BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Konferensi dan Rimba Iblis Stuktur Organisasi


Pena Laut
- Tipologi manusia itu ada banyak, tidak bisa terhitung malah. Tapi, secara umum, karena manusia adalah makhluk sosial—berdampingan dengan manusia dan makhluk lain—dan memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan makna dalam kehidupan, maka perlu beberapa epistemologi dan aksiologi yang tidak memiliki kecacatan di dalamnya. Tipologi yang dimaksud, setidaknya terdapat dua sifat, yakni: altruis dan individualis. Perihal pembaca suka memakai istilah tersebut atau yang lain, seperti soliter, melankolis, populis, atau beragam istilah yang berkaitan dengan hal tersebut, silahkan saja diganti. Tidak perlu mengernyitkan dahi berlama-lama, sudah saya beri kebebasan. Toh, bukankah kebebasan ada di dalam diri setiap manusia? Soal ini, silahkan saja tanya ke Sartre atau filsuf Anarkis asal Rusia yang punya jenggot seperti pohon beringin, yakni Mikhail Bakunin. 

Altruisme, bisa dipahami sebagai manusia yang melulu orang lain, selalu mendahulukan orang lain, mementingkan kepentingan orang lain. Lantas, bagaimana dengan dirinya? Urusan belakangan. Sedangkan individualis adalah orang yang sukanya sendirian, uzlah, dan bahkan kalau bisa, semuanya dikerjakan sendiri. Apakah bisa? Enggak! Sehingga, keduanya merupakan tipologi manusia yang tidak bisa dilupakan dalam kehidupan kita saat ini. Belum lagi, berjimbun istilah yang menyesakkan pikiran dan perjalanan kita di kemudian hari. Sesak, kumuh, dan menyebalkan. Ya, begitulah keadaannya sekarang. Hematnya, lha, wong zaman akhir!

Menjadi altruis tok dan individualis tok, itu sangat tidak dianjurkan. Mementingkan orang lain, tanpa mementingkan diri kita sendiri, ya, bisa bobrok. Sedangkan, mementingkan diri sendiri—tak jarang membawa pada perilaku narsistik—tanpa melihat dan memerhatikan orang lain, itu juga tidak baik. Lalu, baiknya bagaimana? Ya, lakukan saja apa yang dikatakan kyai kampung, guru ngaji, dan pesan sang mualif dalam kitab-kitabnya yang menyeru kepada kebaikan. Amar ma’ruf wa nahi munkar. Jika tidak, sering kali kita tergopoh-gopoh dan belepotan saat melakukan aktivitas dan menetapkan keputusan dalam hidup yang dipenuhi oleh seonggok daging dan racun dari air ludah para politisi.

Tinggalkan saja pembahasan tentang tipologi manusia di atas, kita beralih pada pokok persoalan yang ingin saya utarakan pada tulisan—yang sebenarnya tidak layak dibaca—kali ini. Tidak seperti tulisan-tulisan sebelumnya yang terlampau banyak paragraf dan karakter (istilah di pojok kiri Microsoft Word), sehingga cenderung lelah dan menjenuhkan ketika dibaca. Saya sudah memulai tulisan ini, dengan penuh hati-hati dan terus mengingatkan diri saya seperti ini: jangan banyak-banyak tulisannya!. Layaknya para mursyid saat melantunkan dzikir, begitu pula saya mengingatkan diri saya saat menulis tulisan ini.

Fenomena tarik ulur Konferensi Cabang XXIV yang dilaksanakan oleh Pengurus Cabang PMII Banyuwangi pada bulan lalu memiliki konsekuensi yang cukup panjang—atau memang sangat panjang. Bagaimana tidak, ketidakjelasan yang terus dibiarkan dan cenderung disengaja tersebut, membuat wilayah-wilayah ideologis yang ada di dalam tubuh organisasi menjadi terbengkalai, termarginalkan, dan seolah-olah menginjak-injak nilai dengan menari-nari sembari memegang amplop yang bertuliskan “dana hibah”. Mau disebut komedi, kok, bukan ludruk. Mau disebut politisi, kok, mengingat namanya saja—secara ensensial—sudah berseberangan dengan kekuasaan. Paradoks. Absurd. Mbalelo.

Konferensi yang seharusnya menjadi lokus demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai, dan merumuskan role model kaderisasi—maupun administrasi—yang mampu menyesuaikan situasi dan kondisi saat ini, justru di-ubek-ubek dan ditarik ulur tanpa arah. Sampai di sini saja, saya yakin, beberapa pembaca yang budiman akan tertawa ha-ha-ha saat membacanya. Mereka (pembaca) akan menganggap pernyataan di atas tadi adalah sebuah utopia atau imajinasi belaka. Bahkan, sering kali penyataan demikian diabaikan. Kalau memang sudah mempunyai paradigma demikian, saya persilahkan untuk jadi badut-badut politik di organisasi politik sekalian. Pilih warna sesuka udel-mu saja. Atau, tinggal memejamkan mata, lalu tunjuk pakai insting. Beres. Iya, saya tahu, pendidikan politik itu penting. Tapi, mbok, ya, jangan terlalu diperlihatkan kejumudannya, khususnya dalam hal politik. Seyogyanya, kita sebagai khodimul harokah (istilah saya sendiri) mempunyai orientasi menjaga nilai, membenahi yang sudah terlampau rusak, dan melakukan tindakan yang progresif. Jangan malah menjaga konflik, merawat kultur politik-destruktif, dan dengan gagahnya menginjak-injak nilai organisasi. Beginian ini harus segera ditangani, khususnya bagi kader-kader aktif. Agendakan musyawarah (atau yang lebih familiar, ngopi), buat konsensus, lalu benahi bersama-sama, bergerak secara kolektif. Bukan malah sibuk membaca dan menganalisis “badai”—badai yang memporak-porandakan Konferensi.

Menurut informasi yang ada, beberapa Rayon dan Komisariat yang akan mengadakan kegiatan formal dan meminta legitimasi kepengurusan, justru terhambat. Karena, sekarang ini bisa disebut sebagai vacum of power (kekosongan kekuasaan). Bayangkan, komisariat yang mengadakan kegiatan kaderisasi formal harus menghubungi struktur PKC sendiri—tanpa dampingan PC—untuk membaiat calon sahabat-sahabat. Coba pikirkan sejenak, dengan penuh muhasabah diri, bagaimana nasib mereka ke depan, jika sampeyan duduk jegang dan berkelakar menyaksikan rumpun kader terseyek-seyek demi menyukseskan kegiatan formal yang hal itu dulu sampeyan katakan kepada mereka dengan artikulasi dan terminologi yang sangat ndakik (muluk-muluk, Red.). Kasus yang lain, terdapat pengurus Rayon yang ingin segera dilantik, agar legalitas secara struktural tidak mengambang—mau buat agenda, kok, masih belum punya SK. Surat Keputusan (SK) kepengurusan itu, selain menjadi landasan yuridis, juga mempunyai implikasi psikologis kader. Mereka akan merasa mempunyai spirit dan mengemban tanggung jawab dengan penuh khidmad ketika setelah mendapatkan SK atau setelah dilantik menjadi pengurus yang absah.

