Pena Laut - Manusia merupakan makhluk sosial sehingga membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Menurut Aristoteles, pada dasarnya manusia selalu ingin bergaul dengan sesama manusia lainnya (Zoon Politicon). Sejak lahir manusia memiliki naluri atau hasrat yang kuat untuk hidup ditengah-tengah manusia lainnya. Naluri atau hasrat manusia untuk hidup bersama dengan lainnya disebut gregoriousness.
Manusia selama ia hidup, diperlukan adanya interaksi pada manusia lainnya. Sebab, hampir seluruh kehidupan kita, tidak akan pernah terlepas dari peran orang lain. Urusan makan, misalnya, dibutuhkan peran orang lain untuk menyiapkan atau membuat bahan yang diperlukan. Untuk memperoleh beras, perlu adanya petani yang menanam, perlu pedagang- pedagang beras, perlu orang yang mengangkut atau mengantarkannya. Urusan pakaian, dibutuhkan peran orang lain untuk membuatnya. Penjahit, penyablon, pembordir, dsb. Hampir setiap urusan kita, tidak terlepas dari peran orang lain. Sudah tentu tidak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia dan manusia lainnya saling membutuhkan. Manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bersama manusia lainnya.
Namun terkadang kondisi ini disalahartikan. Beberapa orang terlalu mementingkan kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaannya sendiri. Mungkin, sebagian orang menganggap hal ini merupakan hal yang lumrah, namun yang perlu ditekankan adalah seseorang tersebut terlalu meng-orientasikan hidupnya pada orang lain, sampai ia melupakan kehidupannya sendiri.
Problem tersebut, dikalangan para ilmuwan, dikenal dengan seorang yang sedang mengidap “People Plaser”. Nama perilakunya atau sifatnya “People Pleasing”: sebutan bagi “sikap” seseorang yang kapanpun dan dimanapun selalu berusaha untuk menyenangkan orang di sekitarnya. Cenderung melakukan hal apapun untuk membuat orang di sekitarnya tidak kecewa pada dirinya. Pemilik sikap people pleasing disebut dengan “People Pleaser”.
Berikut akan penulis paparkan lebih lanjut mengenai perilaku People Pleasing.
Gambaran Umum People Pleasing
People Pleasing secara umum yakni: suatu sikap seorang yang hidupnya selalu berorientasi menyenangkan orang lain, namun ia lupa untuk menyenangkan dirinya sendiri. Sikap individu yang selalu memikirkan kenyamanan orang lain, menjadikan orang lain sebagai titik pusat kehidupannya. ‘Pokok sampean seneng, nyaman, aku yo seneng’. Bahkan, sampai menganggap dirinya sendiri tidak terlalu penting.
Sikap ini cenderung berfokus pada bagaimana agar dirinya dipuji, disukai orang lain. Menginginkan orang lain agar selalu senang padanya. Demi hal tersebut, dirinya sampai rela untuk melakukan hal yang diluar potensinya, hanya sekedar untuk membuat orang lain suka. Dalam dunia per-medsos-an hal ini banyak terjadi. Misalnya, seorang yang rela memakan makanan yang tidak disukainya, hanya demi tanda like yang banyak; seorang yang rela nyemplung ke-Got demi pengikut kontennya. Padahal dengan melakukan apa yang dirinya sendiri tidak mampui, ia merasa tidak nyaman. Tapi demi orang lain suka, ‘yo terobos wae wes’.
Seorang yang memiliki sikap people pleasing dinamakan “People Plaser”. People Plaser menganggap nilai dirinya sendiri terletak di pandangan baik orang lain. Tolak ukur diri sendiri bisa dikatakan baik adalah ketika orang lain mengatakan baik kepadanya. People Plaser tidak sama dengan peduli terhadap sesama. Karena, sikap seorang people plaser ibarat orang yang menggadaikan kebebasannya; orang yang memasrahkan eksistensi dirinya kepada orang lain (Faiz, Fahruddin. 35). Selaras dengan pendapat seorang filsuf Eksistensialis berkebangsaan Jerman, Martin Heidegger. Ia mempunyai konsep tentang manusia. Manusia, menurut Heidegger, dibagi menjadi dua: manusia autentik (Dassein) dan manusia tidak autentik (Das man). Dassein itu manusia yang menjadi dirinya sendiri. Ia eksis sebagai dirinya sendiri dan hidup sesuai keinginannya, kemauannya, potensinya sendiri. Sedangkan Das Man yaitu manusia yang mengikuti arus di sekitarnya. Ia tidak terlihat sebagai dirinya sendiri, karena hidupnya selalu mengikuti orang lain. Seolah-olah ada tapi sebenarnya tidak ada. Ia ada sekaligus tidak ada, wujudnya ada tapi wujud (otentisitas) kemanusiaannya tidak ada. Dalam slogan Arab, ada ungkapan “wujuduhu ka’adamihi” yang bermakna “adanya seperti ketidak-beradaannya”.
Dalam ihwal psikologi, People Pleasing merupakan perilaku yang berhubungan dengan gangguan kepribadian dependen (DPD). Seseorang merasa sangat bergantung pada orang lain untuk mendapatkan bantuan dan persetujuan dalam berbagai aspek kehidupan. Ia sangat butuh membutuhkan validasi eksternal. Ia merasa memiliki tuntutan untuk dapat memberikan dampak besar bagi kehidupan orang lain. Sumber kekuatan dan kelemahan mereka berasal dari pengakuan dan pe”label”an orang lain terhadap dirinya. Kebutuhan untuk dapat diterima orang lain adalah kebutuhan terbesarnya. Ia beranggapan bahwa dirinya layak mendapatkan cinta, perhatian, dan pengakuan, jika dirinya sudah telah banyak berkorban dan memberikan segalanya kepada orang lain. Padahal, belum tentu orang lain akan memberikan feedback yang sama dengan apa yang telah ia berikan (Harriet, 2001: 199).
Seringnya berusaha untuk memenuhi harapan, keinginan, pendapat orang lain, membuat people pleaser tidak memahami apa yang sebenarnya ia inginkan dan rasakan. Sebab, ia selalu berfokus pada bagaimana agar orang lain senang, baik kepadanya. Bahkan, sampai ia takut orang lain marah ataupun tidak suka padanya. Oleh sebab itu, ia selalu menyetujui apapun pendapat, perintah, keinginan, permintaan orang lain.
People pleaser cenderung untuk menghindari konflik dan keterasingan, sehingga dirinya cenderung mudah menyetujui opini publik meskipun dirinya memiliki opini pribadi yang bertentangan dengan opini yang ada. Mereka lebih memilih untuk menyimpan opini pribadinya tanpa menyuarakannya (Wee, 2021: 35).
Sulit untuk mengatakan “tidak” atas permintaan, pendapat, perintah orang lain. Saking sulitnya, tak jarang seorang people pleaser memanipulasi dirinya sendiri untuk dapat menerima permintaan orang lain, padahal ia sendiri “kaboten” untuk melakoninya. Bahkan, ia tidak peduli meskipun permintaan orang lain tersebut menyebabkan banyak masalah pada dirinya.
Bila dilihat dalam perspektif filosofis, sebenarnya ia sulit mengatakan “tidak”, karena ia takut dari rasa tidak nyaman yang datang saat mengatakan “tidak”. Didalamnya terdapat egoisme diri, yang berkamuflase seolah-olah sependapat dengan orang lain. Merasa sungkan bila ia tidak sependapat dengan orang lain. Ia sungkan karena menurutnya dengan ke-sungkanannya orang lain akan senang dan bahagia, tetapi sebenarnya terdapat kepentingan egoisme diri yang takut dengan ketidaknyamanan saat mengungkapkan ketidak-sependapatannya.
Seiring berjalannya waktu ia kehilangan dirinya. Ia terlalu sibuk terhadap pikiran dan perasaan orang lain. Bahkan, menjadi hal yang biasa saja, ketika ia meminta maaf pada sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahannya. Dan tentunya, mengalah merupakan kebutuhan primernya.
