Kepiawaian Mahbub dalam menulis sangat tajam dan mendalam, sampai Presiden Soekarno waktu itu terkesan dengan setiap karyanya. Tulisan Mahbub selalu dibungkus dengan bahasa satire dan humoris yang menjadi ciri khas tersendiri.
Biografi Mahbub Djunaidi
Mahbub Djunaidi merupakan anak pertama dari 13 bersaudara yang lahir di Tanah Abang, Jakarta pada 22 Juli 1933. Ayahnya merupakan seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yaitu K.H Djunaidi sedangkan Ibunya Muhsinati.Saat berumur tujuh tahun Mahbub pindah ke Solo, Jawa Tengah, karena kondisi Jakarta waktu itu sangat bergejolak dengan adanya Agresi Militer Belanda.
Disana Mahbub mulai mengenyam pendidikan dasar di Madrasah Mambaul Ulum. Disana dia bertemu dengan Kyai Amir, guru yang mengenalkan tulisan karya George Orwell, Mark Twain dan Karl May kepada Mahbub Djunaidi.
Setelah masuk di bangku SMP bakat menulisnya mulai terlihat, dengan menghasilkan sebuah cerpen dengan judul “Tanah mati” yang dipublikasikan oleh majalah “Kisah” binaan Paus Sastra Indonesia H.B Jassin.
HB Jassin sampai kagum dengan karya Mahbub muda, yang mampu menuliskan sebuah persoalan dengan gaya yang kocak.
Mahbub muda sudah bisa mengkolaborasikan antara humor dan satire dalam menyampaikan sebuah kritik.
Pada tahun 1952 Mahbub menyelesaikan studi di SMP dan lanjut ke SMA Budi Utomo, Jakarta.
Semasa SMA dia lebih aktif menulis sehingga dipercaya untuk mengurus majalah Siswa sebagai Pimpinan Redaksi (Pimred).
Pada kolom perdana majalah tersebut Mahbub menerbitkan sebuah kolom dengan judul Yang Masih Harus Dijelmakan, pada 6 Desember 1954.
Dari kolom tersebut menurut para tokoh Mahbub dinilai sebagai orang yang konsisten menulis sejak remaja hingga akhir hayatnya.
Karir Organisasi Mahbub Djunaidi
Diluar kegiatan sekolah selain aktif menulis, Mahbub aktif di organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), dan sempat juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), saat masih berumur 19 tahun.
Setelah menyelesaikan masa pelajarnya, Mahbub masuk ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan ikut bergabung di Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Namun ditengah masa jabatanya di Pengurus Pusat HMI, dia dipercaya untuk memimpin sebuah organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang baru saja lahir pada 17 April 1960.
Masa kepemimpinan Mahbub Djunaidi di PMII berlangsung selama tujuh tahun dari 1960 - 1967, bahkan dia sendiri yang menciptakan lirik mars PMII bersama sahabatnya W.S. Saimori.
Usai kepemimpinan di PMII, Mahbub aktif di Gerakan Pemuda Ansor sebagai, dan sempat menjabat sebagai Wakil Sekjen PBNU dan Wakil Ketua I PBNU pada periode 1970 - 1979 dan 1984- 1989.
Dalam dunia politik Mahbub pernah menjabat sebagai seorang anggota DPR GR/MPRS periode 1977 - 1982 delegasi dari partai NU, dan pernah meraih juara sayembara dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1975.
Gaya Tulisan Mahbub Djunaidi
Sebagai pribadi yang dikenal ringan ceria dan kocak berolok, tulisan Mahbub sangat ringan dan menyenangkan saat dibaca, seolah tulisan tersebut hanya sebuah candaan atau mainan, padahal terdapat persoalan serius yang sedang disampaikan.Kecintaan Mahbub pada karya sastra Rusia dianggap mempengaruhi gaya mahbub dalam menulis, menurutnya sastra Rusia banyak melahirkan karya yang sarat dengan kritik tajam namun dituturkan secara satire.
Sehingga banyak kolom Mahbub yang berisi masalah-masalah politik dan sosial namun disajikan dengan bumbu-bumbu sastra.
Hasilnya tulisannya Mahbub yang sarat humor ini membuat siapapun yang menjadi objek tidak merasa sakit hati, malahan menimbulkan guncangan yang tak perlu.
Kemudian gaya penulisan Mahbub yang cenderung jenaka dan penuh satire memang dilakukan secara sengaja karena ada alasan tersendiri.
Hal itu pernah disampaikan Mahbub, saat menyampaikan ceramah dalam sebuah acara di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 8 April 1974.
Menurut Mahbub kenapa memilih gaya humor karena setiap orang perlu tertawa, sebagaimana orang-orang perlu mencari angin, ditambah menurutnya mengkritik dengan gaya humor lebih bijaksana, sehingga bisa membuat si pembaca tersenyum, daripada membuatnya bangkit dari kursi dan membelalakkan matanya.
Jadi Mahbub mampu menekankan tentang adanya keterkaitan yang sangat erat dan intim antara kerja-kerja jurnalistik, politik dan sastra dan tidak bisa dipisahkan.
Karena apabila ketiga unsur tersebut dipisahkan akan menyebabkan sebuah tulisan menjadi garing dan gahar.
Mahbub Djunaidi Ketua PWI
Saat menjadi wartawan, Mahbub setiap hari mampu menulis atau atau dua tajuk rencana koran dalam waktu relatif cepat, antara 1-2 jam, selama bertahun-tahun.Bahkan, dia rutin menulis setiap minggu pada rubrik Asal Usil di harian Kompas sejak 23 November 1986 sampai 8 Oktober 1995.
Ada 236 rubrik karya Mahbub yang ditempuh dalam 9 tahun, menjadikan tulisannya memiliki kesulitan tersendiri untuk ditiru, sehingga terdapat tiga ciri yang menonjol dalam diri Mahbub, yaitu Politikus, Wartawan dan Humoris.
Sebagai seorang wartawan yang pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1965, Mahbub memiliki pemikiran, wartawan yang menghayati sastra lebih baik daripada yang tidak.
Menurutnya wartawan yang selalu update perkembangan sosial politik, kemudian menuangkannya ke dalam hasil sastranya, lebih baik daripada sastrawan yang hanya memperhatikan angin atau daun-daun yang berguguran.
Mahbub menarik kesimpulan bahwa jurnalistik perlu sastra sebagai penunjangnya, bukan saja lewat penyediaan ruang seni budaya, melainkan menghayati bahasa koran pada umumnya.
Mahbub menarik kesimpulan bahwa jurnalistik perlu sastra sebagai penunjangnya, bukan saja lewat penyediaan ruang seni budaya, melainkan menghayati bahasa koran pada umumnya.
Makam Mahbub Djunaidi
Semasa hidupnya Mahbub pernah hidup penjara selama satu tahun akibat melawan pemerintahan Orde Baru dengan berbagai aktivitasnya, namun penahanan tersebut dilakukan tanpa melalui proses hukum atau pengadilan.Semenjak itu kesehatan Mahbub terus mengalami penurunan dan harus dirawat dirumah sakit pada saat hari raya Idul Fitri.
Istrinya Asni Asnawi, dan anaknya terus mengenang sang Ayah dimana mereka harus berlebaran bersama di sebuah kamar sempit.
Sebelum kepergian Mahbub dia menulis sebuah catatan kecil sebagai pegangan anak-istrinya.
“Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai.
Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan.
Benda sama sekali tak menjamin kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun.
Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa mengingat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebihan.”
Mahbub Djunaidi meninggal sekitar pukul 03.30 Wib pada tanggal 01 Oktober 1995 di kediamannya, Jalan Taman Karawitan, Bandung, Jawa Barat. dan dimakamkan di pemakaman setempat.
Kepergian Mahbub membuat pilu seluruh keluarga seluruh sahabat - sahabat yang ditinggalkan, termasuk para tokoh nasional waktu itu.
Indonesia bersyukur karena dalam sejarah republik ini, pernah hadir tokoh luar biasa dan multi talenta, yang sampai saat ini nyaris belum dijumpai tokoh sekaliber Mahbub.
Novel
Angin Musim (1954)
Roman
Dari Hari Kehari
Esai
Kolom demi Kolom
Asal usul
Humor Jurnalistik
Selain itu Mahbub juga mendapat penganugerahan sari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk karyanya dengan judul Dari Hari ke Hari.
Buku Karya Mahbub Djunaidi
Kepergian Mahbub Djunaidi meninggalkan banyak karya tulis, mulai dari, cerpen, kolom, esai sajak dan lain sebagainya. Adapun beberapa kumpulan karya Mahbub Djunaidi yang terkenal, sebagai berikut.Novel
Angin Musim (1954)
Roman
Dari Hari Kehari
Esai
Kolom demi Kolom
Asal usul
Humor Jurnalistik
Selain itu Mahbub juga mendapat penganugerahan sari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk karyanya dengan judul Dari Hari ke Hari.
Novel terbitan Balai Pustaka tahun 1975 dan diterbitkan ulang oleh Penerbit Pustaka Jaya tahun 1976, memiliki ketebalan 147 Halaman, merupakan novel autobiografi tentang pengalaman masa kanak-kanaknya yang membekas dan menimbulkan kenang-kenangan.
Baca Juga : Tujuan Didirikan PMII
Posting Komentar