BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Mazhab Frankfurt X Mazhab Softinalean

Mazhab Frankfurt X Mazhab Softinalean
Pena Laut
- Mazhab Frankfurt adalah aliran pemikiran filsafat sosial yang muncul pada awal abad-20 di Jerman. Aliran pemikiran ini dikenal dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain Teori Kritis (Critical Theory), Mazhab Frankfurt (School of Frankfurt) dan Teori Sosial Kritis (Critical Social Theory). Dari beberapa sebutan tersebut, aliran ini lebih dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt. Namun, sebenarnya perbedaan sebutan itu tidak terlepas dari peran para teoretikus yang menjadi anggota Mazhab Frankfurt.

Epistemologi yang khas dari pemikiran tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt mendominasi di abad-20, bagaimana mereka bertolak pada dan memberikan kritik tajam kepada pemikiran Karl Marx maupun Marxis. Aktivitas yang dikerjakan oleh Institut Penelitian Sosial (Institut fur Socialforschung) di Frankfurt tersebut ialah aktivitas intelektual dan penelitian yang secara epistemologis dan historis berhaluan Marxis. Aliran ini bisa dibilang mempunyai spektrum yang sangat luas, melihat bahwa hiruk-pikuk era itu membutuhkan suatu pemikiran yang berorientasi kepada pembebasan, emansipasi dan komprehensif.

Tulisan ini akan membahas dua mazhab, yakni Mazhab Frankfurt dan Mazhab Softinalean. Memang terkesan nduakik puoll, namun bagaimanapun tulisan ini akan lebih menguraikan sejarah singkat dan karakteristik pemikiran Mazhab Frankfurt. Setelah itu, akan disusul tantangan Mazhab Softinalean di masa kini dan mendatang.

Sekedar pengingat, tulisan ini hanya berisi guyonan dan menggunakan komparasi non-sistemik, atau lebih lugasnya “ngawor”. Karena pendekatan terkait Mazhab Softinalean belum pernah dikaji, saya rasa tulisan ini adalah tulisan kali pertama yang membahasnya. Meski sifatnya ndakik-ndakik, guyonan, dan tidak rigid sama sekali, semoga dapat menjadi tantangan bagi, meminjam istilah Mahbub, dewa-dewa intelektual yang berjimbun jumlahnya di Warung Softinala, Genteng, Banyuwangi.

Tarikh Singkat Mazhab Frankfurt


Awal abad-20 adalah masa di mana Eropa sedang berada pada kondisi yang hingar bingar. Perang Dunia terjadi pada abad ini. Tragedi peperangan yang terjadi, kegagalan gerakan buruh untuk mewujudkan visi agungnya, semakin kuatnya Fasisme, hingga merabaknya anti-semitisme, adalah berbagai faktor yang mengusik para pemuda pada masa itu. Sebut saja seperti Felix Weil, Max Horkheimer, Friedrich Pollock, Theodore Adorno, hingga Herbert Marcuse (S. Thayf, 2021).

Pemuda-pemuda di atas tidak hanya terusik pada sosio-politik yang ada di Jerman, namun juga merasa tidak puas dengan situasi pendidikan tinggi di Jerman, khususnya ilmu-ilmu sosial. Sebagai tindak lanjut dari ketidakpuasan mereka atas sistem pendidikan tersebut, Felix Weil, putra tunggal dari pengusaha gandum internasional yang beroperasi di Argentina, mempunyai inisiatif untuk membentuk lembaga studi riset tentang masyarakat yang menggunakan kerangka analisis Marxisme dan Sosialisme. Bahkan, ia juga sempat mengajukan proposal kepada ayahnya untuk membiayai lembaga yang ingin didirikannya itu.

Pada 3 Januari 1923, akhirnya Felix Weil dapat merealisasikan keinginannya, yakni dengan berdirinya Institute of Social Research. Hal tersebut tidak lepas dari dukungan materil dari ayahnya dan dana pribadi Felix Weil. Kemudian Institut diafiliasikan dengan Universitas Frankfurt, meskipun sebenarnya institut dan Universitas Frankfurt, tidak ada kaitannya sama sekali. Keputusan untuk berafiliasi dengan Universitas Frankfurt adalah menguntungkan bagi Institut, karena pada akhirnya Institut akan mempunyai wibawa akademik yang lebih besar dan pengaruhnya di daratan Eropa khususnya.

Ikhtisar Corak Pemikiran Mazhab Frankfurt


Membahas tentang pemikiran Mazhab Frankfurt, tidak dapat dipisahkan dari apa yang kita sebut dengan Teori Kritis. Definisi Teori Kritis pertama kali diuraikan oleh Horkheimer pada tahun 1937 melalui esainya yang bertajuk “Teori Tradisional dan Teori Kritis” (Fajarni, 2022).

