadi konsesus manusia. Sebagaimana dengan kewarasan. Manusia dianggap waras jika ia berada di lingkungan yang seragam. Jika membaca uraian tersebut, muncul pertanyaan: apakah memang kebenaran itu tidak ada bagi Nietzsche?

Goenawan Mohamad dalam Setelah Revolusi Tidak Ada Lagi (2001), menuliskan bahwa Nietzsche bukan hanya seorang filsuf yang menolak aktivitas berfilsafat dan metafisika, melainkan juga seorang pemikir yang menampik adanya kebenaran. Kebenaran adalah sejenis kesalahan yang bila tanpa itu sejenis makhluk tak dapat hidup (Mohamad, 2001). Lebih jauh, Goenawan Mohamad—selanjutnya ditulis GM—sepakat dengan pendapat St. Sunardi bahwa dalam pemikiran Nietzsche kebenaran ada. Hanya saja, kriterium atas kebenaran yang berbeda. Kriterium kebenaran berbeda dari yang dirumuskan Descartes. Kriterium kebenaran adalah semakin tingginya kesadaran orang akan adanya kekuatan (Wibowo, 2017).

Sebagai penutup uraian tentang kebenaran tersebut, GM menyimpulkan pendapatnya sebagai berikut:

“Kebenaran ialah sesuatu yang didapat dalam proses kreatif, tanpa dibebani pamrih, atau tujuan samping apa pun, suatu proses kreatif yang menguntit hidup: itu juga sejenis ‘arah’, dan bisa jadi semacam ‘kepatuhan’, dan jangan-jangan ‘tanggung jawab’—setidaknya ke pada sang Hidup.”

Will to Power dan Will to Übermensch

Sudah dikatakan di awal tulisan ini, bahwa pemikiran Nietzsche tidak terlepas dari karya-karya Schopenhauer, terutama pada saat Nietzsche berusia 21 tahun. Konsepsi kehendak Schopenhauer mempunyai pengaruh yang signifikan bagi filsafat Nietzsche. Namun, ciri khas Nietzsche adalah, tidak mengikuti (atau menerima) pemikiran “gurunya” begitu saja, tidak ditelan mentah-mentah, taken for granted. Sebaliknya, ia mengembangkan pemikirannya sendiri dan menelaah secara kritis pemikiran filsuf sebelumnya, terutama teori kehendak Schopenhauer. Salah satu contoh, Nietzsche menolak pesimisme radikal Schopenhauerian. Bagi Nietzsche, realitas tidak negatif mutlak dan tidak juga positif mutlak. Apa yang ada adalah campuran, perpaduan, atau gado-gado dari positif dan negatif, dan hal itu dihadapi apa adanya. Mafhum, bahwa Schopenhauerian memiliki pesimisme radikal terhadap realitas, hingga akhirnya memunculkan sebuah sikap eskapisme.

Wil to Power (kehendak kuasa), menurut Nietzsche, merupakan pandangan bahwa manusia harus melihat realitas yang muncul. Kemauan untuk berkuasa difokuskan pada bagaimana orang mendominasi atau mengendalikan dirinya sendiri (Sunardi, 2006). Kehendak kuasa adalah sesuatu yang intim dari kehidupan dan realitas, bukan karena ia menjadi cause akhir atau sebab segala sesuatu yang ada, melainkan karena ia membuat manusia paham akan realitas dan kehidupan itu sendiri, bahwa realitas dan hidup adalah gerak menaik (ascenden) dan menurun (dekaden), percabangan dan pertumbuhan tanpa henti, proses dominasi dan subordinasi (Wibowo, 2017). Dominasi atas pluralitas yang terfiksasi pada satu titik akan menghentikan proses pencabangan, sehingga realitas dan hidup termiskinkan dan memasuki degenerasi. Sebaliknya, proses generasi adalah dominasi diri yang mampu melupakan dan menciptakan dominasi secara baru, berani masuk dalam arus gerak pertengkaran antar unsur yang plural dan kaotis, yakni realitas itu sendiri.

Secara eksplisit, Nietzsche menginginkan setiap individu untuk mempunyai jati diri atau mengetahui kehendaknya masing-masing, sehingga tidak menjadi pengekor orang lain. Seperti yang dikatakan oleh A. Setyo Wibowo dalam Nietzsche: Menjadi Diri Sendiri, bahwa Nietzsche mengajak kita ke sesuatu yang sulit: menjadi diri sendiri. Ini tidak mudah. Umumnya, daripada sungguh-sungguh menjadi diri sendiri, kita lebih nyaman berpegang pada orang lain atau sesuatu yang lain (Wibowo, 2022). Dengan mengawali konsep kehendak manusia, Nietzsche meruntuhkan segala bentuk kebenaran mutlak, karena jika masih terdapat kebenaran mutlak tersebut, menjadikan sikap dekaden, merosot.

