Pena Laut - Yogyakarta dikenal sebagai salah satu pusat seni dan budaya yang penting di Indonesia. Seni tradisional seperti wayang kulit, gamelan, dan tari-tariannya yang khas tetap dilestarikan. Masyarakatnya konsisten melestarikan nilai-nilai budayanya. Iklim berkeseniannya tumbuh subur dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Dinamika kesenian di Djogjakarta mencerminkan keselarasan antara warisan budaya dan semangat berinovasi. Kolaborasi antara tradisi dan inovasi dapat menciptakan lingkungan yang subur bagi pertumbuhan seni dan budaya. Yogyakarta sebagai tempat yang “aneh” telah menginspirasi banyak orang, tak terkecuali seniman. Banyak seniman besar lahir di Yogyakarta seperti Umbu Landu Paranggi, Sasmita Mardawa, Bagong Kussudiardja, Linus Suryadi AG, MH. Ainun Nadjib, Butet Kertaradjasa, Djaduk Ferianto, Garin Nugroho dan lain sebagainya.
Pertumbuhan kesenian di Yogyakarta disebabkan karena geliat komunitas seninya konsisten mengaktivasi ragam kegiatan. Selain memiliki berbagai komunitas seni yang berperan dalam menggerakkan kesenian, keberadaan institusi pendidikan seninya juga mendukung mulai dari tingkat sekolah menengah sampai pendidikan tinggi. Senimannya tidak hanya menciptakan karya seni yang orisinal dan inovatif, tetapi juga masyarakat seninya memperlihatkan kepedulian dan apresiasi yang tinggi terhadap pengembangan seni di daerah. Yogyakarta memiliki keunikan dalam membangun dinamika berkeseniannya. Meskipun bersikap terbuka terhadap perubahan, kota ini tetap menjaga orisinalitas adat dan budayanya. Senimannya punya keberanian untuk bereksperimen. Dalam hal inovasi inilah seniman, intelektual dan masyarakat seni di Yogyakarta punya kesadaran tentang pentingnya membangun kritik seni.
Seniman menyadari pentingnya kritik seni sebagai alat dan sarana untuk evaluasi dan pengembangan diri. Masyarakat seni di Yogyakarta memandang kritik seni memiliki kontribusi bagi kemajuan kesenian secara keseluruhan. Salah satu contoh seniman yang memahami hal tersebut adalah Eko Nugroho. Eko Nugroho adalah seorang seniman visual yang dikenal dengan karyanya yang beragam, mulai dari lukisan, mural, instalasi, seni patung hingga seni kriya. Eko Nugroho secara terbuka menyatakan bahwa kritik seni merupakan bagian yang penting dalam perkembangan dirinya sebagai seniman. Ia sadar bahwa kritik seni dapat memberikan dan melahirkan sudut pandang baru, membantu melihat kelemahan dan kekuatan dalam karyanya, serta memberikan inspirasi untuk terus berkembang. Eko Nugroho sering mengikutsertakan karyanya dalam pameran seni baik di dalam maupun luar negeri, dan menerima kritik serta umpan balik dari para kritikus seni dan pengunjung.
Melati Suryodarmo, seorang seniman tari yang juga menghargai peran kritik seni dalam pengembangannya. Melati Suryodarmo sering melakukan pertunjukan tari eksperimental yang menggabungkan gerakan tubuh dan interaksi dengan audiens. Ia memanfaatkan kritik seni sebagai sarana untuk menjelajahi dan memperdalam pemahaman atas karya-karyanya. Dalam beberapa kesempatan, Melati Suryodarmo aktif berpartisipasi dalam diskusi dan forum seni untuk mendiskusikan karyanya dengan para kritikus dan pengamat seni. Kedua seniman ini adalah contoh dari banyaknya seniman Indonesia yang menyadari pentingnya kritik seni sebagai alat evaluasi dan pengembangan diri. Kesadaran ini membantu mereka untuk terus tumbuh dan berkembang dalam karya-karyanya, serta meningkatkan kualitas seni yang mereka hasilkan.
Meski sama-sama kaya akan modal tradisi, apa yang terjadi dan bergeliat di Yogyakarta tidak terjadi di Banyuwangi, di mana kritik seni tidak berkembang dengan baik bahkan bisa dikatakan mati. Minat dan apresiasi seni masyarakat Banyuwangi bisa dinilai rendah. Pelukis selalu mengeluh betapa susahnya menjual karya di Banyuwangi, kalaupun terjual harganya pas-pasan. Seni di Banyuwangi memang tampak adidaya dengan dikemas dalam beragam program festival. Namun, sebenarnya rapuh. Salah satu alasan utama bahwa minat seni masyarakat di Banyuwangi rendah adalah kurangnya pemahaman yang mendalam terhadap seni sebagai bagian integral dari budaya dan kehidupan sehari-hari.
Pertama, Banyuwangi masih dianggap sebagai daerah yang lebih konservatif dan terikat ketat dengan tradisi. Budaya dan kesenian tradisional seperti tari, musik, dan pertunjukan wayang masih mendominasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat mengakibatkan keterbatasan dalam eksplorasi dan penerimaan terhadap bentuk-bentuk baru pada seni kontemporer yang lebih eksperimental dan inovatif. Kedua, infrastruktur pendukung bagi pengembangan seni di Banyuwangi masih terbatas. Kurangnya fasilitas seperti galeri seni, ruang seni pertunjukan, dan ruang pamer yang memadai dapat menghambat perkembangan proses berkesenian. Minimnya dukungan anggaran dan kurangnya aksesibilitas terhadap pelatihan seni, pendidikan, dan advokasi seni juga dapat mempengaruhi minat dan partisipasi masyarakat. Ketiga, kurangnya pemahaman tentang pentingnya kritik seni dapat menjadi faktor penurunan minat seni masyarakat Banyuwangi. Kritik seni yang konstruktif dapat membantu seniman untuk memperbaiki dan menyempurnakan karya mereka, namun jika kritik seni tidak berkembang bahkan dibungkam, maka seniman Banyuwangi bisa dipastikan tidak dapat berkembang. Bagi seniman yang hidup dalam keadaan yang tak mendukung ibarat tumbuh namun layu.
Penting bagi Banyuwangi untuk menjadikan Yogyakarta sebagai contoh serta memahami peran penting kritik seni dalam memajukan kesenian dan melestarikan kebudayaan. Bukan justru mengabaikan, pemerintah daerah Banyuwangi suatu ketika pernah mengadakan kegiatan menghadirkan seniman dari luar daerah. Mengundang seniman dari luar daerah tentu ongkos-nya tidak murah, seperti konser Denny Caknan. Meskipun konser tersebut mendapatkan perhatian dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat, namun pemerintah daerah juga harus mengoptimalkan potensi seniman lokal seperti Yon's DD dan Catur Arum. Kehadiran seniman dari luar daerah memang penting dan dapat menjadi motivasi bagi seniman lokal sekaligus menarik minat penonton, namun penting bagi pemerintah daerah Banyuwangi untuk memberikan kesempatan yang sama dan panggung yang lebih besar kepada seniman lokal-nya. Mengadakan konser yang memaksimalkan seniman lokal tidak hanya akan mendukung perkembangan dan eksistensi mereka, tetapi juga akan memperkuat identitas budaya daerah.