Menurut Horkheimer, Teori Kritis adalah bentuk emansipatoris radikal teori Marxis yang mengkritisi dua kerangka epistemik yang diajukan Positivisme logis dan otoritarianisme dari Marxisme ortodoks dan Komunisme. Teori ini berupaya untuk membongkar dogma-dogma Marxisme yang telah menjamur di kalangan Marxis, sehingga ia berorientasi untuk menolak kemapanan epistemologi Marxisme.

Pemikiran aliran ini mempunyai sifat dialektis terhadap realitas sosial. Maksud dari dialektis tersebut, dapat dibagi menjadi dua kategori.

Pertama, para tokoh Mazhab Frankfurt tidak berpretensi bahwa mereka dapat keluar dari pengaruh sosio-historis yang mereka dapatkan. Secara simplistik, seorang pemikir tidak akan pernah lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Bagaimapun, konteks sejarah yang mereka temui tidak bisa dihilangkan.

Kedua, dalam mengembangkan gagasan responsif terhadap realitas sosial, para pemikir ini tetap berupaya menjaga historisitas pemikiran mereka. Hal ini dilakukan dengan cara tetap memperhatikan relevansi pemikiran terhadap kondisi realitas sosial pada masa itu. Karena, mereka menganggap bahwa realitas sosial yang tengah terjadi mempunyai keterkaitan dengan fragmen-fragmen masa lalu (S. Thayf, 2021).

Kendati demikian, bukan berarti para teoretikus “mazhab” ini selalu mempunyai pemikiran yang sama. Justru sebaliknya, mereka memberikan kritik satu sama lain karena perbedaan pendapat dan interpretasi. Generasi pertama dikritik secara tajam oleh generasi setelahnya, begitu seterusnya.

Dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Franz Magnis-Suseno memberikan pernyataan yang menggambarkan ciri khas pemikiran Mazhab Frankfurt, sebagai berikut:

Yang khas bagi aliran pemikiran kritis—seperti juga bagi aliran-aliran lain—ialah bahwa aliran itu sangat heterogen. Para pemikir kritis tidak sepaham satu sama lain, mereka suka saling menanggapi dan saling mengkritik. Yang mempersatukan mereka barangkali hanya satu hal: bahwa mereka sambil melanjutkan pemikiran Karl Marx secara kritis dan anti-dogmatis, malah menolak apa yang disebut “Marxisme Resmi” (Magnis-Suseno, 1992).

Untuk memperjelas pemikiran Teori Kritis (Critical Theory) ini, dapat diuraikan secara sederhana, bahwa mereka mencoba menghindari potensi Teori Kritis sebagai suatu dogma, atau anti-kritik, seperti Komunisme yang mereka tentang. Maka dari itu, mereka membuka diri terhadap kemungkinan adaptasi dan revisi atas pemikiran mereka sendiri. Terbuka untuk dikritisi dan dirubah, jika ternyata terdapat kecacatan epistemik dan logis dari pemikiran Teori Kritis. Teori tersebut bukan konstruksi yang stabil, statis dan totaliter, melainkan metode yang digunakan untuk terus mempertanyakan kemapanan ideologi, mengkritisi stabilitas logos dan menganalisis sesuatu yang dianggap final.

Mazhab Softinalean dan Tantangannya


Pada bagian ini adalah bagian yang paling saya tunggu-tunggu sebagai penulis, atau bahkan para pembaca yang budiman. Semua berawal dari Warung Softinala. Warung ini berada di Jl. KH. Hasyim Asyari No.100d, Dusun Krajan, Genteng Wetan, Kec. Genteng, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68465. Bisa dicari di Google Maps, di sana juga terdapat beberapa foto (meski belum banyak) suasana yang ada di warung yang dekat dengan Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy.

Kami mendapatkan berbagai cerita, tragedi dan historis dari cangkem ke cangkem. Mulai dari para alumni, terutama alumni organisasi, dan dari pemiliknya sendiri, yakni Ibu Umi Kultsum. Beliau sering bercerita banyak hal, khususnya tentang bagaimana dulu para alumni di balik kegagahannya, juga berkelindan seperti kami saat ini. Orang yang sering dipanggil “Ibuk” ini adalah orang yang sangat penyabar, telaten dan tentunya periang. Namun, yang terakhir bukan hanya karena beliau menjalankan tugasnya sebagai penjual nasi, melainkan karena karakter beliau memang ramah. Tidak seperti pramusaji yang ada di Karen’s Diner, para pelayan yang sering mbesengut atau berwajah kusut.

Lantas, ada apa dengan warung nasi tersebut? Mengapa disandingkan dengan Mazhab Frankfurt? Kemungkinan pertanyaan itu sudah menyambar saat seseorang membaca awal tulisan ini. Baiklah, saya akan memberikan penjelasan yang sederhana tentang Mazhab Softinalean.

Seperti yang dikatakan di atas, bahwa mahasiswa yang sering “nyangkut” di warung tersebut terbilang banyak. Bahkan, setiap hari mereka di sana. Ada yang makan, ngopi, diskusi, rasan-rasan, menyusun strategi politik hingga mengenang masa-masa saat menjadi mahasiswa dulu. Untuk yang terakhir, khusus untuk generasi tua. Dari seringnya mereka berkumpul dan ndobos sana-sini, akhirnya beberapa mahasiswa mendeklarasikan bahwa warung tersebut mengalami transformasi menjadi Softinala Intitute.

Nah, dari pergeseran status tersebut, membuat posisi Ibuk juga berganti. Sekarang beliau menjadi Ketua Yayasan Softinala Institute, untungnya beliau tidak otoriter. Beliau demokratis, siapa yang datang duluan, dia lah yang mendapatkan pelayanan terlebih dulu. Apalagi, yang kemungkinan kecil beliau dikudeta ialah, beliau sering bercerita dan menasihati kami seperti orang tua sendiri. Melihat memang beberapa mahasiswa dari perantauan.

Jika Mazhab Frankfurt mempunyai karakteristik yang dikukuhkan oleh Romo Magnis-Suseno, kami juga mempunyai karakteristik tersendiri yang hampir sama dengan Mazhab Frankfurt tersebut. Agar lebih estetis dan representatif saya akan menuliskannya seperti tulisan Romo Magnis. Hanya saja, ada beberapa pelesetan dan pemberian pernak-pernik. Jadinya, sebagai berikut:

Yang khas bagi mazhab ini ialah bahwa pengunjunya itu sangat heterogen. Para ‘pengunjung’ tidak sepaham satu sama lain, mereka suka saling menanggapi dan saling mengkritik. Yang mempersatukan mereka barangkali hanya satu hal: bahwa mereka disamping memikirkan bagaimana melunasi ‘tunggakan’ makan dan terus menambahkan catatan-catatan, mereka juga menolak adanya ketidakadilan, kejumudan, kekerasan hingga “Totalitarianisme Resmi”.

Melihat bahwa kebanyakan mahasiswa yang centang perenang di Softinala, memberikan tantangan dan tuntutan bagi mereka. Sebagai kaum intelektual, agaknya istilah tersebut terlalu meninggikan, mereka mempunyai tanggungjawab yang tidak bisa dianggap sepele, memble bahkan dihadapi dengan cara mlete. Saya akan menampilkan tantangan yang harus dilakukan oleh mahasiswa Mazhab Softinalean dengan dua klasifikasi, antara lain perubahan kultur dalam dan kultur luar.

Pertama, perubahan kultur dalam (internal).

Perubahan ini merupakan hal yang bersifat fundamental dan krusial. Mengingat bahwa mayoritas mereka adalah kaum terpelajar, seyogyanya juga berorientasi kepada aktivitas-aktivitas intelektual. Selama ini, Warung Softinala hanya dijadikan tempat makan dan rasan-rasan belaka. Meskipun ada yang melakukan kajian-kajian, namun sifatnya sporadis.

Iklim intelektual harus diwujudkan agar pengaruhnya dapat dirasakan oleh anggota Mazhab Softinalean. Toh, tidak ada pelarangan membawa buku-buku dan laptop. Di sana seakan-akan memuat semboyan Revolusi Prancis yang populer itu; Liberté, égalité, fraternité. Jadi, jangan sungkan dan pesimis. Bagaimana mungkin kalian-kalian ini bisa sungkan, sedangkan catatan-catatan kalian menumpuk laiknya piramida oligarki?

Langkah-langkah untuk mewujudkan iklim atau kultur intelektual tersebut bisa dilakukan dengan cara yang sederhana. Ndak perlu muluk-muluk, utopis, maupun melangit. Karena kita ini di bumi, ya harus membumi. Salah satu contoh, saat bertemu dengan kawan-kawan di Softinala Institute, upayakan sepuluh sampai lima belas menit saja membahas topik-topik yang bisa dijadikan objek diskusi. Hal itu dilakukan dengan kontinu, jangan hanya ikut-ikutan trend atau, saat datang mahasiswa baru, berlagak ngajak diskusi biar terlihat sangar di depan mahasiswa-mahasiswa. Ah, itu bukan karakter Mazhab Softinalean!

Selanjutnya cari sendiri strategi untuk merubah kultur dalam Softinala Institute. Sudah aqil-baligh, kan? Saya di sini hanya mengantarkan saja. Siapa pun dia, terkhusus untuk sahabat-sahabat saya, silahkan membantu untuk terwujudnya revolusi. Eh, maksudnya transformasi.

Kedua, perubahan kultur luar (eksternal).

Setelah perubahan kultur dalam telah mengalami perkembangan yang signifikan, maka kita mempunyai tanggungjawab kepada Yang Lain. Karena memang tujuan kita, yang paling utama, adalah memberikan warna kepada kultur intelektual yang ada di lingkungan Institut Softinala dan Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy, Genteng, Banyuwangi. Kalau bisa, nanti Mazhab Softinalean bernasib sama dengan Mazhab Frankfurt, yakni berafiliasi dengan Institut Agama Islam Ibrahimy.

Kultur atau iklim yang kita ciptakan harus berekspansi ke seluruh wilayah-wilayah yang belum terjamah, salah satunya kampus sebelah. Hal demikian, menurut hemat saya, adalah salah satu bentuk khidmah kepada Institut Agama Islam Ibrahimy. Jadi, anggota Mazhab Softinalean jangan sampai memiliki bias pemikiran mengenai khidmah. Bukan berarti yang mahasiswa manut atau—meminjam istilah Fromm—yang patuh itu adalah berkhidmah. Justru, menurut salah satu pemikir Mazhab Frankfurt ini, bersikap patuh adalah jalan menuju stagnasi peradaban—jika tidak dikatakan kehancuran. Bahkan, kalau dibuat dengan kalimat yang “ndakik”, bisa berakibat pada pembunuhan kritisisme dan pengkhianatan akademik.

Salah satu cara yang sederhana ialah, melakukan diskusi-diskusi kecil di kantin, koperasi, kelas, taman kampus hingga sudut-sudut gedung kampus. Sehingga konsekuensinya, membaca dan diskusi adalah makanan kita sehari-hari. Jika nasi adalah kebutuhan primer kita sebagai manusia, maka baca dan diskusi adalah kebutuhan primer kita sebagai mahasiswa. Melakukannya terkesan berat, akan tetapi jika dilandasi dengan niat yang baik dan aksi yang proporsional, maka akan memberikan dampak yang signifikan. Saya membayangkan, ketika dua sejoli yang berstatus aktif sebagai mahasiswa di Institut Agama Islam Ibrahimy, saat berada di kantin atau sedang duduk bersama, bahasannya seputar ideologi, politik, filsafat, isu-isu relasi kekuasaan hingga pembahasan secara radikal mengapa becak beroda tiga. Meskipun masih membayangkan, itu sudah Masyaallah!

Lebih jauh, jika kultur sudah tersistematis dan mengakar kuat, Mazhab Softinalean bisa melakukan aktivitas intelektual lainnya, seperti membedah buku-buku, menulis karya ilmiah, dan melakukan penelitian.

Akhir kalam

Tulisan ini dibuat sebagai bahan refleksi kita bersama, bukan berarti penulis adalah manusia yang paripurna. Kita terlalu fokus pada agent atau peran yang seringkali digaungkan oleh Presiden Mahasiswa ketika ospek seperti, Agent of Change, Guardian of Value, Iron Stock, Moral Force, dan Social Control. Namun kita lupa, bahwa ada tugas lain yang terselip di dalam lipatan kertas lusuh, yang keberadaannya bisa kita temukan di perpustakaan, yakni Agen of Culture.

Kita tidak bisa hanya sekedar mengeluh terhadap kultur intelektual yang, menurut kita, mengalami degradasi atau bahkan belum tertata sama sekali. Hanya “nyinyir” tidak akan merubah keadaan, justru sebaliknya, perilaku tersebut akan memperkeruh keadaan. Yang seharusnya kita lakukan adalah bekerja sama untuk mewujudkan iklim intelektual yang menjadi harapan kita semua. Seorang Anarkis, P.J. Proudhon mengatakan:

“Sebuah revolusi sosial tidak berlangsung atas perintah seorang tokoh dengan teori yang sudah jadi, atau sabda seorang nabi. Revolusi organik yang sesungguhnya adalah buah dari kehidupan universal, dan meskipun revolusi ini punya para pewarta dan pelakunya sendiri, ia bukanlah kerja dari satu orang saja” (M. Sheehan, 2016).

Penulis: Dendy Wahyu Anugrah, Softinalean ‘18

Sanad Literatur

Fajarni, S. (2022). Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Varian Pemikiran 3 (Tiga) Generasi Serta Kritik Terhadap Positivisme, Sosiologi, dan Masyarakat Modern. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 24(1), 72. https://doi.org/10.22373/substantia.v24i1.13045

M. Sheehan, S. (2016). Pengantar Anarkisme. Marjin Kiri.

Magnis-Suseno, F. (1992). Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=292972

S. Thayf, H. (2021). Teori Kritis Mazhab Frankfurt : Sebuah Pengantar (Dr. Supartiningsih (ed.); 1st ed.). Pustaka Pelajar.

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak