BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Jika Karl Marx Kebagian Serangan Fajar Menjelang Coblosan...

Seragan Fajar Karl Marx

Setiap lima tahun sekali, regenerasi kepemimpinan bangsa harus berganti. Pergantian lembaga tinggi negara (Eksekutif dan Legislatif), yang diklaim sebagai Pesta Demokrasi itu melibatkan rakyat sebagai penentu kepada siapa kekuasaan dan kewenangan memerintah akan berlabuh.

Beberapa minggu lalu, saya mengikuti sebuah kajian yang diadakan oleh Forum Gusdurian Banyuwangi. Macam perawan desa yang kejatuhan bunting, jika desis kertas surat suara sudah mulai dekat dengan telinga, banyak forum-forum kajian yang membahas soal demokrasi, kebangsaan, nasionalisme, atau apalah namanya itu.

Dalam forum tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh-tokoh masyarakat, yakni; mahasiswa, akademisi, aktivis, dan budayawan yang menjadi narasumber atau—lebih halus—pemantik dalam diskusi tersebut.

Saya tertarik dengan pemaparan Bung Yazid, salah satu pemantik yang membicarakan perihal politik uang (money politic), yang—mau tidak mau, harus kita akui—sangat menggiurkan. Bagaimana tidak?, ibarat ketiban duren, mereka yang dapat amplop Serangan Fajar seolah tiba-tiba mendapat rejeki nomplok. Tapi ini bukan esensinya, nah, mari kita bahas.

Bung Yazid menekankan tiga poin dalam pemaparannya tentang fenomena money politic atau—lebih lanjut agar terkesan jenaka— kita sebut saja ‘Serangan Fajar’. Bahwa Serangan Fajar akan mengakibatkan setidaknya dua konsekuensi besar.

Pertama, akan adanya alienasi dalam praktek pemilu, jika ‘budaya’ ini terus berlanjut kedepannya. Maksudnya adalah, pemilih tidak lagi menentukan pilihannya atas dasar keterwakilan, namun, atas dasar siapa yang memberi mereka uang atau ‘sumbangan’. Lebih jelas lagi, seyogyanya, pemilih harus menentukan pilihan mereka atas dasar jeniusnya gagasan dan tingginya kepercayaan mereka kepada para peserta pemilu, yang kelak akan mewakili masyarakat menuju cita-cita kehidupan tertentu. Bukan justru amplop siapa yang paling tebal, atau bingkisan dengan gambar siapa yang paling berat bobotnya.

Akibat kedua adalah, jabatan publik yang berfungsi sebagai ladang bisnis. Jelas, saya kok masih ragu, mereka yang menggunakan ‘modal’ uang sebagai pelicin suara, akan benar-benar tulus memberikan uang sebagai permohonan dukungan (suara). Bisa jadi, praktek korupsi yang sudah tidak lagi asing didengar tersebut merupakan ikhtiar mereka dalam mengembalikan ‘modal’, bahkan mengambil keuntungan yang lebih besar lagi dari ‘modal’ yang mereka keluarkan ketika masa kampanye.

Yang ketiga adalah solusi. Bung Yazid berharap adanya pendidikan politik, sebagai usaha pemerintah maupun masyarakat untuk kembali meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam praktik pemilu belakangan. Dengan harapan masyarakat akan semakin cerdas dalam memilih pemimpin dan perwakilan mereka.

Walaupun sebenarnya banyak sekali perdebatan, apakah Serangan Fajar itu menguntungkan atau justru merugikan masyarakat. Kalian bisa cari sendiri referensi untuk meluaskan pandangan mengenai hal itu.

Namun, saya disini hanya berangan-angan, jika Karl Marx masih hidup sampai sekarang dan tinggal di Indonesia, dan apabila pagi-pagi sebangun tidur, selepas kelon dengan istrinya, Jenny, tiba-tiba beberapa ‘Tim Sukses’ salah satu caleg mengetuk pintu rumahnya, lalu memberikan dua lembar amplop berisi gambar Pak Karno dan Bung Hatta di tiap amplop tersebut. Bagaimana reaksinya?.

Dalam film The Young Karl Marx yang baru saja saya tonton beberapa hari lalu, Marx adalah seorang yang memegang teguh prinsipnya tentang pembelaannya terhadap buruh pabrik di Prancis.

Ia bergabung dengan salah satu perusahaan jurnalistik, dan, hanya dia yang berani mengeluarkan tulisan-tulisan radikal. Sampai akhirnya ia terpaksa dikeluarkan dari perusahaan.

