Politisi & Akademisi: Adieu Ibrahimy, Adieu!
Pena Laut
... menit baca
Dengarkan
Pena Laut - Sebagian besar manusia menganggap kehidupan tidak lebih sebagai sebuah lokus rekayasa yang tidak pernah sesuai dengan apa yang menjadi ekspektasi manusia itu sendiri. Banyak sekali tindakan manipulatif, destruktif, dan rasanya penuh dengan—meminjam istilah Baudrillard—simulakra. Bahkan, saat membaca karya-karya fiksi, kok, kelihatannya lebih fakta daripada realitas yang tengah kita temui saat ini. Sungguh kehidupan memang penuh dengan seni, mulai dari seni bersikap bodo amat, seni mencintai, seni berperang, hingga air seni yang keluar dari saluran bukan dari kran air biasa. Kendati demikian, kita harus tetap menjalani hidup. Karena, dengan hidup, kita bisa berkarya, bekerja, dan mencintai dirinya. Ah, begini yang selalu bikin susah. Selalu mencintai “dekne”, hingga lupa mencintai diri sendiri. Selamat datang dunia badut!
Karena hidup penuh rekayasa, maka tidak heran jika yang seringkali kita temui seperti badut, boneka, mainan, dan odong-odong. Soal badut, bisa jadi badut politik, badut relationship, dan badut-badut perayaan yang lain. Boneka dan mainan pun sama. Perihal odong-odong, ini yang paling sering terlihat. Seperti, odong-odong kekuasaan, partai odong-odong, hingga odong-odong yang buat “arak-arakan” saat sunatan. Tapi, anehnya, saat gonjang-ganjing sunat bantuan sosial kemarin, kok, ndak dirayakan, ya? Ah, kenapa harus repot-repot mikirin begituan. Toh, bukan urusan masyarakat sipil—yang biasa ngupil—seperti saya.
Entitas yang ada saat ini, jika ditelisik lebih detail, sebenarnya tidak kalah “ndlogog”-nya dari kehidupan. Misalnya, pemerintah, lembaga pendidikan, dan hukum. Semuanya tidak ada yang ideal, sebuah idealitas adalah utopia belaka. Jika suka utopia, berarti kalian sama dengan saya; harta, tahta, utopia!
Lembaga pendidikan banyak sekali dikritik dan direkonsiliasi, terutama di Indonesia, karena sistem yang diberlakukan kurang memadai. Sebut saja di dunia perguruan tinggi. Kultur akademik, kebebasan akademik, dan otonomi keilmuan mengalami regresi yang sangat jelas. Berbagai penelitian ilmiah dan tulisan yang bernuansa kritik-konstruktif sudah seabrek di jurnal-jurnal dan media serupa. Budaya literasi, eksistensi halaqoh ilmiah, dan proses dialektika di dalam kampus laiknya tumbuhan yang layu, rapuh, bahkan kepleh. Lebih jauh, fenomena “perselingkuhan” antara kekuasaan dan lembaga pendidikan menghasilkan sebuah ke-banalitas-an dalam spektrum intelektualisme yang bertendensi melakukan politisasi pada pendidikan. Realitas tersebut, secara implisit, ndak baik buat kultur intelektual kita. Sehingga, kita membutuhkan suatu manifestasi gerakan masif untuk mendekonstruksi banalitas intelektual tersebut. Dengan kebinalan pemikiran, misalnya.
Oh, iya. Hampir lupa. Definisi banalitas intelektual perlu ditulis di sini—meskipun hanya sekelumit. Biar ndak nggrambyang (membingungkan, Red.). Menurut Heru Nugroho, banalitas intelektual adalah suatu kondisi yang mempunyai tiga indikasi, yakni pendangkalan akademik yang tidak disadari, dekadensi kualitas akademik, dan kualitas intelektual (Adinda S, 2013). Kualitas akademik merupakan sebuah penguasaan ilmu yang menjadi kompetensinya, sedangkan kualitas intelektual bisa dipahami sebagai komitmen akademisi dalam bidang ilmu yang tengah digeluti atau berkomitmen dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan bidang masing-masing. Agak njelimet, ya? Oke, agar lebih jelas, saya beri tamsil saja.
Jadi, gini, wir. Indikasi bahwa kualitas akademik mengalami dekadensi adalah, ketika terdapat seorang dosen filsafat, misalnya, tidak mampu menguasai teori-teori filsafat, baik secara epistemologis maupun praktis—pisau analisis—untuk memahami realitas yang terjadi. Gelarnya sudah berjejer panjang laiknya antrian masyarakat pinggiran yang menunggu giliran mendapatkan sembako, tapi konstruksi pemikirannya masih terkesan amburadul. Ndak ilmiah blas. Saat menyampaikan materi perkuliahan, bahasanya ngalor-ngidul. Sedangkan, merosotnya kualitas intelektual dapat diketahui pada saat dosen melakukan penelitian atau menulis jurnal, namun aktivitas tersebut—yang sebenarnya sangat krusial—mereka lakukan hanya untuk memenuhi persyaratan akademis semata. Pokoknya penelitian, nulis, kemudian dipublish. Urusan tulisan maupun isi penelitian, nomor sekian. Kalau melaksanakan penelitian hanya sekedar nulis, wartawan bodrek pun juga bisa. Kalau menulis artikel ilmiah hanya untuk menggugurkan kewajiban, abang-abang lambe, dan buat “gagah-gagahan”, kaum paupertariat—istilah Michael Löwy—seperti saya ini, juga bisa. Tapi, kan, bukan semacam itu yang diharapkan oleh pendidikan kita.
Tidak berhenti di sana, perilaku politisasi pendidikan, terutama di perguruan tinggi, sudah merebak luas sampai ke rumpun civitas akademika. Keseimbangan kekuasaan yang diabaikan menjadi penyebab terjadinya konflik kepentingan antara fungsi pelaksana dan pengawasan tata kelola perguruan tinggi. Apalagi, rangkap jabatan pimpinan struktural yang ada di perguruan tinggi belum terselesaikan hingga saat ini. Dominasi unsur ex-officio di dalam struktur, membuat konflik kepentingan menjadi lebih jelas. Sehingga, konflik kepentingan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan memiliki implikasi pada perilaku koruptif (Van F.C et al., 2022).
Beberapa simtom yang terjadi seperti di atas, menggerakkan hati saya untuk melakukan analisis dengan kerangka epistemik yang, bisa dikatakan, jauh dari kata sistematis, rigid, dan komprehensif. Bahkan, tidak menggunakan sistematisasi IMRAD (Introduction, Methods, Research and Discussion) seperti pada penulisan jurnal ilmiah. Toh, tulisan ini bukan jurnal ilmiah, skripsi, tesis, atau disertasi. Jadi, ya, ndak masalah kalau tidak terlalu sistematis. Urgensinya bukan pada bentuk tulisan, melainkan muatan yang disajikan. Sudah, ya, jangan banyak mau-nya. Jika ingin membaca tulisan ilmiah, silahkan mampir ke Google Scholar atau platform terkait. Secara sederhana, tulisan ini penuh dengan—meminjam istilah Mazhab Softinalean—ndakik-ndakik belaka. Guyon. Namun, ilmiah. Paradoks, ya? Memang. Bukankah, secara periodik, pemikiran post-strukturalis atau post-modern itu identik dengan istilah menari-nari di atas ketidakpastian atau membongkar rezim kepastian? Wajar, kalau demikian.
Secara umum, tulisan ini akan membahas fenomena yang ada di salah satu perguruan tinggi yang ada di ujung timur pulau Jawa. Namanya, Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy, Genteng, Banyuwangi. Memang, tulisan-tulisan sebelumnya sudah membahas beberapa hal yang ada di kampus tersebut. Namun, dengan pembahasan yang berbeda. Saat ini, saya akan membahas perihal ambiguitas politisi dan akademisi yang ada di IAI Ibrahimy. Bagaimana, cenderung pembahasan yang berada di pinggir jurang, ya? Saya sudah menyadari hal itu. Tapi, jika tidak ada yang mendemonstrasikannya, lantas siapa lagi? Setidaknya, untuk memberikan stimulasi bagi mahasiswa dan tenaga pendidik yang ada. Bukan maksud untuk menebar kebencian atau “nyinyir”, tapi untuk mendudukkan suatu persoalan yang sampai saat ini masih belum terselesaikan—jika tidak menyebutnya “belum tercium oleh mahasiswa” pada umumnya. Jadi, para pembaca yang budiman tidak perlu naik pitam dan kebakaran jenggot saat membaca tulisan ini. Cukup dengan merefleksi, mengevaluasi, dan melakukan otokritik, jauh lebih baik, daripada repot-repot harus mencari dan memanggil (bahkan melakukan tindakan intimidatif) mahasiswa “ingusan” seperti saya ini. Kalau njenengan orang tua, bukankah saya adalah anaknya? Jika benar demikian, mbok, ya, disayang dengan setulus hati anaknya ini.
Di IAI Ibrahimy, secara dikotomis, pimpinan maupun tenaga pendidik yang terdapat di dalamnya, merupakan politisi dan akademisi. Bahkan, sebagai mahasiswa saya sulit membedakan mana politisi, mana akademisi. Ya, meskipun tidak semuanya. Perlu digarisbawahi, saat membaca tulisan ini, jangan menggeneralisir, gebyah uyah, sehingga memunculkan suatu penyataan bahkan tuduhan yang lebih pantas berada di tong sampah. Baca dulu, baru komentar. Perihal interpretasi, saya serahkan pada pembaca. Mengapa politisi-akademisi yang ada di IAI Ibrahimy sulit di-diferensiasi? Nah, perihal ini, mari kita ndakik-ndakik ria!
Sudah mafhum bagi kita, bahwa di IAI Ibrahimy, khususnya dosen, ada yang mencalonkan diri untuk ikut memeriahkan kontestasi politik di tahun depan. Sederhananya, mereka nyaleg. Belum lagi, banyak dosen yang menjadi kader partai. Ada yang menunjukkan batang-hidungnya dengan terang-terangan, ada pula yang malu-malu kucing mengakuinya—tidak menunjukkan dirinya sebagai kader partai. Soal ini, urusan mereka mau bagaimana pada saat tahun politik seperti sekarang ini. Mau nyaleg kek, mau cari untung kek, atau mau itung-itungan, itu urusan mereka. Hak mereka. Namun, bukan berarti pilihan mereka menjadi politisi tidak memiliki konsekuensi. Pasti ada, jika kita melihatnya dengan seksama, dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Eh, kok, seperti proklamator saja saya ini. Maklum, terlalu bersemangat soalnya.
Secara definitif, politisi dan akademisi mempunyai pengertian yang berebeda. Bembeng J. Susilo mengatakan bahwa, politisi dan akademisi adalah dua hal yang berbeda. Akademisi adalah orang yang mencurahkan waktu, pikiran, dan hidupnya untuk mencari kebenarang melalui kerangka metodologis. Sedangkan, politisi adalah orang yang memiliki orientasi sekaligus mempertahankan kekuasaan. Secara eksplisit, ia membedakan politisi dan akademisi dengan dua istilah, yakni “salah” dan “bohong”. Sebagai akademisi, boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Kemudian, sebagai politisi, boleh bohong, tapi tidak boleh salah. Nah, hal tersebut yang sangat sulit untuk dipersatukan, antara salah-bohong. Akademisi boleh salah, tentunya secara metodologis, karena tulisan-tulisan ilmiah harus diverifikasi benar-salahnya. Apakah cacat secara metodologis atau kerangka epistomelogis-nya belum jelas. Lantas, bagaimana dengan akademisi-politisi atau menjadi akademisi dan politisi sekaligus?
Hal tersebut merupakan ambiguitas sebagai tenaga pendidik (dosen), terutama di IAI Ibrahimy—selanjutnya ditulis IAII—yang secara implisit mempunyai goals oriented pendidikan yang liberatif, komprehensif, dan menjunjung tinggi manhaj—fikr wal harokah—Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni tawassuth, tawazun, tasamuh, dan i’tidal. Dalam Statuta IAII tahun 2022, termaktub pada bagian kelima (etika akademik dan kode etik) pasal 14 poin tiga berbunyi: “Etika Akademik merujuk pada prinsip-prinsip kerja akademik, yakni Keterbukaan, Kejujuran, Persamaan hak (non diskriminasi); dan Profesional” (IAII, 2022). Profesionalitas sebagai tenaga pendidik sangat diperhitungkan dan menjadi fokus bagi setiap dosen yang mengajar di IAII. Namun, faktanya, sifat ganda yang ada pada beberapa dosen—menjadi politisi dan akademisi—membuat visi-misi yang menjadi konsensus bersama cenderung kabur, buram, dan mblereng. Hematnya, disorientasi.
Konsekuensi yang terjadi bisa panjang, tidak hanya berakibat pendangkalan akademik atau merosotnya kualitas akademik dan intelektual, namun juga berpotensi kepada hal-hal yang mempunyai tendensi negatif. Politisasi pendidikan, misalnya. Pendidikan dengan segala tetek-bengek-nya, berpotensi dipolitisasi. Bagaimana tidak, lha, wong, yang ada di struktur kepemimpinan didominasi oleh para politisi—yang memakai jubah kebesaran akademisi. Kemampuan taktik dan intrik sangat mereka kuasai, karena memang hal itu yang menjadi aktivitas para politisi. Secara paradoksal, mereka (politikus-akademikus) adalah segelintir orang yang hidup dalam dua dunia; dunia politik dan dunia akademik. Kemudian, pertanyaannya, dapatkah mereka menyeimbangkan keduanya? Jawabannya: sebuah hil yang mustahal. Dunia akademik adalah dunia yang menimbulkan benar-salah. Sedang, dunia politik berisi orientasi menang-kalah. Jika dua dunia tersebut diobjektivikasi, maka hasilnya akan berbenturan. Spektrum menang-kalah dengan salah-benar adalah dua hal yang berbeda. Atau, istilah yang sudah tertera di awal, tidak mungkin bisa dilakukan, karena akan menghasilkan sebuah konklusi yang sama sekali destruktif; berbohong sekaligus tidak mau salah. Zaman edan! Mana mungkin hal tersebut dilakukan di teritorial akademik. Seseorang bisa saja melakukan keduanya, jika sesuai porsi dan proporsi. Dia harus tahu kapan menjadi politisi, kapan menjadi akademisi. Tidak dicampuradukkan. Soalnya, bukan gado-gado.
Pendidikan bukan alat politik, akan tetapi politik adalah pendidikan (Purwanto, 2008). Pendidikan politik memang sangatlah penting bagi mahasiswa yang mempunyai hak suara dalam “pil-pil”-an ke depan—asalkan jangan pil koplo. Namun, bukan berarti lembaga pendidikan—perguruan tinggi—boleh dipolitisir. Lantas, wilayah mana yang netral dari tindakan politis? Ada. Apa? Tresnoku nak sampeyan, dek. Waduh! Sudah mulai ngelantur tulisan saya, ya.
Secara empiris, pada saat terjadi dinamika yang ada di IAII, mereka (para pimpinan rektorat) mempunyai interpretasi yang negatif mengenai demonstrasi. Hal ini menunjukkan, bahwa mereka masih belum siap menghadapi perkembangan atau mentalitas mereka masih belum siap untuk mewujudkan IAII yang lebih progresif dan mempunyai kerakteristik yang ciamik. Padahal, demonstrasi tidak se-nista dan se-mursal itu. Menurut saya, ini pertama kali saya katakan di tulisan saya, bahwa demonstrasi adalah salah satu manifestasi khidmah kepada instansi—dalam konteks ini IAII. Demonstrasi merupakan salah satu bentuk pengabdian yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dalam memperjuangkan keadilan, menegakkan kebenaran, dan memberikan dampak yang signifikan pada perubahan (Fajri, Muhammad, Buniyah, 2019). Jadi, njenengan-njenengan tidak perlu gelisah dan gundah gulana saat kamerad-kamerad melakukan aksi, toh, tujuannya bukan untuk mencemarkan nama baik kampus, kok. Mereka itu juga berkhidmah, sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Kan, kata kanjeng nabi Muhammad, semampunya, tho?
Saya baca ulang, tulisan ini, kok, terlalu panjang, ya. Sehingga, akan saya sederhanakan sesuai dengan apa yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini. Jadi, begini: kalau mau IAII berkembang, maju, dan mampu bersaing dengan kampus lain, seyogyanya kita harus melakukan diferensiasi antara politisi dan akademisi. Syukur bisa menetralisir politisi yang menjamur, njubel, di IAII. Itu lebih baik. Kalau sungkan, tidak kuasa menetralisir, ya, bagaimana mereka harus bisa menyesuaikan diri, bisa menempatkan diri. Kapan jadi politisi, kapan jadi akademisi. Sehingga, kultur akademik, kualitas akademik, dan tri dharma perguruan tinggi tidak terbengkalai. Agar resonansi revitalisasi kultur akademik menjadi nyata. Ndak terkesan utopis dan ndak hanya sekedar mimpi-mimpi belaka. Iya, kalau mimpi tersebut berpotensi jadi kenyataan, kalau mimpinya mimpi basah, bisa repot!
Lebih penting, bagaimana pimpinan harus menjamin netralitas IAII dalam kontestasi politik mendatang. Bagi kawan-kawan mahasiswa, juga demikian. Jangan hanya ikut arus dan menjadi ikan yang mati. Politisi itu pintar beretorika, suka membual, bahkan—istilah Mahbub Djunaidi—rasanya seperti menyopet saja, meskipun konstitusional. Realitas politik sekarang itu bengis, menjijikkan, dan penuh dengan intrik. Kita harus benar-benar membaca idealitas politik, epistemologi politik, dan tindakan-tindakan politik yang mampu mewujudkan maslahatul ummah. IAII akan berjalan lamban menuju “make great Ibrahimy”, jika cakar para politisi masih mencekam di berbagai posisi fungsional-strategis yang ada di IAII. Kasian, banyak hal yang harus diurus, terutama hal-hal yang fundamental. Sudah tidak menarik tuduh-menuduh, jegal-menjegal, dan propaganda sana-sini. Lebih baik kita bersinergi dan melakukan gerakan-gerakan kontributif untuk kemajuan IAII. Sudahi pertengkaran, bergandeng tangan, dan menolak dogmatisme akut yang menjamur, demikian jauh lebih penting daripada menjadi serigala bagi sesama, khususnya sesama mahasiswa. Kita tanggalkan homo homini lupus-nya Hobbes, sekarang waktunya kita menjadi homo homini socius atau homo homini humor ala Fariz Alniezar.
Akhirul kalam, sebagai seseorang yang ingin merevitalisasi kultur akademik yang ada di kampus, saya—bersama kawan-kawan—akan terus mendemonstrasikan wacana-wacana liberatif, kritik-konstruktif, dan pembongkaran ideologi konservatif yang menjadi parasit di IAII. Lekas sembuh Ibrahimy, bangun dan injak-injak hipokrisi wa akhwatuha yang seringkali menggerogoti. Adieu Ibrahimy, Adieu!
Oleh: Al-faqir Dendy Wahyu
Sanad Literatur
Adinda S, A. J. (2013). Akar Banalitas (Suatu Kajian Filsafat Ilmu). Jurnal Filsafat, 23(2). https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/13219/9461
Fajri, Muhammad, Buniyah, S. (2019). DEMONSTRASI DAN DAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI; JALAN PENGABDIAN DI BAWAH TEKANAN DAN POLITISASI. Memulihkan Komunikasi Belajar Dari Jatuh Bangunnya Kabinet Pada Masa Demokrasi Parlementer, 1.
IAII. (2022). Statuta Institut Agama Islam Ibrahimy 2022. July, 1–23.
Purwanto, N. (2008). Pengaruh Politik Dalam Bidang Pendidikan. Jurnal Manajemen Pendidikan UNY, 14(02), 114488.
Van F.C, L. L., Suci, A., Simabura, C., Yandra, A., Sadjati, E., Faridhi, A., & Widayat, P. (2022). Politisasi Senat Akademik Dan Relasinya Dengan Konflik Kepentingan dan Perilaku Korupsi di Perguruan Tinggi. Integritas : Jurnal Antikorupsi, 7(2), 373–391. https://doi.org/10.32697/integritas.v7i2.840
https://www.kompasiana.com/bambangjes/550e0633813311b92cbc60de/apa-beda-politisi-dan-akademisi (diakses pada 16/10/2023)
Posting Komentar