Saya mencermati bagaimana kritik seni di Yogyakarta bisa tumbuh, ternyata bermula dari sikap mengapresiasi pemerintah daerah dan masyarakatnya terhadap karya seniman lokal-nya. Pemerintah daerah Yogyakarta telah lama memberikan perhatian dan dukungan yang kuat terhadap seniman lokal, baik melalui program-program budaya maupun pengembangan infrastruktur seni. Masyarakat Yogyakarta juga memiliki rasa bangga dan kepedulian yang tinggi terhadap seniman lokal, sehingga mereka secara aktif mendukung dan menghargai karya-karya yang dihasilkan. Dengan adanya apresiasi dan dukungan yang kuat dari pemerintah daerah dan masyarakat, seniman lokal di Yogyakarta merasa dihargai dan didorong untuk terus berkarya. Perlu dicermati bagaimana Banyuwangi semestinya dapat belajar dari pendekatan tersebut. Fasilitasi seniman yang berasal dari luar daerah secara berlebih dapat mengabaikan potensi dan talenta seniman lokal yang ada di Banyuwangi. Kritik yang demikian pernah saya utarakan langsung kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata dan Dewan Kesenian Blambangan. Namun, rasa-rasanya kritik tersebut tidak pernah sampai di meja pimpinan. Barangkali dianggap sebagai keluh-kesah biasa yang tak penting untuk disalurkan. Kritik yang disampaikan seharusnya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan seni dan budaya.
Dalam rangka meningkatkan penghargaan dan dukungan terhadap seniman lokal, penting bagi pemerintah daerah Banyuwangi untuk mendengarkan aspirasi dan kritik yang disampaikan oleh seniman maupun komunitas seni dan budaya setempat. Dewan Kesenian Blambangan memiliki peran penting dalam menjadi jembatan antara seniman dan pemerintah daerah. Dewan Kesenian Blambangan dapat mengadvokasi peningkatan alokasi anggaran untuk kegiatan seni dan budaya dalam program-program pemerintah daerah. Selain itu, Dewan Kesenian Blambangan juga dapat mengusulkan program-program atau kebijakan yang mendukung pengembangan seni dan budaya di daerah. Dewan Kesenian Blambangan harus bekerja secara maksimal. Mereka harus memiliki kecakapan dalam menganalisis dan merumuskan kritik serta masukan dari seniman, sehingga dapat diungkapkan dengan baik kepada pemerintah daerah. Melalui dialog yang bersifat terbuka dan transparan, pemerintah daerah dapat memahami masalah yang dihadapi oleh seniman lokal dan mengambil langkah-langkah konstruktif untuk memfasilitasi pengembangan dan eksistensi mereka.
Tanpa pemahaman yang memadai tentang peran dan manfaat kritik seni, masyarakat dan pemerintah daerah cenderung menganggapnya sebagai hal yang tidak relevan atau kurang penting. Kritik seni memiliki peran yang lebih mendalam. Kritik seni bukan hanya tentang menghargai atau mengevaluasi karya seni, tetapi juga tentang menganalisis dan menginterpretasikan makna, konteks, serta dampak sosial dan budaya dari karya tersebut. Sayangnya, perhatian terhadap kekuatan kritik seni sering kali terabaikan. Kritik seni memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan dalam masyarakat. Kritik seni ini dapat menjadi alat untuk membangun kesadaran budaya dan menghasilkan perubahan yang positif.
Saya ingin menarik perhatian pada aspek lain dari kritik seni yang jarang dibahas, yaitu: kekuatannya. Kritik seni bukan hanya tentang memberikan penilaian atau ulasan, tetapi juga tentang memproduksi pemikiran. Melalui kritik seni yang konstruktif, kita dapat membantu mengembangkan kualitas karya seni, mendorong perdebatan yang sehat, serta meningkatkan apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap seni. Penting bagi kita untuk memperhatikan dan mendukung pertumbuhan kritik seni di Banyuwangi agar seni dan budaya di daerah ini dapat berkembang dengan lebih baik dan memberikan kontribusi yang bermakna bagi masyarakat. Harapannya, agar seni di Banyuwangi dapat tumbuh tak layu.
Hari Purnomo, M.E. (Dosen IAI Ibrahimy, Genteng, Banyuwangi)
Hari Purnomo, M.E. (Dosen IAI Ibrahimy, Genteng, Banyuwangi)
Posting Komentar