Dalam beberapa buku Marx, akan kita temui beberapa teori yang dikemukakannya. Mari kita bahas satu persatu.

Materialisme Historis


Mungkin sudah sering kita dengar, analisis Marx dalam filsafatnya, membuahkan dikotomi antar kelas yang didasarkan pada sudut pandang perekonomian. Kita sebut kelas Borjuis sebagai si pemilik mesin produksi (pabrik), dan kelas Proletar sebagai para buruh yang berkerja di pabrik.

Marx memahami cara manusia memenuhi kebutuhannya menjadi pondasi kehidupan masyarakat. Artinya, dari dikotomi di atas kita pahami bahwa kelas borjuis akan mendapatkan keuntungan dari produk hasil kerja para buruh. Yang konon, akhirnya mengakibatkan adanya fenomena eksploitasi para buruh yang bekerja tunggang langgang sampai keringat menetes deras dengan upah yang sangat sedikit, demi keuntungan para Bos Pabrik yang kipas-kipas pakai uang sambil ongkang-ongkang kaki.

Sekarang kita komparasikan dengan fenomena ‘Serangan Fajar’ yang saya maksud. Apabila money politic di Indonesia terus berlanjut, maka berpotensi akan terbentuknya dikotomi antara kelas caleg atau capres dengan kelas para pemilih—kita sebut saja seperti itu agar lebih mudah penyebutannya.

Jika potensi-potensi yang disebutkan Bung Yazid di atas adalah benar adanya, maka yang jelas-jelas yang diuntungkan adalah kelas para caleg atau capres tersebut. Sebab, ada kemungkinan mereka akan cari untung dari jabatan yang dimiliki untuk mengembalikan ‘modal’ yang telah dikeluarkan.

Kalau Marx masih ada, pasti ia akan berang. Kira-kira, seperti inilah analisis Marx berdasarkan teorinya. Kebutuhan suara dalam pemilu, akan didapat melalui ‘modal’ yang mereka keluarkan. Atau lebih sarkasnya, jumlah ‘modal’ akan selaras dengan jumlah suara yang di dapat, bahkan berpotensi lebih. Lalu masyarakat, akan dengan senang hati memilih siapapun yang memberi mereka amplop paling tebal.

Hal ini akan mengakibatkan potensi pembiasan atau penyimpangan dari tujuan penyelenggaraan pemilu itu sendiri, yang akan dijawab oleh teori Marx yang kedua.

Alienasi


Menurut Marx, pekerja dan produknya menerima satu keberadaan yang terpisah dari individual segera setelah properti pribadi dan pembagian kerja berkembang. Pemisahan ini menghasilkan pengucilan pekerja.

Ini yang berbahaya. Setelah para caleg atau capres itu sukses mendapatkan jabatan, mereka berpotensi memisahkan antara jabatan dengan suara yang mereka dapat di pemilu. Dalam konteks ini, pekerja—yang saya ibaratkan adalah masyarakat yang mencoblos si caleg atau capres, yang akan dipisahkan dengan produknya—yang saya ibaratkan sebagai sebuah jabatan. Dalam artian begini, setelah mereka menjabat, mereka akan lupa dengan rakyat (sudah macam aktivis bahasa saya. Hehe).

Jadi...


Kalau misalkan Marx masih hidup, ia akan terang-terangan menolak adanya money politic melalui tulisan atau orasi-orasinya dalam kesempatan apapun. Beruntung Marx sudah wafat, jadi para politisi itu sampai sekarang—terang terangan atau sembunyi-sembunyi—masih mengandalkan money politic untuk melancarkan hajatnya. Pun masyarakat yang menerima ‘serangan fajar’ masih rela mengorbankan hak memilih mereka yang seharusnya berdasarkan keterwakilan, malah berganti ke-amplop-an.

Jangan heran jika tuntutan masyarakat yang kerap disuarakan melalui aksi, audiensi, atau lain hal itu, masih belum menjadi perhatian para pejabat kita. Pun fenomena caleg yang gagal dalam pemilu jadi stres, bahkan masuk RSJ, sebab sudah rela KUR demi nyalon barangkali akan terus ada dan berlipat ganda.

Saya sepakat dengan Bung Yazid perihal bahaya money politic. Potensi bias itu pasti terjadi, yang seharusnya begini, malah begitu. Bahwa dasar keterwakilan sebagai landasan dalam memilih adalah wajib. Sebab, esensi dari pemilu adalah memilih pemimpin dan wakil yang nantinya punya kewenangan mengurus kita.


Oleh: Hafid Aqil
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak