BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Serba-Serbi Organisasi: Aktivis Pendopo & Aktivis Ideologis

Aktivis Pendopo & Aktivis Ideologis

Pena Laut 
- Di dalam negara demokrasi, hak atas kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi. Setiap orang berhak untuk mengutarakan pendapatnya atas segala sesuatu. Namun, bukan berarti hal tersebut dijadikan legitimasi atas penyataan yang mencaci, menghina, dan mensubordinasi orang lain maupun kelompok lain. Kelihatannya, para pembaca sudah mafhum apa yang saya maksud. Terlalu memberikan narasi panjang kali lebar tentang kebebasan berpendapat agaknya kurang etis jika dilakukan.

Organisasi adalah sebuah entitas yang tidak dapat dimarginalisasi dalam kehidupan bernegara, pun dalam negara demokrasi. Setiap organisasi mempunyai orientasi yang beragam dan jalan yang ditempuh juga berbeda. Ada yang menempuh jalan yang penuh onak berduri dan tebing terjal, ada juga yang sukanya melewati tangga eskalator, hingga ada organisasi yang hanya mau berangkat jika naik pesawat atau helikopter pribadi. Pluralitas organisasi membuat masyarakat awam menjadi kebingungan, garuk-garuk kepala, dan hanya melongo tak karuan. Pertanyaan yang ada di benak mereka sebenarnya sederhana, “maunya organisasi itu sebenarnya apa, sih?”.

Jika membahas organisasi secara umum, banyak sekali klasifikasinya. Tapi, yang mau saya bahas di sini bukan perihal organisasi secara umum, melainkan manusia-manusia yang ada di dalam organisasi ekstra kampus. Ya, organisasi ekstra kampus yang nggandul di kampus-kampus itu. Para kader yang menjalankan roda organisasi—meskipun sudah saya lihat dengan penuh seksama, mana ada organisasi yang punya roda?—biasanya dijuluki aktivis. Nah, kalau sudah membahas istilah yang sangat familiar di kampus itu, tak sedikit orang yang bersemangat dalam membahasnya. Mulai dari yang mengagumi pemikiran dan gerakannya, hingga yang strereotipe terhadapnya. Setiap orang memang suka menilai, tapi lupa akan dirinya sendiri. Kafire dewe gak digatekke. Soal beginian, biarkan menjadi urusan mahasiswa-mahasiswa yang baru membaca buku Madilog saja. Mereka sudah mampu menyelesaikannya. Jadi, saya rasa pembagian tugas adalah hal yang perlu dilakukan.

Fenomena yang saya temui justru lebih menggelitik dan membuat saya kembali ndakik-ndakik di depan laptop seperti ini. Mau tidak mengutarakan pendapat, kok kelihatannya sudah begitu menjamur. Jadi, bismillah akan saya tulis sesuai kemampuan. Bukankah seharusnya memang demikian, setiap orang melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Diungkapkan dalam bahasa hukum Romawi hal tersebut dirumuskan: ultra posse nemo obligator (tak seorang pun diwajibkan melakukan sesuatu yang melampaui kesanggupannya).

Persoalan yang tengah ditemui oleh kawan-kawan hari ini adalah, terdapat dikotomi antara aktivis pendopo dan aktivis ideologis. Keduanya merupakan realitas yang tidak bisa terelakkan, apalagi di ujung timur pulau Jawa ini. Berjimbun jumlahnya, sehingga terkadang sulit memberikan garis demarkasi antara dunia aktivis yang ada di Banyuwangi. Saya perjelas dulu, sebelum tulisan ini dihadapkan dengan manusia-manusia yang merasa dirinya aktivis. Bahwa yang saya bahas tidak semua organisasi, melainkan di tubuh organisasi saya sendiri. Kalau tidak tahu organisasi saya apa, silahkan cari di Google. Pasti ketemu. Beres!

Penyebutan aktivis yang dimaksud tidak hanya mengarah pada kader aktif, tapi juga untuk para alumni. Yang jelas, semua anggota, kader, pengurus, dan alumni termasuk ke dalam lingkaran aktivisme. Mengapa demikian? Karena semua berkaitan satu dengan yang lain. Kelihatannya, berkelindan, centang-perenang, namun sebenarnya berhubungan. Aneh, ya? Memang!

Untuk mempermudah pembahasan, saya akan membahasnya satu per satu dengan tidak melupakan bahwa saya juga ada di dalamnya. Sehingga, para pembaca yang budiman tidak perlu khawatir dan kebakaran jenggot, bahwa apa yang saya tulis juga sebagai otokritik kepada diri saya sendiri. Sudah, kan? Oke, mari kita ber-ndakik-ndakik ria!

Aktivis Pendopo

Banyak kader dan alumni yang mempunyai mental maupun tujuan-tujuan politis ke “Pendopo”. Istilah Pendopo, secara semiotik, mempunyai makna gila kekuasaan, pragmatis, dan oportunis. Kalau di Banyuwangi, Bupati bertempat di Pendopo atau yang biasa disebut Pendopo Sabha Swagata Blambangan. Rumah dinas Bupati Banyuwangi, ya, ada di sana itu. Kalau mau berkunjung, silahkan. Boleh saja jika hanya melihat-lihat atau mengabadikannya. Lumayan, buat kenang-kenangan. Bisa jadi, besok sudah tidak di sana lagi. Ibu Kota Negara saja bisa kok, apalagi hanya sebuah rumah dinas, perkara yang enteng. Sekarang rapat, besok sudah berdiri megah.

Aktivis model beginian jumlahnya cukup banyak, biasanya mereka ini hanya mengejar jabatan politik yang strategis. Orientasinya mendapatkan kekuasaan dan “keuntungan”. Bentuknya tidak hanya di posisi-posisi strategis, melainkan juga bagaimana mereka ini mampu meredam massa yang mbeling, tidak bisa diatur, dan sulit dikendalikan. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa kekuasaan seringkali menciptakan wacana yang cenderung hegemonik dan impulsif. Banyak kader yang ada di akar rumput terhegemoni oleh tindakan politis semacam ini. Seharusnya kader memfokuskan diri kepada hal-hal yang bersifat ideologis, tidak lantas terjatuh ke jurang pragmatisme politik.

Intervensi alumni terhadap kader menjadi salah satu penyebab atas sikap pragmatisme kader aktif. Ungkapan-ungkapan yang dilontarkan beberapa kader pada saat kajian atau pada saat rapat dapat menggambarkan fenomena tersebut, misalnya “pokoknya kata senior saya begini” atau “kata senior seperti ini, saya tidak kuasa menolaknya”. Saya heran kepada kader-kader yang sering melontarkan kalimat serupa, entah di dalam rapat atau saat konferensi telah tiba. Bukan maksud untuk merasa benar sendiri, tujuan saya tidak demikian. Saya hanya mengungkapkan keresahan selama berada di dalam organisasi. Itu saja, tidak lebih. Pertanyaan saya sangat sederhana, jika yang dijadikan landasan adalah selalu arahan alumni, lantas literatur yang sering kita baca dan kita kaji, ke mana semua itu? Apakah demikian yang dimaksud dalam visi-misi organisasi, atau memang hal ini sudah menjadi legacy yang tidak dapat didekonstruksi?

Tak hanya itu, realitas semacam itu dianggap banal oleh sebagian besar kader dan alumni. Jika hal itu terus menerus dianggap biasa, konsekuensinya akan menjadi banalitas. Maka, perlu menjadi sebuah bahan refleksi kita masing-masing, bahwa apakah memang demikian yang seharusnya kita lakukan? Main mata dengan penguasa Pendopo dan diam-diam mencari keuntungan pribadi. Tidak peduli hal tersebut merugikan orang lain, bahkan sahabatnya sendiri. Bukan berarti, saya ikut campur dalam urusan orang-orang. Bukan begitu. Tapi, yang ingin saya lakukan adalah memisahkan antara kepentingan individu dan kemurnian nilai-nilai organisasi. Bahkan, jangan sampai nilai-nilai yang selama ini telah diperjuangkan oleh para kader dan alumni pada masanya, justru dipertukarkan dengan satu-dua kursi. Na’udzu billahi min dzalik.

Tidak ada yang melarang siapa pun yang “nongkrong” di Pendopo, tapi yang harus menjadi perhatian bersama adalah, jangan sampai rumpun kader juga terkena imbasnya. Biarkan mereka itu bergerak dalam spektrum ideologis, ngopeni basis, dan fokus ke dalam aktivitas-aktivitas kaderisasi. Toh, kewajiban kita bersama adalah mengaktualisasi nilai-nilai organisasi, sehingga dapat memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat pada umumnya. Kalau saja tindakan yang njenengan-njenengan lakukan tidak berpengaruh pada proses kaderisasi yang ada di akar rumput, agaknya saya tidak akan berani mengutarakan uneg-uneg seperti ini.

Sudahlah, kita harus membagi urusan kita masing-masing. Wilayahnya juga sudah berbeda. Kalau ada yang suka di Pendopo, ya silahkan. Tapi, jangan bermain-main di ranah ideologis dan proses kader. Biarkan mereka menentukan pilihannya masing-masing, selagi masih berada di lingkaran organisasi—kader aktif. Begitu pun juga para kader, seyogyanya sampeyan-sampeyan ini juga berusaha mandiri. Jika ada persoalan, silahkan cari jawabannya bersama yang lain. Kalau belum ketemu jawabannya, silaturahim ke alumni-alumni. Minta masukan. Dengan catatan, tidak menganggap segala hal yang dikatakan alumni bersifat imperatif.

Aktivis Ideologis

Pada klasifikasi yang kedua ini, perlu penekanan pada setiap aktivitas yang dilakukan dalam organisasi. Bahwa dalam program yang diberlakukan harus bertendensi pada aktualisasi nilai, ketetapan yang telah dirumuskan, dan pengembangan kompetensi kader. Penekanan terhadap orientasi ideologis bermaksud untuk meminimalisir tindakan politisasi organisasi yang cenderung destruktif. Ambil contoh seperti pada periode saat ini, Pengurus Cabang (PC) yang hampir purna tersebut mengalami “pembelotan” orientasi. Bayangkan, di sebuah forum kaderisasi, yang seharusnya sebagai salah satu lokus manifestasi nilai-nilai organisasi, justru melibatkan politisi yang sedang “birahi” kekuasaan.

Hal tersebut sangat disayangkan, karena dapat menurunkan kewibawaan organisasi, di satu sisi, dan mengundang sudut pandang negatif, di sisi yang lain. Praktisi politik sah-sah saja jika dilibatkan dalam forum kaderisasi, sebagai narasumber, misalnya. Tujuannya bukan sebagai ladang kampanye, melainkan untuk menciptakan dialektika dalam forum. Perselingkuhan semacam ini harus digugat habis-habisan, agar tidak menjalar ke mana-mana. Apalagi, saat ini segala bentuk informasi sangat mudah dan cepat diakses. Kalau dokumentasi forum tersebut disebar, bisa lari tunggang-langgang. Iya, kalau dikejar binatang, kalau dikejar-kejar seluruh kader, bisa mampus.

Aktivis ideologis adalah kader organisasi yang memperjuangkan wilayah basis, orientasinya demi kemajuan kaderisasi, merawat nilai-nilai, dan biasanya tidak memiliki syahwat kekuasaan temporal. Mereka beraktivitas ke dalam dunia intelektual dan advokasi. Alhamdulillah, masih banyak juga alumni dan kader yang mau ngopeni wilayah ideologis semacam ini. Mereka lebih memilih untuk tidak memaksakan idealitasnya untuk kader aktif, tidak suka mengintervensi, dan tidak terlalu tersilaukan oleh gemerlap cahaya kemegahan Pendopo. Kebahagiaan mereka adalah, melihat para kader masih tetap menjalankan aktivitas-aktivitas intelektual, militan, organisasi berjalan progresif, dan tetap merawat nilai-nilai yang ada. Tentu, yang terakhir sesuai dengan konteks yang ditemui oleh para kader.

Konsistensi kegiatan kaderisasi, forum kajian ilmiah, dan memperkaya literasi adalah indikator bahwa wilayah ideologis masih tetap lestari. Kendati demikian, kultur intelektual organisasi lambat laun mengalami erosi. Fenomena senin-kamis-nya perjuangan kultur merupakan refleksi kita bersama, peran alumni dan kader sangat diperlukan perihal ini. Bukan berarti adanya erosi tersebut hanya disebabkan oleh kader aktif belaka, melainkan peran alumni dalam mendorong, memfasilitasi, dan terus melakukan kontrol terhadap kegiatan yang dilakukan juga sangat krusial. Sinergitas antara alumni dan kader, harus tetap terjalin harmoni untuk kepentingan yang lebih luhur, yakni demi kemajuan organisasi.

Selain melakukan distribusi kader, peran alumni secara materil dan moril sangat dibutuhkan oleh kader aktif. Cukup hanya dengan mengajak mereka ber-ndakik-ndakik ria, memberikan semangat, dan masukan untuk mengembangkan wilayah ideologis, akan sangat berarti bagi para aktivis yang tengah berjuang di bagian kultur organisasi. Wilayah kultur dan struktur, secara diametral, harus berjalan tanpa mengintervensi satu sama lain. Kalau pun terdapat intervensi, kultur harus mendominasi terhadap struktur. Jangan sebaliknya, bisa terjadi distorsi. Keduanya harus terisi, agar tidak pincang. Kalau pincang, upaya untuk melakukan transformasi dan produktivitas organisasi akan terhambat. Kalau terhambat, pasti terlambat. Kalau terlambat, bisa mendapatkan sanksi; dijewer atau dijemur, misalnya.

Akhirul kalam

Sebagai kalimat penutup, sebagai orang yang bertanggungjawab atas tulisan ini, saya memohon maaf atas kekurangan dan kelebihan tulisan ini. Kekurangannya, tidak nikmat dibaca. Kelebihannya, bisa nyulek moto (baca: mencolok mata). Jadi, saya meminta maaf atas keduanya. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa tulisan ini tidak lain hanyalah uneg-uneg. Kalau toh ada yang berbeda pendapat, monggo. Tapi, tulisan ini bisa dibantah kok. Dengan rendah hati, saya mengakui atas kesempitan berpikir saya. Dan juga, tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan salah satu pihak atau kelompok tertentu, melainkan hanya sekedar bahan refleksi.

Jika ada yang kebakaran jenggot, silahkan hubungi Pemadam Kebakaran (Damkar). Kalau ada yang kesusahan melepas cincin saja dibantu oleh Damkar, apalagi perihal kebakaran. Meskipun yang kebakaran jenggot si pembaca.


Oleh: Dendy Wahyu
1 komentar

1 komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak
  • mustofa
    mustofa
    12 Agustus 2023 pukul 09.30
    Mantaps
    Reply