BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Konsep Fiqh Sosial Kiai Sahal & Gus Dur

Kyai Sahal Mahfudz & Gus Dur

Pena Laut
- Keberadaan kaum Skriptualis di berbagai negara, terutama di Indonesia, memberikan tantangan tersendiri bagi umat muslim guna merekonstruksi pemahaman perihal diktum-diktum yang selama ini diberlakukan untuk mengatur, membatasi (dari kesewenangan) dan mengarahkan kepada kebajikan dalam kehidupan di dunia. Seperangkat regulasi yang ada, dipahami sebagai norma-norma yang harus dilakukan untuk mengingatkan kepada manusia agar tidak terlampau jauh berada di jurang kezaliman, ketidakseimbangan dan perampasan hak-hak setiap individu. Fenomena kelompok yang memahami teks-teks sumber hukum Islam hanya sebatas mengikuti apa yang termaktub, merupakan problematika yang harus segera diselesaikan oleh umat Islam itu sendiri.

Penerimaan apa adanya, atau taken for granted terhadap teks-teks sumber hukum (Al-Qur’an dan Al-Hadits) adalah sebuah perilaku yang tidak menghargai kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. yang berupa akal pikiran. Secara eksplisit, disebutkan dalam banyak ayat mengenai apa yang disebut Insan Ulul Albab. Bagaimana manusia menggunakan akal pikiran (dan hatinya) untuk men-tadabburi ayat-ayat Tuhan di muka bumi. Tanpa peran dan menggunakan akal pikiran sebagai modal utama untuk menelaah dan meneliti ciptaan-Nya, maka manusia tidak akan pernah bisa memberikan interpretasi atas alam semesta.

Filsuf muslim asal Andalusia, Ibnu Rusyd, dalam Kritik Nalar Agama mengkonstruksi dalil dalam mengenal dan mempelajari Sang Pencipta melalui penciptaan-Nya. Menurut Ibnu Rusyd (di Barat terkenal dengan nama Averroes) terdapat dua klasifikasi dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Pertama, dalil ‘inayah (pemeliharaan) dan kedua, dalil ikhtira’ (penciptaan). Dalil ‘inayah adalah pendekatan metodologis yang menganggap bahwa alam semesta sesuai dengan keberadaan manusia di dalamnya. Jadi, alam sesuai dengan kebutuhan manusia. Persesuaian ini jelas bukan tanpa sebab, melainkan ada yang “menyesuaikan” yakni Allah Swt. Sedangkan dalil ikhtira’ adalah memahami penciptaan yang heterogen. Terdapat hewan, tumbuhan, ekosistem, dan sejenisnya yang menunjukkan bahwa semua yang ada di alam semesta ini tidak mungkin diciptakan dari “ketiadaan”. Semua ini dapat dipahami sebagai cara manusia menunjukkan eksistensi Tuhan (Rusyd, 2016).

Secara historis, hukum Islam (Fiqh) yang ada di Indonesia menjadi diskursus para ulama. Masyarakat Indonesia yang pluralistik dan globalisasi yang masif, membuat para fuqaha’ terus mengkaji penerapan fiqh sesuai dengan konteks saat ini. Tidak dipungkiri bahwa, perbedaan pendapat antara ulama satu dengan yang lain menemukan lokusnya di Indonesia. Kendati demikian, bukan berarti hal tersebut adalah indikasi perpecahan umat Islam. Justru sebaliknya, harmonisasi dan kemegahan khazanah pemikiran ulama Indonesia terlihat jelas. Dialektika memberikan sintesis-sintesis baru yang kemudian bertransformasi terus menerus demi mengikuti perkembangan dunia yang begitu dinamis dan terkadang tanpa arah tersebut.

Dalam konteks negara Indonesia, keber-Islaman yang dilakukan berbeda dengan negara-negara lainnya. Penitikberatannya pada kultur. Pada masa perkembangan Islam di Indonesia, terjadi akulturasi budaya yang digagas oleh auliya’ illah penyebar Islam di Indonesia (baca: Nusantara). Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai tradisi dan menggunakannya sebagai medium dakwah. Islam yang ada di Indonesia adalah Islam ramah, bukan Islam marah. Sehingga nantinya mencetak cendekiawan muslim sekaliber KH. MA. Sahal Mahfudz, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ali Yafie, KH. Husein Muhammad, KH. Mustofa Bisri, dan lain sebagainya.