Selanjutnya, Nietzsche menjadikan segala sesuatu bersifat nihilistik untuk membuat individu manusia yang semula mempunyai moralitas budak menjadi moralitas tuan. Moralitas budak adalah sikap yang selalu patuh dan tunduk terhadap tuannya, selalu dipaksa untuk mengikuti apa yang berada di luar dirinya sebagai kebenaran mutlak, tidak sesuai dengan kehendaknya sendiri. Maka, dengan kekosongan nilai—karena Nietzsche menjungkirbalikannya—berorientasi untuk menuju moralitas tuan yang mampu menciptakan nilai-nilainya sendiri. Sehingga, penekanannya pada eksistensi diri, yakni dengan memaksimalkan potensi yang terdapat di dalam diri setiap individu (Arifin, 2014).

Konsep kehendak kuasa (Will to Power) ini, berhubungan dengan apa yang dikenal—dalam pemikiran Nietzsche—Übermensch. Istilah tersebut memiliki arti yang cukup beragam. Goenawan Mohamad (2001) menerjemahkan kata itu menjadi Manusia Utama. Fuad Hassan (2000) menyukai istilah Manusia Unggul. Sindhunata (2000) dalam artikelnya menyebut Adi Manusia. Sedangkan A. Setyo Wibowo (2017) menerjemahkan kata Übermensch menjadi Manusia yang Melampaui. Lebih lanjut, menurut A. Setyo Wibowo—yang sering dikenal Romo Setyo—mempunyai alasan mengapa ia menggunakan arti yang terbilang panjang dari arti yang dikemukakan sebelumnya. Karena, kemanusiaan yang dimaksud oleh Nietzsche merupakan sebuah kemanusiaan yang lain, yang melampaui kemanusiaan yang ada di antara belenggu moral, metafisis, dan religius zamannya. Manusia yang kuat, namun bukan arti fisik. Manusia ini terdapat di berbagai kalangan; aristokratik maupun kaum petani. Bahkan, dalam Zarathustra, secara paradoksal, manusia kuat ini disimbolkan sebagai Bayi, bukan sebagai Singa (Nietzsche, 2017).

Tujuan utama konsep Übermensch ini adalah manifestasi manusia yang lebih kuat, cerdas, dan berani. Urgensinya, bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan hegemoni orang lain atau eksternalitas yang dianggap sebagai kebenaran mutlak. Menjadi Manusia yang Melampaui harus mempunyai jati diri yang khas, yang sesuai dengan kehendak dirinya, dan mengaktualisasi nilai yang dibuatnya sendiri (Nanuru, 2017). Sesuai dengan metamorfosis yang digambarkan Nietzsche; berawal dari Unta, kemudian menjadi Singa, dan bertransformasi menjadi Bayi (lihat buku Zarathustra). Secara sederhana, “ajaran” Nietzsche menyerukan melalui Kehendak Berkuasa (Will to Power) manusia akan menjadi Manusia yang Melampaui (Übermensch).

Akhirul kalam, untuk memberikan pemahaman mengenai pemikiran Nietzsche, silahkan membaca karya-kaya Nietzsche dan sumber literatur yang memuat pemikirannya. Tentu, tulisan ini hanya menampilkan—istilah Derrida—“selubung” belaka. Sehingga, perlu pembacaan dan kajian intens dalam memahami gaya filsafat Nietzsche si kumis tebal itu.

Oleh: Dendy Wahyu

Referensi

Arifin, J. (2014). Konsep Kehendakmanusia Dalam Pemikiran Nietzsche Dan Mu`Tazilah.

Magnis-Suseno, F. (1997). 13 tokoh etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19. Kanisius. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=574394

Mohamad, G. (2001). Setelah Revolusi tak Ada Lagi. Pustaka Alvabet.

Nanuru, R. F. (2017). Übermensch: Konsep Manusia Super Menurut Nietzsche. https://doi.org/10.31219/osf.io/sw6y7

Nietzsche, F. (1993). Philosophy and Truth: Selections from Nietzsche’s Notebooks of the Early 1870’s (D. Breazeale (ed.)). Humanity Books.

Nietzsche, F. (2017). Zarathustra. Media Pressindo. https://books.google.co.id/books/about/ZARATHUSTRA.html?id=Z6R-DwAAQBAJ&redir_esc=y

Nietzsche, F. (2018). The Gay Science : Sains yang Mengasyikkan. Antinomi. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1104075

Purwanto, M. R. (2005). Filsafat Eksistensial Nietzsche Dan Wacana Agama: Studi Filsafat Nietzsche Dan Kontribusinya Dalam Dekonstruksi Wacana Agama. An-Nur, 1(2), 293–319.

Sunardi. (2006). Nietzsche. Lkis Pelangi Aksara. https://books.google.co.id/books/about/Nietzsche.html?id=GAxgDwAAQBAJ&redir_esc=y

Tandyanto, Y. (2015). Membaca “Kebenaran” Nietzsche. Melintas, 31(2), 130. https://doi.org/10.26593/mel.v31i2.1622.130-153

V Akoit, Y. (2021). Menatap Langit dengan Tubuh. Dekonstruksi.

Wibowo, A. S. (2017). Gaya Filsafat Nietzsche. Kanisius.

Wibowo, A. S. (2022). Nietzsche: Menjadi Diri Sendiri. Basis.







Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak