Pena Laut - Khazanah pemikiran para tokoh Indonesia tidak henti-hentinya dikaji, ditelaah dan dijadikan tolok ukur pembaharuan, terutama para ulama’ yang mempelopori pergerakan melawan penjajah. Secara historis, para santri berani dalam menumpas ketidakadilan di muka bumi disebabkan oleh adanya peran seorang kiai yang mempunyai idealisme tinggi. Bahkan, tidak seperti yang dituduhkan oleh kebanyakan orang secara peyoratif, para kiai tersebut justru ikut serta dalam melawan kezaliman yang dilakukan oleh penjajah.
Di dalam tubuh organisasi Islam Nahdlatul Ulama, para kiai mempunyai peranan penting untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. As’ad Syamsul Arifin dan ulama-ulama lainnya. Selain menciptakan organisasi Islam terbesar tersebut, para kiai telah menghidupkan panji-panji kemerdekaan sebagai salah satu visi Islam, yakni rahmatan lil alamin. Bagaimanapun, pemikiran dan perjuangan mereka tak akan pernah tertimbun oleh sejarah yang hanya berada di lemari buku maupun di museum-museum sejarah. Mereka ada di dalam hati setiap manusia yang terus berusaha menegakkan kesejahteraan dan keselematan bagi seluruh umat manusia.
Salah satu ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam berdirinya Nahdlatul Ulama secara khusus, dan pada kemerdekaan Indonesia secara umum, ialah KH. Wahab Hasbullah—selanjutnya ditulis Mbah Wahab. Beliau sering diberi laqob Kiai Pergerakan. Penyematan nama tersebut bukan tanpa alasan, melainkan memang Mbah Wahab adalah sosok yang cakap, terutama dalam berorganisasi. Bahkan oleh gurunya, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, beliau dijuluki Singa Podium (Badrul Ihtifal) atau seseorang yang menjadi pusat para hadirin.
Tulisan ini akan menampilkan pemikiran politik Mbah Wahab yang akan diulas sesuai dengan kemampuan penulis yang terbatas. Tanpa maksud merendahkan atau mereduksi pemikiran Mbah Wahab, tulisan ini akan dimulai dari biografi singkat, pemikiran politik dan relevansinya pada saat ini. Dengan penuh rasa tawadlu’, penulis menyarankan kepada pembaca, agar menelusuri pemikiran Mbah Wahab di berbagai referensi yang ada. Sehingga pembaca dapat memberikan catatan kritis pada tulisan ini.
Sekelumit Manakib Mbah Wahab
KH. Abdul Wahab Hasbullah atau yang sering dikenal Mbah Wahab lahir di Jombang pada tahun 1888. Wahab kecil mendapatkan pendidikan pertama dari ayahnya hingga berumur tiga belas tahun. Di bawah asuhan ayahnya, Wahab kecil mendapatkan pelajaran dasar-dasar agama, seperti membaca Al-Qur’an, ilmu tauhid, fiqih, tasawwuf dan bahasa Arab.
Setelah dirasa tuntas belajar pada ayahnya di pesantren Tambakberas, Mbah Wahab mencari ilmu dan tabarrukan di berbagai pesantren yang ada di Jawa dan Madura. Ia juga pernah menuntut ilmu di tanah suci Makkah. Sebelum berangkat ke Makkah Al-Mukarromah, beliau “nyantri” di bawah asuhan Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng. Atas perintah gurunya tersebut, Mbah Wahab melanjutkan petualangan intelektualnya di Makkah.
Beliau menikah dengan salah satu putri kiai Surabaya yang bernama Maimunah setelah selesai memperdalam ilmu di Makkah. Dari pernikahan ini, melahirkan seorang anak laki-laki yang diberinama Wahib. Beberapa saat kemudian, istri beliau meninggal. Kemudian Mbah Wahab menikah lagi dengan Aslihah, putri H. Abdul Madjid dari Bangil. Ternyata takdir berkata lain, tak berlangsung lama, Aslihah (istri kedua) meninggal dunia dan dari pernikahan ini beliau dikaruniai empat anak. Akhirnya, beliau menikah dengan Sa’dijah, kakak kandung Aslihah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai lima anak yakni, Mahfuzah, Hasbijah, Mundjidah, Muhammad hasib dan Raqib. Kehidupan rumah tangga ini berlangsung hingga akhir hayat beliau (Masfiah, 2017).
Selain itu, beliau adalah ulama yang sangat disegani oleh beberapa pihak. Berdirinya Nahdlatul Ulama tidak lain adalah dari inisiatif beliau. Bahkan, meskipun beliau termasuk ulama yang tersohor kala itu, namun beliau mempunyai semangat yang tidak bisa dianggap kecil, terutama dalam berorganisasi. Mbah Wahab, sebagai pengasuh pesantren Tambakberas, juga mempunyai semangat belajar dan mengajar yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kondisi beliau yang sedang sakit, namun masih tetap mengajar para santri. Pada waktu itu, beliau sedang sakit mata dan tidak dapat melihat seperti biasa. Akhirnya, salah satu santri diminta untuk membacakan kitab, lalu Mbah Wahab mengartikan dan menjelaskan bacaan santrinya tersebut (Masfiah, 2017).
Siyasah (Politik) Perspektif Mbah Wahab
Sebagai ulama yang tidak hanya berkiprah pada spektrum keagamaan, pun dalam kebangsaan, Mbah Wahab mempunyai perspektif yang dijadikan manhajul fikr wal harokah pada era penjajahan. Sosio-politik saat itu, sudah mahfum diketahui, bahwa bagaimana kolonialisme-imperialisme sangat destruktif dalam kehidupan masyarakat, terutama pribumi. Pergerakan demi pergerakan dilakukan, segala strategi politik dibuat guna menumbangkan kolonialis dan imperialis negeri penjajah. Maka dari itu, sebagai seseorang yang mempunyai jiwa nasionalisme tinggi, Mbah Wahab menyusun formula politik yang bertujuan untuk mewujudkan visi ke-Islaman dan kebangsaan.
Tendensi pemikiran politik Mbah Wahab dimulai dari pendirian cabang SI (Sarekat Islam) di Makkah. Para pendiri cabang SI Makkah tersebut antara lain, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Raden Asnawi Kudus, KH. Abbas Jember, KH. Muhammad Dahlan Kertosono, dan KH. Bisri Syansuri. Namun, Kiai Bisri sebenarnya tidak langsung mengikuti proses pendirian SI Makkah dikarenakan harus meminta izin kepada gurunya, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, terlebih dahulu. Sehingga, sebelum izin diterima atau dijawab, Perang Dunia (PD) I pecah dan kemudian, karena PD I tersebut, mereka harus pulang ke Hindia Belanda (Rambe, 2020).
Dalam pidato KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), beliau menyatakan:
“Sejak partai Nahdlatul Ulama lahir tidaklah kami berpikir bahwa partai merupakan tujuan, akan tetapi alat untuk wadah untuk membangun Bangsa dan Negara. Tujuan partai NU adalah membangun bangsa yang bertakwa dan berakhlak luhur untuk membangun suatu negara yang aman dan makmur yang menjunjung tinggi keadilan. Tetapi tujuan yang terakhir tentulah mencapai keridaan Allah di dunia dan di akhirat” (Zuhri, 1972).
Pernyataan Mbah Wahab di atas memberikan dua pengertian. Pertama, partai politik sebagai lokomotif atau medium, bukan sebagai tujuan. Kedua, visi politik yang secara eksplisit ditegaskan oleh Mbah Wahab dalam pernyataan lain: “memelihara keselamatan dan keutuhan negara dan bangsa, supaya tercapai masyarakat yang adil sentosa dan makmur di bawah naungan rahmat dan keridaan Allah” (Arif, 2020). Politik dijadikan sarana untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, harmonis dan yang rahmatan lil alamin.
a) Politik sebagai wasilah
Seperti yang sudah diketahui, partai politik diciptakan secara subtantif mempunyai peranan yang penting, utamanya dalam kehidupan bernegara. Apalagi, untuk mencapai tujuan tertentu, manusia harus memiliki “lokomotif” untuk mencapai tujuan. Secara sederhana, partai politik dianggap sebagai manifesto politik ideologi yang memiliki orientasi politis. Tanpa terkecuali, kehadiran partai politik adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi.
Mbah Wahab mempunyai perspektif yang sama, bahwa partai politik adalah sarana untuk mencapai tujuan, atau sarana untuk mewujudkan kehidupan yang tidak ada kezaliman dan eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Beliau tidak menganggap partai politik sebagai tujuan, sehingga berkonsekuensi memperebutkan kekuasaan dalam internal partai. Melihat realitas politik saat ini justru berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan oleh Mbah Wahab.
Lebih jauh, Mbah Wahab berpandangan bahwa peran agama dan negara harus berjalan sinergi, menjalin hubungan simbiotik. Hanya mengambil dan menggunakan salah satu saja, hal itu tidak akan berdampak signifikan kepada realitas sosial. Harus berjalan seiringan. Mbah Wahab membuat analogi yang ciamik untuk menggambarkan keduanya (agama dan politik). “Agama Islam dan politik laksana gula dan rasa manisnya” (Mun’im DZ, 2015). Dari pernyataan tersebut, menjadi jelas bahwa agama dan politik mempunyai peran yang sama dalam mewujudkan keadilan sosial. Kendati demikian, dari keduanya juga terdapat distingsi. Akan tetapi, saling melengkapi satu sama lain.
Imam Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulum Al-Din, menjelaskan hal serupa:
“Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah dasar (pondasi) sedangkan raja (kepala negara) adalah penjaga (penyangga). Sesuatu yang tidak berdasar pasti roboh dan sesuatu yang tak berpenjaga pasti akan sirna (lenyap). Kekuasaan dan pengendalian tak dapat tercapai kecuali dengan adanya raja. Sedangkan cara pengendalian dalam menjalankan ketatanegaraan adalah dengan fikih.”
b) Politik kemaslahatan
Bertolak dari negara sebagai instrumen politik, Mbah Wahab menjadikannya sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan dunia (al-maslahat al-dunyawiyah), dan keselamatan di akhirat kelak (al- maslahat al-ukhrawiyah). Tujuan tersebut tidak hanya ditujukan kepada golongan tertentu, melainkan untuk semua golongan guna mencapai kemaslahatan umat (al-maslahat al-‘ammah). Hal ini sudah tertera dalam kaidah fiqh yang menjelaskan bahwa kebijakan politik harus berorientasi kepada kemaslahatan bersama, yang berbunyi:
tasarruf al-imam ‘ala al-ra‘iyah manutun bi al-maslahah
(kebijakan seorang pemimpin atas rakyat didasarkan pada asas kemaslahatan).
Kebijakan-kebijakan pemimpin harus senantiasa bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi rakyatnya. Hal ini adalah sebuah keharusan yang perlu ditekankan bagi setiap para pemimpin, terutama Indonesia. Bagaimanapun, kebijakan yang diambil akan berdampak bagi seluruh elemen masyarakat. Mbah Wahab mempunyai paradigma yang menganggap bahwa tujuan politis tidak lain adalah mewujudkan negara yang Baldatun Thoyibatun wa Robbun Ghofur. Serta, bagaimana seluruh elemen masyarakat dapat bersama-sama melakukan transformasi sosial demi kepentingan bangsa dan negara (Arif, 2020).
Jika agama adalah nasihat (menghendaki baik), maka sudah sepatutnya umat Islam, pun juga umat manusia secara umum, melakukan segala sesuatu yang bertujuan untuk membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu ketertindasan, tindakan eksploitatif, dan menumbangkan kezaliman di muka bumi.
Mbah Wahab telah memulai dan dengan berani melakukan demikian. Tentu, semua yang telah dilakukan oleh beliau merupakan warisan yang tak ternilai. Mulai dari keberanian beliau, kecakapan, ketangkasan, nasionalisme, hingga humanisme yang terus hidup hingga saat ini. Konstruksi pemikiran Mbah Wahab, jika ditelaah lebih dalam, menjadi sebuah refleksi bagi kehidupan politik saat ini. Melihat bagaimana simulakra politik dianggap sebagai realitas objektif serta tindakan sikut-sikutan, jegal-menjegal, bahkan “bunuh-membunuh”, menjadi banalitas yang perlu direinterpretasi. Wallahu A’lam.
Ila Syaikhina wa Mu’allimina Al-maghfurlah KH. Abdul Wahab Hasbullah, nafa'anallahu bihi wa bi 'ulumihi fi daroini. Aamiin. Al-fatihah.
Penulis: Al-faqir Dendy Wahyu
Referensi
Arif, M. (2020). Fikih Kebangsaan: Telaah Pemikiran Abdul Wahab Chasbullah tentang Kemerdekaan dan Persatuan Indonesia. Disertasi.
Masfiah, U. (2017). Pemikiran Pembaharuan K.H. Abdul Wahab Chasbullah Terhadap Lahirnya Nahdlatul Ulama (Nu). International Journal Ihya’ ’Ulum Al-Din, 18(2), 217. https://doi.org/10.21580/ihya.17.2.1737
Mun’im DZ, A. (2015). Abdul Wahab Chasbullah, Kaidah Berpolitik dan Bernegara. Langgar Swadaya Nusantara.
Rambe, S. (2020). Sang Penggerak Nahdlatul Ulama K.H. Abdul Wahab Chasbullah Sebuah Biografi. 1–399. http://www.elsevier.com/locate/scp
Zuhri, S. (1972). Almaghfur-lah K.H. Abdulwahab Chasbullah bapak dan pendiri Nahdlatul Ulama. Offset Yamunu Jakarta. http://opac-caknur.fah.uinjkt.ac.id//index.php?p=show_detail&id=5735
Kebijakan-kebijakan pemimpin harus senantiasa bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi rakyatnya. Hal ini adalah sebuah keharusan yang perlu ditekankan bagi setiap para pemimpin, terutama Indonesia. Bagaimanapun, kebijakan yang diambil akan berdampak bagi seluruh elemen masyarakat. Mbah Wahab mempunyai paradigma yang menganggap bahwa tujuan politis tidak lain adalah mewujudkan negara yang Baldatun Thoyibatun wa Robbun Ghofur. Serta, bagaimana seluruh elemen masyarakat dapat bersama-sama melakukan transformasi sosial demi kepentingan bangsa dan negara (Arif, 2020).
Jika agama adalah nasihat (menghendaki baik), maka sudah sepatutnya umat Islam, pun juga umat manusia secara umum, melakukan segala sesuatu yang bertujuan untuk membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu ketertindasan, tindakan eksploitatif, dan menumbangkan kezaliman di muka bumi.
Mbah Wahab telah memulai dan dengan berani melakukan demikian. Tentu, semua yang telah dilakukan oleh beliau merupakan warisan yang tak ternilai. Mulai dari keberanian beliau, kecakapan, ketangkasan, nasionalisme, hingga humanisme yang terus hidup hingga saat ini. Konstruksi pemikiran Mbah Wahab, jika ditelaah lebih dalam, menjadi sebuah refleksi bagi kehidupan politik saat ini. Melihat bagaimana simulakra politik dianggap sebagai realitas objektif serta tindakan sikut-sikutan, jegal-menjegal, bahkan “bunuh-membunuh”, menjadi banalitas yang perlu direinterpretasi. Wallahu A’lam.
Ila Syaikhina wa Mu’allimina Al-maghfurlah KH. Abdul Wahab Hasbullah, nafa'anallahu bihi wa bi 'ulumihi fi daroini. Aamiin. Al-fatihah.
Penulis: Al-faqir Dendy Wahyu
Referensi
Arif, M. (2020). Fikih Kebangsaan: Telaah Pemikiran Abdul Wahab Chasbullah tentang Kemerdekaan dan Persatuan Indonesia. Disertasi.
Masfiah, U. (2017). Pemikiran Pembaharuan K.H. Abdul Wahab Chasbullah Terhadap Lahirnya Nahdlatul Ulama (Nu). International Journal Ihya’ ’Ulum Al-Din, 18(2), 217. https://doi.org/10.21580/ihya.17.2.1737
Mun’im DZ, A. (2015). Abdul Wahab Chasbullah, Kaidah Berpolitik dan Bernegara. Langgar Swadaya Nusantara.
Rambe, S. (2020). Sang Penggerak Nahdlatul Ulama K.H. Abdul Wahab Chasbullah Sebuah Biografi. 1–399. http://www.elsevier.com/locate/scp
Zuhri, S. (1972). Almaghfur-lah K.H. Abdulwahab Chasbullah bapak dan pendiri Nahdlatul Ulama. Offset Yamunu Jakarta. http://opac-caknur.fah.uinjkt.ac.id//index.php?p=show_detail&id=5735
Posting Komentar