Multiplisitas yang terdapat pada realitas sosial menuntut manusia untuk terus berupaya dalam memberikan interpretasi hukum yang solutif dan memberikan dampak signifikan. Di Indonesia, pluralisme hukum telah menjadi kajian sentral yang mempertanyakan peran hukum yang ada pada saat ini, sehingga dapat memberikan jalan keluar bagi problematika yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya. Maka dari itu, kerangka analisis dan epistemik guna menelisik bagaimana hukum berjalan dan memberikan solusi bagi masalah kemasyarakatan perlu diketahui.

Untuk memudahkan dalam kepenulisan, tulisan ini akan memberikan gambaran umum mengenai fiqh sosial yang digagas oleh dua ulama mu’tabar, yakni KH. MA. Sahal Mahfudz dan KH. Abdurrahman Wahid. Konsepsi nalar fiqh keduanya memiliki keunikan tersendiri, terutama karena konteks yang ditemui juga memberikan pengaruh bagi pemikiran hukum Islam yang liberatif, konsekuen dan dapat dipertanggungjawabkan.

Biografi Singkat KH. MA. Sahal Mahfudz

Lahir pada 17 Desember 1937 di Kajen, Pati, Jawa Tengah. Beliau adalah santri dan anak yang dilahirkan di lingkungan pesantren. KH. MA. Sahal Mahfudz (selanjutnya ditulis Kiai Sahal) adalah putra dari pasangan Kiai Mahfudz dan Hj. Badi’ah. Beliau mendapatkan pendidikan pertama dari ayahnya sendiri yang menjadi pengasuh pesantren, tepatnya di Madrasah Matholiul Falah. Kemudian mengembara di pesantren Pare, Kediri dan Sarang, Rembang. Tak berhenti di sana, Kiai Sahal melanjutkan petualangan intelektualnya di Makkah Al-Mukaromah di bawah bimbingan Syeikh Yasin Al-Fadani.

Kiai Sahal adalah ulama yang alim, terutama di bidang fiqh dan ushul fiqh. Perhatian beliau dalam bidang fiqh melalui paradigma sosial termanifestasi ke dalam beberapa program yang ada di pesantren yang diasuhnya, antara lain mendirikan Balai Pengobatan dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat, BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) berbasis syariah.

Sebagai ulama yang berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat, maka sudah pastinya beliau juga aktif di organisasi Islam yang ada di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama. Di NU beliau pernah menjabat, antara lain Khotib PCNU Pati, Rais Suriah NU Wilayah Jawa Tengah, Wakil Rais Aam PBNU dan menjadi Rais Aam PBNU pada Muktamar ke-30 di Kediri, Jawa Timur. Selain di NU, beliau juga aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menjadi Ketua Umum pada tahun 2005-2010. Pada tahun 2003, beliau mendapatkan gelar honoris causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah atas pengembangan fiqh dan pesantren. Pada 24 Januari 2014, beliau wafat (Imawan, n.d.).

Konsep Fiqh Sosial Kiai Sahal

Seperti yang sudah diketahui bahwa, kehidupan tidak bersifat statis, melainkan berjalan dinamis. Maka dari itu, persoalan kehidupan masyarakat juga mengalami dinamisasi yang begitu cepat. Kompleksitas permasalahan yang terjadi menuntut umat manusia untuk terus mencari formula yang sesuai, terutama hukum, dalam menyelesaikannya. Pun umat Islam itu sendiri. Pembacaan atas hukum Islam (fiqh) juga harus berkembang, hal tersebut bertujuan untuk memahami persoalan yang timbul di tengah masyarakat dan menanganinya dengan sumber hukum yang telah disepakati. Kiai Sahal memulainya dengan melihat realitas sosial dengan hiruk-pikuknya, sehingga menelurkan ciri-ciri paradigma baru dalam mengkaji fiqh. Ciri-ciri tersebut antara lain: pertama, reinterpretasi terhadap teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru; kedua, transformasi makna “bermazhab” dari tektual (mazhab qauli) menuju metodologis (mazhab manhaji); ketiga, verifikasi fundamental antara ajaran yang pokok (ushul) dan cabang (furu’); keempat, fiqh hadir sebagai etika sosial; kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, utamanya dalam masalah sosio-kultur (Mukri, 2011).

Fiqh sosial merupakan formulasi kajian sistemik yang bersifat praktis diambil dari dalil-dalil syar’i yang berorientasi pada persoalan sosial kemasyarakatan. Formula ini dijadikan sebuah jawaban atas ontentisitas wahyu Tuhan dan realitas sosial. Alternatif yang dilakukan oleh ulama kontemporer seperti Kiai sahal tidak lain sebagai upaya penerapan norma-norma agama atas realitas sosial, sehingga terciptanya paradigma baru dalam memahami dan memberlakukan hukum Islam.

Adapun lanskap kerangka dasar yang menjadi tumpuan Kiai Sahal dalam merumuskan fiqh sosial, antara lain:

a. Sumber Hukum

Dalam Islam, sumber hukum yang dijadikan rujukan segala sesuatu, terutama ritus peribadatan, adalah Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas sebagaimana yang telah banyak disampaikan oleh jumhur ulama’ (meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam urutan dan proporsinya).

Menurut Kiai Sahal, Al-Qur’an mempunyai kedudukan sebagai sumber hukum yang utama dan pedoman dalam menyelesaikan permasalahan yang komplek, tidak pada persoalan ibadah semata, melainkan juga dalam masalah-masalah sosial. Hal ini menunjukkan bahwa, Al-Qur’an sebagai pedoman bersifat vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas wa hablum minal alam). Pada dasarnya, muatan yang ada di dalam Al-Qur’an mengajak manusia untuk menghambakan diri kepada Allah Swt. serta mempunyai akhlak yang mulia di dalam kehidupan yang niscaya bersinggungan dengan makhluk lainnya.

Di dalam Al-Qur’an terdapat dua klasifikasi ayat yang bersifat tegas dan jelas (qath’i) dan ayat yang bersifat spekulatif (dzhanni). Ayat yang pertama mempunyai arti sebagai ayat yang definitif dan tidak ada perbedaan pendapat yang esensial. Ayat ini umumnya berisi aturan dalam masalah keimanan, waris, kewajiban ibadah dan penjatuhan hukuman. Secara sederhana, ayat ini sudah diakui kebenaran maknannya yang tidak mungkin diperdebatkan lagi, karena memuat ayat yang lugas dan jelas. Sedangkan ayat yang kedua, atau ayat yang bersifat dzanni merupakan ayat yang terbuka bagi interpretasi dan ijtihad. Namun, untuk menginterpretasi ayat Al-Qur’an membutuhkan peranti yang lengkap dan kredibel.

Hadits sebagai sumber hukum di bawah Al-Qur’an, menetapkan peraturan dalam tiga bentuk. Pertama, sekedar menyebutkan kembali dan mengukuhkan satu peraturan yang berasal dari Al-Qur’an; kedua, hadits sebagai penjelas atau klarifikasi atas keterangan dalam Al-Qur’an; ketiga, hadits juga berupa peraturan-peraturan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an (Faisal, 2010).

Kedudukan ijma’, menurut Kiai Sahal, harus dipahami sebagai bagian dari proses penetapan hukum yang tidak bisa lepas dari Al-Qur’an dan hadits. Ijma’ terbagi menjadi dua; ijma’ sarih dan ijma’ sukuti. Jadi, posisi ijma’ sebagai dasar hukum adalah absah berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Sedangkan yang terakhir adalah qiyas. Landasan qiyas sebagai sumber hukum juga jelas dalam Al-Qur’an. Sehingga, qiyas menjadi legitimate sama dengan ijma’.

b. Ijtihad

Pandangan Kiai Sahal tentang ijtihad dalam tradisi fiqh mempunyai struktur yang dapat digolongkan menjadi dua jenjang, yakni ijtihad mutlak dan ijtihad muqayyad atau muntasib. Ijtihad bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah diberlakukan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Kendati demikian, untuk melakukan ijtihad dalam masalah-masalah hukum, tidak serta -merta bahwa semua orang adalah mujtahid (orang yang berijtihad). Melainkan membutuhkan keberanian yang didukung oleh kapasitas dan kualifikasi yang memadai. Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, tanpa terkecuali.

Untuk melakukan ijtihad, Kiai Sahal membatasi aktivitas seorang mujtahid hanya pada spektrum yang bersifat dzanni (spekulatif). Dalam konteks saat ini, mujtahid sekaliber Imam Syafi’i, tidak mungkin muncul lagi. Sehingga, tidak akan mungkin melakukan ijtihad fardi. Hanya saja, ijtihad yang dilakukan bersifat kolektif atau ijtihad jama’i yang melibatkan beberapa ulama untuk menetapkan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat.

c. Kontekstualisasi fiqh

Seringkali terlihat, dalam konteks saat ini, fiqh terkesan asimetris dengan bentuk kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Hal tersebut disebabkan oleh pandangan terhadap fiqh yang terlampau formalistik. Jika ditelaah kebelakang, adanya fiqh (hukum) sebagai aturan dasar bagi umat Islam merupakan sebuah diktum yang mengatur pola kehidupan. Sehingga, berkonsekuensi mengikuti dinamisasi kehidupan itu sendiri. Secara simplistik, jika kehidupan itu dinamis, maka hukum juga harus mengikutinya.

Upaya pergeseran paradigma terhadap fiqh dari “kebenaran ortodoksi” ke “pemaknaan sosial”, adalah indikator kontekstualisasi fiqh yang diajukan oleh Kiai Sahal. Fiqh sosial dalam kenyataannya berkonsekuensi sosisologis, yakni mendekonstruksi otoritas pemakanaan atas teks yang bersifat absolut. Dengan demikian, fiqh yang sesuai konteks dapat diterima dan terasa hadir di tengah kehidupan praktis masyarakat yang membutuhkan legitimasi untuk melakukan segala sesuatu yang datang dari modernitas (Faisal, 2010).

Terdapat kaidah yang mashyur digunakan untuk menjawab dan sebagai spirit dalam melakukan kontekstualisasi fiqh tersebut, yang berbunyi: “Al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Dengan mengkaji kembali kaidah-kaidah fiqh dan maqashid syariah, akan memberikan ketetapan yang dapat digunakan dalam menjawab tantangan zaman.

Biografi Singkat KH. Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang. Beliau adalah putra dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah—anak KH. Bisri Syansuri. Abdurrahman Wahid (selanjutnya ditulis Gus Dur) memulai pendidikannya di Sekolah Dasar KRIS, Jakarta Pusat. Namun, di sekolah tersebut beliau tidak selesai. Kemudian beliau pindah ke Sekolah Dasar Mataram Perwari, Jakarta Pusat. Pada 1954, setahun setelah tamat dari sekolah dasar, beliau melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta. Selain belajar di sekolah formal, Gus Dur juga menimba ilmu di pesantren, yakni di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak. Di Krapyak, beliau belajar bahasa Arab di bawah bimbingan KH. Ali Ma’sum dan masa ini juga, beliau telah banyak membaca buku-buku “babon”, seperti What Is to Be Done? Karya Lenin, magnum opus Karl Marx, Das Capital dan buku-buku pemikiran lainnya (Usman, 2019).

Setelah selesai menempuh pendidikan di pesantren, tepatnya pada 1964, Gus Dur melanjutkan pengembaraan intelektualnya di Mesir. Namun, di sini beliau tidak menyelesaikan studinya. Kemudian pada pertengahan 1970-an, beliau menyelesaikan studinya di Baghdad dan pindah ke Eropa.

Pada tahun 1984 beliau terpilih menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar NU yang diselenggarakan di Situbondo. Di luar organisasi NU, beliau banyak aktif di forum-forum kajian, salah satunya Forum Demokrasi (Fordem). Pada 30 Desember 2009, beliau wafat (Usman, 2019).

Konsep Fiqh Sosial Gus Dur

Diskursus mengenai adaptabilitas hukum Islam dalam menghadapi realitas sosial, telah menuai perdebatan yang panjang. Sebagai landasan yuridis bagi kehidupan umat Islam seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, hukum Islam (fiqh) harus mengikuti perubahan yang masif yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Secara historis, produk hukum Islam merupakan hasil dari akumulasi pemikiran fuqaha di suatu tempat, kultur dan masa tertentu. Respon dan solusi yang ditetapkan juga terkait dengan konteks kehidupan masyarakat.

Menurut Gus Dur, problematika hidup manusia terus mengalami perkembangan. Maka dari itu, tuntutan kemaslahatan hidup manusia juga harus berkembang, sehingga logis jika fiqh terus berkembang siring dengan perkembangan dinamika hidup manusia dan tuntutan kemaslahatannya (Dahlan, 2017). Sederhananya, fiqh dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman, agar terwujud istilah salih li kulli zaman wa makan.

Kesadaran atas sifat kehidupan yang dinamis itulah yang mendasari reinterpretasi fiqh para cendekiawan muslim kontemporer, terutama Gus Dur. Beragam permasalahan yang ada di Indonesia, misalnya, menuntut umat Islam agar peka terhadap masalah yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin harus dimanifestasikan di kehidupan nyata, dengan cara menentukan paradigma fiqh yang solutif dan memberikan dampak signifikan bagi kehidupan (Mukri, 2011).

Perihal konsep pemikiran fiqh sosial Gus Dur, dapat diketahui dengan beberapa poin, antara lain:

a. Substansialistik Hukum (Fiqh)

Kontribusi fiqh terhadap inklusivisme dan pluralisme adalah karena fiqh merupakan pengembangan hukum Islam yang mengalami perkembangan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam karya-karya ulama salaf, misalnya termanifestasi dalam melakukan proses penyesuaian dengan keadaan sosio-kultur, tanpa mengorbankan prinsip umum dari hukum agama itu sendiri. Sehingga, pada dasarnya hukum secara diametral bersama dengan situasi dan kondisi realitas.

Menurut Gus Dur, apa yang dibutuhkan sekarang adalah formulasi baru prinsip-prinsip hermeneutika dan hukum yang memadai dalam menghayati tuntutan kontekstual modernitas. Prinsip-prinsip tersebut harus bertendensi kepada spirit humanisme dan kebutuhan generasi saat ini. Jadi, hukum Islam diupayakan semaksimal mungkin untuk memberikan jawaban atas pertanyaan masyarakat yang seringkali mengalami kebuntuan. Tak jarang, budaya modern menampilkan segala macam pembaharuan yang tidak dapat dibendung oleh manusia, terutama globalisasi ekonomi, sosial, politk dan kebudayaan.

Memandang hukum juga harus menitikberatkan pada subtansi yang ada, melihat berjimbun masyarakat atau umat Islam yang masih menggunakan paradigma formalistik terhadap hukum Islam. Paradigma subtansialistik terhadap hukum ini merupakan sebuah antitesis yang berusaha menggeser paradigma formalistik yang cenderung rigor dalam pemberlakuannya.

b. Metodologi Fiqh Kontekstual

Kesadaran Gus Dur terhadap hukum Islam yang cenderung bergerak lamban dalam menyelesaikan persoalan di era modern, membuatnya harus ikut andil dalam menyuarakan fiqh yang dapat menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan. Maka dari itu, Gus Dur memberikan tawaran metodologis untuk mendukung kontekstualisasi hukum Islam. Metodologi tersebut antara lain: pertama, mengembangkan aplikasi nass (teks), di mana nass tidak lagi dipahami sebagai teks belaka, melainkan harus memposisikannya dengan perubahan kehidupan; kedua, pendekatan sosio-kultural; ketiga, perumusan weltanschauung (worldview) Islam, yaitu Islam mengakomodasi realitas yang ada guna mendukung kemaslahatan masyarakat (Mukri, 2011).

Hal di atas tidak hanya bersifat metodologi-epistemik, melainkan mempunyai sifat etik-praktis. Hanya berhenti pada kerangka epistemik, tidak memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan sosial. Perlu pengejawantahan pada sikap hidup dan perilaku yang mendorong kemaslahatan masyarakat secara umum. Sehingga, kontekstualisasi fiqh yang berorientasi menjawab tantangan zaman dapat terwujud dan fleksibilitas hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa mengorbankan norma-norma agama yang telah ditetapkan.

c. Hermeneutika Ijtihad Fiqh

Untuk memahami nas-nas yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an, metode penafsiran terhadapnya merupakan alat yang perlu dipertimbangkan. Kendati banyak penafsiran terhadap teks-teks Al-Qur’an yang sudah dilakukan, hal tersebut masih dapat diinterpretasi. Kerangka teori yang digunakan oleh Gus Dur, dalam hal ini, adalah hermeneutika. Hermeneutika adalah paradigma tafsir terhadap teks-teks kitab suci. Martin Heidegger (1889-1976) memahami bahwa teori interpretasi sebagai bagian dari eksistensial penafsir, bukan realitas yang berada di luar penafsir, sehingga terdapat pertemuan antara wacana masa lalu dengan wacana penafsir masa kini yang dapat melahirkan otentisitas wacana baru (Moh Dahlan, 2017).

Ijtihad yang dilakukan Gus Dur bukan bermakna pembaruan atas wacana masa lalu yang menghilangkan objektivitas wacana teks masa lalu, melainkan sebagai upaya memahami wacana teks masa lalu dengan konteks saat ini. Sehingga, esensi hukum Islam tidak mengalami perubahan sedikit pun. Sederhananya, membaca teks dengan pembacaan konteks yang berbeda. Proses dialog antara teks dan konteks berjalan sinergis.

Salah satu contoh dari hermeneutika ijtihad Gus Dur adalah mengenai arsitektur masjid Demak yang dinilai sebagai proses dialogis antara teks fiqh dengan kultur yang ada. Pernyataan Gus Dur tentang hal di atas, sebagai berikut:

Masjid Demak adalah sebuah contoh yang konkret dari upaya rekonsiliasi atau akomo- dasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masjid tersebut diambilkan dari konsep 'Meru' dari masa pra-Islam (Hindu-Budha) yang ter- diri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga me- motongnya menjadi tiga susun saja, melam- bangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, iman, islam dan ikhsan. Pada mulanya orang baru beriman saja, kemudian ia melak- sanakan islam ketika telah menyadari penting- nya syari'at. Barulah ia mamasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ikhsan) dengan mendalami tasawuf, hakekat dan ma'rifat.Pada tingkat ini mulai disadari bahwa keyakinan tauhid dan ketaatan kepada syari'at mesti berwujud kecin- taan kepada sesama manusia. Mengasihi diri sendiri dengan melepaskan kecintaan kepada materi dan menggantinya dengan kecintaan ke- pada Allah adalah bentuk rasa kasih yang tert- inggi. Pada tahap berikutnya, datanglah bentuk masjid ala Timur Tengah, dengan bentuk kubah dan segala ornamennya. Terjadilah kemudian proses arabisasi, meskipun pada mulanya ben- tuk masjid baru ini ditolak oleh Masjid Ngam- pel dan Pakojan. Bentuk kubah lambat laun menjadi sesuatu yang normatif dan harus. Se- dangkan semangat pribumisasi menganggap kedua model ini sama saja (Wahid, 2001).

Ijtihad yang dilakukan Gus Dur merupakan usaha berpikir rasional-empirik yang mempunyai tujuan untuk membangun wacana keilmuan fiqh yang membumi dan secara intrinsik terdapat dialektika nilai-nilai teks fiqh dengan nilai-nilai kebudayaan. Hermeneutika ijtihad yang dilakukan Gus Dur memiliki fokus pada upaya teks hukum Islam yang mampu berdialektika dengan realitas sosio-kultural, sehingga menghasilkan hukum Islam yang salih li kulli zaman wa makan.

Dari konsep fiqh sosial yang telah dipaparkan di atas, memberikan gambaran kepada generasi saat ini perihal urgensi hukum Islam yang progresif dan dapat memberikan jawaban atas problematika masyarakat yang ada. Pemikiran Kiai Sahal dan Gus Dur tidak bersifat statis, rigor dan mempunyai stabilitas di baliknya. Melainkan perlu kajian terus-menerus untuk mengembangkan fiqh sosial yang diharapkan oleh keduanya. Seperti kajian-kajian postmo pada umumnya, menolak logosentrisme, absolutisme, dogmatisme dan ortodoksi yang melahirkan kelompok-kelompok ekstrimis. Wallahu a’lam bissawab.

Ila Syaikhina wa Mu’allimina Al-maghfurlah KH. MA. Sahal Mahfudz wa Al-maghfurlah KH. Abdurrahman Wahid, nafa'anallahu bihima wa bi 'ulumihima fi daroini. Aamiin. Al-fatihah.

Penulis: Al-faqir Dendy Wahyu

Referensi

Dahlan, M. (2017). Paradigma Fiqih Sosial Kh Ali Yafie. Nuansa, X(1), 14–24.

Faisal, A. (2010). Nuansa Fiqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh. Jurnal Al-Ulum, 363–382.

Imawan, D. H. (n.d.). Fiqih Sosial Dan Implementasi Zakat. 19–39.

Moh Dahlan. (2017). Hermeneutika Fiqih Otentik Gus Dur Di Indonesia. Al-Risalah, 17(1), 11–27.

Mukri, M. (2011). DINAMIKA PEMIKIRAN FIKIH MAZHAB INDONESIA (Perspektif Sejarah Sosial). Analisis, 11(2), 189–218. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/analisis/article/view/608/0

Rusyd, I. (2016). Kritik Nalar Agama. Lentera Kreasindo. Penj. Aksin Wijaya

Usman, M. I. (2019). Pemikiran Kh . Abdurrahman Wahid : Dan, Pesantren Fiqh-sufistik Islam, Pribumisasi. Jurnal Aqidah-Ta, V(2), 211–223.

Wahid, A. (2001). Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Desantara. https://www.google.co.id/books/edition/Pergulatan_negara_agama_dan_kebudayaan/HAm_AAAACAAJ?hl=id

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak