BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Loe Anak Kiai, Loe Punya Kuasa!

Banner Meme

Pena Laut
- Judul tulisan ini sebenarnya bukan seperti yang termaktub. Ada dua judul yang sudah al-faqir siapkan. Yang pertama adalah, “Feodalisme Ala Pesantren”. Judul tersebut bagi saya terlalu berat, kaku, dan biasa-biasa saja. Hati saya takut jika nanti tulisan ini hanya dibaca judulnya. Tak bisa dipungkiri bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih menengah ke bawah. UNESCO menyebutkan Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam minat baca. terdapat 0,001 persen atau 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang rajin membaca. Sebenarnya saya suudzon bahwa hipotesis dari organisasi Internasional yang bergerak pada bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut salah adanya. Saya selalu berhusnudzon bahwa masyarakat Indonesia ini cinta baca (meski sedikit memaksa). Lalu judul kedua yang saya proyeksikan adalah, “Loe Anak Kiai, Loe Punya Kuasa. Taik!”. Judul ini tidak saya pilih karena terkesan terlalu kasar, dan kemugkinan terburuknya adalah ada kebencian datang sebelum tabayun dengan membacanya sampai usai. Semoga saja judul terakhir yang saya proklamasikan ini menarik dan lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Sehingga substansi celotehan ini dapat dicapai.

Akhir-akhir ini menjelang tahun pemilu 2024 kita banyak menemukan baliho-baliho besar di bibir jalan. Berbagai warna partai menghiasi asrinya lingkungan kita. Beragam tokoh yang kita tak tahu seluk-beluk hidupnya dengan baik harus kita akui mereka akan menjadi pemimpin dan perwakilan kita di masa yang akan datang. Namun, ada hal menarik yang menjadi intisari dari tulisan ini, yaitu “Politik Identitas Pesantren”. Dari baliho-baliho besar yang berkeliaran tak jarang kita temukan tulisan yang membawa nama besar pesantren seperti jargon, “Nderek Gus bla bla bla Putra asli Pondok Pesantren bla bla bla” juga tulisan yang dengan frontal menyebutkan nama bapak atau kakek sebagai backingan dari calon legislatif. Semisal maklumat, “Maju bersama Mbak bla bla bla putri dari kiai bla bla bla”. Melihat poster tersebut, tentu banyak hati yang terketuk untuk lebih condong ke sang Caleg. Khususnya mereka alumni, walisantri hingga simpatisan pondok pesantren terkait. Belum lagi di jiwa santri Yel-yel “Taat Manfaat gak Taat Kualat” sangat dominan menghiasi. Di kitab-kitab turats yang mereka pelajari mengajarkan betapa pentingnya patuh terhadap seorang guru ataupun menghormati keturunannya. Misal Caleg yang terpampang fotonya di sepanjang jalan belum memiliki track record yang baik atau belum banyak dikenal khalayak umum, kemungkinan untuk menduduki kursi-kursi dewan masih menganga luas.

Secara umum “Identitas” dalam buku Pengantar Politik Global karya Richard W. Mansbach dan Kirsten L. Rafferty memiliki arti ciri-ciri yang diakui seseorang mendefinisikan dirinya dan yang ketika dimiliki juga oleh orang lain mendefinisikan kelompok. Setiap Individu memiliki banyak identitas. Seseorang dapat menjadi warga negara Amerika Serikat, seorang Muslim, mahasiswa, wanita, dan lain sebagainya. Setiap identitas menyiratkan satu set kepentingan politik. Semua orang bisa mengidentifikasi dirinya sebagai suatu kelompok sehingga kelompok tersebut bisa condong hati untuk berada di belakangnya. Dan visi-misi serta program kerja yang diusung juga berpihak terhadap kelompok tersebut. Sebagai contoh orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai golongan dari Santri, Gus, Ning, atau Kiai maka orientasi dari program-program yang ia utarakan terkait kesejahteraan Pesantren dan masyarakatnya. Terkait politik identitas ini sebenarnya sudah sejak lama menjadi jurus ampuh untuk menduduki kursi-kursi kekuasaan. Selain identitas etnis, identitas agama sangat dominan terjadi di Indonesia. Hal itu wajar, karena sesuai kata Karl Marx Agama adalah candu bagi masyarakat. Membawa identitas agama di sini bukan sebuah pelanggaran dalam dunia politik. Sama halnya saat kita menonton sepakbola, kita akan mendukung Indonesia meski lawan yang harus dihadapi adalah juara dunia Argentina. Itu semua karena kita berada dalam sebuah identitas Nasional yaitu Indonesia. Dan mereka yang menjadi punggawa-puggawa timnas Sepakbola Indonesia juga memiliki kebanggan tersendiri karena dapat membawa nama besar negara di kancah dunia tak ubahnya kaum santri yang membawa palang pesantren di kancah politik.

Yang harus menjadi bahan pemikiran di sini adalah bagaimana mereka yang direkomendasikan sebagai calon dewan untuk meningkatkan kapasitas dan membuat track record baik di hati masyarakat. Bukan hanya grusak-grusuk yang penting maju dulu dan berbuat kebaikan saat akan pemilihan saja. Prof. Dr Abdul Djamali, MA dalam pengantarnya di buku Politik Kebangsaan NU (Tafsir Khittah Nahdatul Ulama 1926) menyebutkan bahwa yang terjadi saat ini banyak masyarakat yang berseloroh bahwa politik itu kotor dan hanya memperjuangkan perolehan suara. “Akademisi itu boleh salah tetapi tidak boleh bohong, sedangkan politisi itu tak boleh salah tetapi boleh bohong”, sehingga nantinya kiai yang terjun di politik dicap sebagai kiai yang berkonotasi negatif. Oleh karenanya agar stigma negatif tersebut bisa enyah di masyarakat, maka bagaimana positive image bisa dibangun oleh para caleg dari kalangan pesantren.

Siapapun yang akan meniduri kasur-kasur empuk jabatan nantinya semoga saja bukan mereka yang membanggakan “Aku anak siapa” atau “Aku Putra Pondok Pesantren ini” akan tetapi adalah mereka yang teguh dalam hatinya untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Amin.


Oleh : Zein
1 komentar

1 komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak
  • mustofa
    mustofa
    12 Agustus 2023 pukul 09.36
    Kode iklan nya ngawur
    Reply