Sulit baginya untuk mendapatkan motivasi internal (afirmasi diri). Tidak jarang hal tersebut membuat people pleaser sering mengalami tidak percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, bingung, rendah diri, karena memiliki self-esteem (nilai-nilai universal diri sendiri) yang rendah (Wee, 2021: 35). Perlu digaris bawahi, people pleaser memiliki kebutuhan yang tinggi atas pengakuan dan penerimaan orang lain pada dirinya. Ia merasa aman, percaya diri dan berharga ketika ia telah mendapatkan hal tersebut.
Efek Sikap People Pleasing
Fahruddin Faiz (2023) dalam bukunya “Menjaga Kewarasan” menjelaskan bahwa efek seorang yang bersikap people pleasing, yakni: Pertama, ia menjadi tidak autentik (asli). Sebagaimana pendapat Heidegger yang telah dipaparkan diatas. Ia kehilangan otentisitas kemanusiannya, karena hidupnya selalu dipersembahkan untuk orang lain, hidupnya selalu digadaikan untuk orang lain, hingga ia menganggap bahwa nilai hidupnya tergantung pada persepsi orang lain. Segala aktivitasnya hanya untuk membahagiakan orang lain, tetapi lupa dengan kebahagiaannya sendiri.
Kedua, benci kepada diri sendiri, self-hatred. Karena people plaser selalu mengabaikan kebahagiaan dirinya sendiri demi orang lain, maka akan berujung pada benci terhadap diri sendiri.
Ketiga, munculnya mental merasa dimanfaatkan orang lain. Ketika sudah merasa dimanfaatkan, kemungkinan ia akan lelah, stres, depresi. Karena ia merasa bahwa dirinya hanya digunakan sebagai alat untuk memuaskan hasrat kebahagiaan orang lain.
Mengurangi sikap People Pleasing
Prinsip dasar yang mesti dipegang untuk mengurangi sikap people pleasing adalah dengan memiliki dan menegakkan personal boundaries (batasan pribadi): aturan yang ditetapkan individu untuk orang lain, tentang perlakuan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap dirinya. Individu yang telah menetapkan batasan pribadi mampu untuk menunjukkan hal-hal yang menurutnya dapat diterima ataupun tidak. Jika ada hal-hal yang tidak dapat diterima, maka saatnya menunjukkan respon aktif berupa penolakan.
Penetapan personal boundaries bukan berarti egois, melainkan demi melindungi ruang pribadi. Sehingga ia dapat menjalani hidup dengan nyaman, bebas, bahagia, nikmat dan sesuai nilai-nilai kebutuhannya. Menetapkan batasan pribadi sama dengan memasang pintu di kamar, ada saatnya pintu kamar itu ditutup, karena tidak ingin sembarangan orang masuk, dan ada saatnya pintu kamar itu dibuka, yang menandakan siapapun boleh masuk (Wee, 2021: 61). Ketika kamar tidak dipasangi dengan pintu, maka seolah-olah dirinya memepersilakan siapapun untuk masuk kamarnya dengan seenaknya.
Seorang yang telah menetapkan batasan-batasannya pada orang lain akan lebih menghargai dirinya sendiri dan mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya, tanpa mudah terpengaruh oleh orang lain. Namun, hal yang perlu diperhatikan ketika anda telah menetapkan batasan pada orang lain, maka anda juga harus menghormati, menghargai batasan yang ditetapkan orang lain untuk anda. Sehingga, setiap orang mendapatkan haknya dan dapat hidup berdampingan secara damai.
Pada intinya, penting sekali bagi kita untuk menetapkan—atau paling tidak “mengetahui”—batasan-batasan diri kita terhadap orang lain. Juga menghargai batasan-batasan yang ditetapkan orang lain pada kita.
Wallahu’alam
Oleh: Hilmi Hafi
Daftar Rujukan:
Fahruddin Faiz. Menjaga Kewarasan. Yogyakarta: MJS PRESS, 2023.
Harriet B. Braiker, The Disease to Please - Curing the People-Pleasing Syndrome. New York: McGraw-Hill, 2001.
Wee, Desy. Tegas Membangun Batas. Yogyakarta: Laksana, 2021.
Posting Komentar