Setidaknya beberapa contoh di atas dapat memberikan gambaran umum tentang bagaimana situasi dan kondisi pengkaderan saat ini. Lantas, bagaimana keadaan mereka (Komisariat, Rayon, dan kader) saat ini? Jelas, mereka tetap berada pada khittah yang telah disepakati oleh para pendiri dan muharrik yang terus memperjuangkannya, khususnya pada spektrum ideologis. Dengan semangat pengabdian yang luhur, totalitas dan loyalitas yang tidak dapat diragukan, hembusan nafas pengkaderan masih berjalan seperti sedia kala. Namun, di sisi lain, mereka menanti kepastian kabar dari “bapak” yang sudah sebulan lebih tidak kelihatan batang-hidungnya. Seorang bapak yang tega menelantarkan anak-anaknya. Sebuah ironi. Sejauh ini, ini yang paling ndlogok

Persoalan bagaimana nanti penyelesaian calon ketua PC PMII Banyuwangi yang dengan pede-nya merasa pantas untuk menduduki kursi yang terus diperebutkan hingga hari ini, biarkan menjadi keputusan forum. Atau, bagaimana lah enaknya. Toh, egosentris masih terlihat jelas di atas kepala para calon. Sehingga, membutuhkan cara berpikir yang sesuai dengan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah, Nilai Dasar Pergerakan, dan konstitusi yang saat ini menjadi landasan dasar hukum di PMII. Al-Maghfurlah KH. Achmad Siddiq (Jember) telah memberikan kontribusi cara berpikir warga Nahdliyin yang belandaskan faham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam karyanya berjudul Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama (1992). Karya ini dapat dibaca dengan serius. Jika perlu, dalam mempelajarinya, menggunakan metode sorogan ala pesantren, agar dapat memahaminya secara komprehensif. Atau, kita harus kembali membaca dan menelaah manhaj al-Fikr wa al-Harokah yang selama ini kita demonstrasikan di depan “adek-adek” saat menjelaskan materi di kegiatan kaderisasi formal atau pada saat ngopi di persimpangan jalan. 

Seharusnya, sekarang ini kita sudah merumuskan bagaimana goals oriented PMII ke depan dalam menyongsong Abad kedua NU, Pemilu, dan tetek-benghek lainnya. Namun, yang paling fundamental adalah, bagaimana kita berproses di dalam organisasi, melakukan aktivitas yang mendukung kemajuan organisasi, dengan penuh riang gembira, berkelakar, enjoy, dan bersuka cita. Masa' iya, sampeyan-sampeyan lupa bahwa dunia adalah la’ibun wa lahwun? Ataukah kita memang senagaja melupakannya. Sehingga, dalam hidup—khususnya dalam berorganisasi—kita cenderung metenteng, mbesengut, terlampau serius, dan acap kali jegal-menjegal dengan sesama sahabat kita sendiri. Hal tersebut disebabkan, karena kita terlalu serius dalam berorganisasi. Sederhananya, kita harus ber-PMII dengan riang gembira dan penuh dengan gegap gempita. Full berkelakar. 

Secara genetis, kita (warga pergerakan) ini mempunyai sanad epistemologi yang jelas tentang bagaimana mengomentari sesuatu dengan bungkus humir, misalnya. Kita dapat melihat bagaimana Bung Mahbub Djunaidi menuliskan opini-opininya dalam Humor Jurnalistik (2018), Kolom Demi Kolom (2018), Asal Usul (2018) dan sastra seperti Angin Musim (1985). Belum lagi, ulama Nahdliyin yang menyampaikan ayat Al-Qur'an, hadits, hingga nasihat-nasihat keseharian dengan sarana humor yang sangat cerdas dan tangkas. Beberapa hal tersebut, kiranya cukup untuk mendukung gerakan #ber-PMIIdenganrianggembira yang saya maksud. 

Akhirul kalam, Konferensi harus segera dilaksanakan dan kaderisasi harus segera menjadi fokus bersama. Jika tidak, luluh lantakkan saja struktur itu. Struktur akan menjadi rimba yang menakutkan dan dihuni oleh berbagai spesies binatang buas. Rimba yang sangat politis dan destruktif. Kata Bung Mahbud Djunaidi:
“Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia”. Sudi kiranya saya tambahkan sedikit, “kader yang politis dan mengambil keuntungan pribadi di organisasi itu namanya iblis!”.


Oleh: Dendy Wahyu

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak