Pena Laut - Dongeng-dongeng tentang hidup sejahtera, raja yang adil, masyarakat yang bergotong-royong, dan sebuah pandangan hidup yang bajik sudah banyak kita simpan di dalam kotak khusus yang berada di museum kita masing-masing, yakni alam pikiran. Perihal gotong-royong, misalnya. Saat mendengar istilah tersebut, agaknya seketika membentuk visualisasi yang indah, menawan, dan utopis di atas kanvas imajinasi. Satu dari dongeng atau cerita yang langsung teringat oleh saya adalah, soal kaum Samin.
Kaum Samin merupakan sekelompok masyarakat yang unik, dan tentunya kisah-kisahnya sarat akan hikmah dan filosofis. Banyak literatur yang menceritakan, meneliti dengan rigid, hingga tulisan reflektif mengenai kaum Samin dan kehidupan kita saat ini. Soesilo Toer—adik dari Pramoedya Ananta Toer—juga pernah mengumpulkan cerita pendek tentang manusia Blora itu di dalam buku yang berjudul Dunia Samin. Tokoh utamanya bernama Samin Soerosentiko. Orangnya eksentrik, dan pemikiran maupun perilakunya terbilang khariqul adah.
Kaum Samin atau juga disebut Suku Samin adalah cuplikan kisah kehidupan masyarakat yang berjuang demi kesejahteraan dan keadilan. Untuk memanifestasikan sebuah summum bonum yang dijunjung tinggi oleh sebagian masyarakat—sebagian yang lain menjadi lintah darat, pemimpin yang korup, munafik—, Samin Soerosentiko bersama dengan warganya berjuang dengan ‘tibo-tangi’. Seperti adagium yang mashyur, bahwa hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, (niscaya) tidak akan pernah dimenangkan. Lantas, mengapa masih banyak manusia yang hanya ingin menerima, namun tidak berusaha memberi? Hanya menunggu, tidak menghampiri?
Cuplikan tentang Samin Soerosentiko dan warganya di atas perlu menjadi renungan bagi kita. Kalau perlu, kita menjadi “Samin” kecil dan mengajak yang lain untuk menjadi kaum Samin secara holistik. Ya, tidak harus sama persis. Bisa pemikirannya tok, laku hidupnya tok, atau hanya njiplak namanya saja. Lho, meskipun hanya namanya saja, itu juga memberikan dampak positif bagi kita. Misalnya, kita bisa mengingat kiprah Samin, atau ketika menggunakan nama Samin, setidaknya kita punya beban moral untuk berusaha meneruskan perjuangan kaum Samin.
Kalau dikontekstualisasikan di kehidupan organisasi kita, sepertinya baik juga. Selama ini, kita terlampau utopis ketika membahas ihwal gotong-royong, sinergitas, simbiosis mutualis, hamonisasi, solidaritas-loyalitas, wa ghoirihim. Kalau menggunakan istilah Mazhab Softinalean, seringkali disebut pemikiran yang “nduakik”. Kita tanggalkan dulu perihal utopia dan ndakik-ndakik, yang ingin saya bahas di sini perihal gotong-royong dalam kehidupan berorganisasi kita saat ini. Tapi, ya, juga menggunakan paradigma yang sederhana, namun optimistik.
Sejauh ini, saya melihat adanya relasi antara anggota, kader, pengurus harian, dan alumni. Secara dikotomis, saya mengklasifikasikannya menjadi golongan muda dan golongan tua. Kalau pembaca kurang sepakat dengan dikotomi maupun istilah yang saya gunakan, silahkan buat istilah sendiri. Kalau hanya ingin berdialektika soal istilah, teks, tanya saja sama Saussure, atau Roland Barthes. Jika kurang marem, geser ke Prancis, ada Derrida. Sudah, kelihatannya mereka semua bisa menjawab perihal teks wa akhwatuha.
Relasi yang terkonstruk seolah-olah memberikan batas demarkasi yang jelas, entah itu disadari atau tidak. Memang, problem mutakhir, kita seringkali tidak sadar akan simtom-simtom realitas—istilah Kant—dunia fenomena. Ya, begitulah kita. Terkadang hidup di tengah ketidaksadaran. Tapi, ada pula orang yang menjalani kehidupan ini dengan serius, metenteng. Padahal, dunia itu memang play ground, tempat bermain dan bersenda gurau. La’ibun wa lahwun. Ya, seperti itulah multiplisitas kehidupan. Kadang gini, kadang juga gitu. Bahkan, ada yang menuntut gono-gini.
Batas demarkasi tersebut berkonsekuensi pada superioritas dan inferioritas. Bukan maksud untuk meng-generalisasi, tapi menurut hemat saya, seperti itu. Bukankah hidup itu sederhana, yang hebat-hebat adalah tafsirannya. Demikian kata Pram. Dan, setiap orang adalah mufassir dalam konteks ini. Mengapa terdapat batas demarkasi atau relasi yang sungguh nyata tersebut?
Nah, soal ini, karena saya sudah menyebutkan di awal bahwa tulisan ini menggunakan paradigma yang sederhana, maka sederhana pula sebabnya. Menurut hemat saya, sebabnya adalah “anggapan” bahwa golongan tua itu superior dan golongan muda itu inferior. Masih banyak sahabat-sahabat yang merasa bahwa dirinya lebih rendah dari yang lain, dalam konteks kualitas, kompetensi, dan kecakapan. Kalau soal umur dan pengalaman, jelas lebih banyak daripada kita. Namun, yang menjadi poin pembahasan ini adalah, sudut pandang golongan muda kepada golongan tua, dan sebaliknya, golongan tua kepada golongan muda.
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, memberikan pemahaman kepada kita tentang relasi di atas. Menurut beliau, saat kita berhadapan pada yang lebih tua, anggap saja bahwa mereka ini lebih banyak amal shaleh-nya daripada kita, sehingga kita harus menghormatinya. Sedangkan, saat kita berhadapan atau bertemu kepada yang lebih muda, anggaplah bahwa dia lebih sedikit melakukan dosa, karena umurnya masih muda. Jadi, kalau sudah demikian, lebih mudah untuk menuju organisasi yang berintregitas dan bernuansa gotong-royong. Antara kader dan yang ada di atasnya—kakak tingkat, pengurus maupun alumni—menjadi lebih harmonis. Karena, secara esensial, semuanya adalah sahabat, keluarga, dan kawan se-ideologi. Berarti, para alumni itu adalah sahabat kita dan kita adalah sahabat mereka. Keluarga. Kawan se-ideologi. Sampai di sini, jelas, kan?
Dalam relasi kita dengan sahabat, keluarga sendiri, maupun orang lain, seyogyanya keberadaan kita dapat memberikan manfaat. Anfa’uhum linnas atau menjadi nafi’. Setidaknya berusaha bermanfaat, itu sudah baik. Toh, Tuhan mewajibkan hamba-Nya agar senantiasa berusaha. Kalau saya boleh memberikan hastag tentang hal ini #sahabatbantusahabat. Tagar ini dilakukan tidak hanya pada segenap kader aktif, melainkan juga pada kader pasif—alumni. Saling membantu satu sama lain, saling menghormati, saling menjaga, dan saling memahami itu sangatlah penting. Misalnya, jangan berharap kita dihormati orang lain, jika kita tidak menghormati orang lain. Namun, perlu digarisbawahi, bahwa hal yang pertama kali kita lakukan adalah menghormati orang lain, bukan mengharapkan penghormatan orang lain. Menjadi subjek, bukan objek. Kalau kata filsuf Eksistensialis, JP Sartre, “kamu itu harus jadi etre-pour-soi (being-for-itself), jangan mau jadi etre-en-soi (being-in-itself)!”.
Syahdan, bagaimana langkah yang dapat kita lakukan untuk merealisasikan tagar #sahabatbantusahabat ini? Contohnya sebagai berikut:
Salah satu alumni organisasi kita telah berusaha sebagai produsen kopi sejak sekitar 2017. Memang, kopi menjadi usaha alternatif, selain melestarikan cita rasa kopi yang khas, juga untuk menglangsungkan hidup. Sesuai dengan apa yang kita ketahui, bahwa bekerja adalah ibadah. Jadi, beliau (alumni saya) ini berusaha beribadah (baca: bekerja) dengan memproduksi kopi. Namanya Binoemar. Bisa dicari di media sosial hingga Shopee. Varian kopinya cukup beragam, antara lain Robusta, Kopi Lanang, Excelsa, House Blend, Arabika. Mau yang kecil, besar, maupun jumbo juga tersedia. Bahkan, yang kemasan juga ada, misalnya K-Pop. Yang terakhir ini menggunakan kemasan Papper Cup dengan bubuk kopi 8 gram, gula 12 gram dsertai pipet/sedotan. Belakangan, juga menyediakan edisi khusus, istilahnya “Custom Edisi”. Maksudnya, melayani custom packing produk kopi, hampers, dan souvenir sesuai permintaan. Kalau yang hampers, harganya mulai Rp.100.000,- sudah berisikan 1 Pcs Kopi Besar, 3 Pcs Kopi Kecil dan 1 toples kue lebaran. Bisa sesuai pesanan, mau kue atau yang lain.
Untuk informasi lebih lanjut, bisa mengunjungi akun media sosial; Instagram: binoermar_garage, Facebook: Binoemar Garage, dan bisa memesan melalui WhatsApp: 085258771303. Oh, iya. Sedekar informasi, selain berpenampilan menarik, dengan kopyah loreng ala Maiyah, beliau (Bos Binoemar) juga ganteng dan periang.
Selain Binoemar, di kalangan kader juga ada yang usaha serupa seperti, Kopi Doa Ibu, Mbalam Kopi, Hand Kopi, dan lainnya. Belum lagi, usaha-usaha yang lain. Misalnya, usaha optik Grama Glasess, atau usaha sevice laptop Cyber Computer. Semoga kita dan seluruh sahabat kita senantiasa diberi kelancaran dalam berusaha, dilapangkan rezeki, sehat selalu, dan berkah hidupnya.
Di atas tadi adalah contoh bagaimana membantu sahabat kita yang mempunyai usaha, yang jelas sesuai dengan kemampuan kita. Kalau bisa tulis, ya dengan tulisan. Bisanya ngomong, ya setiap kali bertemu siapa pun, silahkan disampaikan. Bahkan, hanya sekedar nge-share flayer usaha sahabat, kawan, atau orang lain itu sudah sangat membantu.
Silahkan tagar #sahabatbantusahabat disebarluaskan, sehingga mempunyai spektrum yang lebih luas. Tidak hanya di wilayah kewirausahaan, tapi juga yang lain. Kalau kader partai bisa dengan masif nge-share flayer calon yang ingin dimenangkan, kita pun juga harus bisa melanggengkan hal serupa dengan maksud membantu sahabat kita sendiri.
Astaghfirullah! saya hampir lupa. Selain tagar #sahabatbantusahabat ini, kita harus mengkampanyekan berorganisasi dengan riang gembira. Soal yang terakhir, insyallah akan saya tulis di kemudian hari—jika tidak lupa. Sejauh ini, sudah saya gaungkan di beberapa kesempatan. Sekian. Terima kasih.
Oleh: Dendy Wahyu, Rektor Softinala Institute
Posting Komentar