BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Tradisi Mepe Kasur Suku Osing : Dari Filosofi Hingga Potensi Dipolitisasi

Tradisi mepe kasur

Pena Laut
- Kehidupan manusia begitu kompleks dan tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengekspresikan dirinya maupun eksistensinya, berusaha memberikan nilai untuk alam semesta.

Konstruks pemikiran masyarakat dari generasi ke generasi mengalami progresivitas, sesuai dengan konteks yang mereka temui. Bahkan, sebagai wujud terima kasih atas alam semesta, mereka mengadakan ritual-ritual atau kegiatan secara turun-temurun.

Dari hal tersebut, muncullah istilah tradisi. Tradisi adalah sebuah kebiasaan yang diturunkan kepada anak-cucu agar senantiasa dilestarikan, meskipun modernitas melanda kehidupan mereka.

Tradisi tersebut dijadikan sebagai pedoman dan filosofi hidup yang bertujuan untuk menjadikan tingkah laku masyarakat dan generasi mendatang mempunyai tingkah laku yang bajik. Salah satu contoh tradisi yang terus dikonservasi adalah tradisi Mepe Kasur yang ada di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.

Desa Kemiren dianggap sebagai desa yang masih mengkonservasi tradisi suku Osing yang ada di Banyuwangi. Kendati demikian, masyarakat suku Osing tidak hanya bertempat tinggal di Desa Kemiren, melainkan tersebar ke seluruh wilayah kabupaten yang terletak di ujung timur pulau Jawa tersebut.

Tradisi Mepe Kasur ini terkesan unik, terdapat filosofi yang ciamik di dalamnya. Yang membuatnya unik adalah, bagaimana masyarakat suku Osing memberikan model kasur, pelaksanaan menjemur kasur dan warna kasur yang dijemur.

Secara etimologis, Mepe Kasur terdiri dari dua kata, yakni mepe dan kasur. Mepe artinya menjemur, sedangkan kasur ialah tempat tidur yang sering kita pakai saat hendak me;ukis pulau-pulau di kanvas yang bernama “bantal”. Jadi, jika didefinisikan secara bebas, bahwa tradisi tersebut merupakan kebiasaan menjemur kasur.

Tradisi ini dilakukan hanya setahun sekali, yakni pada bulan Dzulhijah. Acara ini bermula pada tahun 2009 yang merupakan hasil musyawarah penduduk desa Kemiren. Mepe Kasur adalah salah satu rangkaian acara yang terdapat dalam bersih desa, atau yang sering dikenal dengan Tumpeng Sewu.

Media yang digunakan layaknya kasur pada umumnya, namun yang menjadi pembeda ialah warna dan lipatan yang ada pada kasur tersebut. Warna kasur yang digunakan untuk tradisi ini adalah warna merah dan hitam. Sedangkan, lipatan pada kasur juga berbeda-beda.

Filosofi dari warna merah bermakna keberanian bagi seorang sepasang suami-istri dalam membangun rumah tangga dan warna hitam bermakna kelanggengan dan harapan untuk senantiasa bersama hingga masa tua. Makna tersebut dijadikan alasan, mengapa kasur yang dijemur harus berwarna merah dan hitam.

Lipatan kasur juga terdapat maksud tertentu, biasanya masyarakat suku Osing menyebutnya dengan sebutan gembil (lipatan kasur). Lipatan tersebut menggunakan kelipatan ganjil, mulai dari tiga, lima dan tujuh.

Menurut paradigma suku Osing, kelipatan gembil menandakan status social seseorang, sehingga jumlah lipatannya pun berbeda-beda. Sesuai status sosial pemesan atau yang menjemur.

Tradisi Mepe Kasur ini diadakan dengan tujuan untuk membersihkan diri dari hal-hal negatif, yang sewaktu-waktu dapat menimpa manusia. Mereka (masyarakat suku Osing) mempunyai kepercayaan, bahwa tradisi yang sudah turun temurun tersebut dapat menghilangkan mara bahaya.

Sebagai orang yang lahir di Bumi Blambangan, hal ini memberikan sebuah pelajaran bagi saya akan kearifan lokal yang ada di tanah kelahiran saya. Dari tradisi yang sudah dilakukan bertahun-tahun tersebut memberikan pengertian kepada masyarakat luas, bahwa tradisi harus tetap dikonservasi.

Tentu tradisi yang dimaksud bermuatan positif. Karena, terdapat kaidah hukum yang mengatakan, bahwa kita harus senantiasa menjaga tradisi yang baik dan mengambil suatu hal baru yang lebih baik.

Kendati demikian, tradisi Mepe Kasur tersebut juga menuai dampak positif dan negatif. Saya akan memaparkan secara singkat perihal ini.

Pertama, dampak positif bagi masyarakat suku Osing. Akibat semakin dikenal luasnya tradisi tersebut, para pembuat kasur mendapatkan banyak pesanan dari berbagai daerah, bahkan di seluruh Indonesia.

Perekonomian masyarakat mengalami peningkatan akibat dari pemesanan kasur unik tersebut dan menjadikan desa Kemiren sebagai salah satu destinasi wisata, terutama saat tradisi ini dilakukan. Bahkan, tak jarang wisatawan asing tertarik terhadap tradisi yang terbilang “nyeleneh” ini.

Kedua, dampak negatif. Pada saat tradisi berlangsung, banyak sekali pegunjung berdatangan untuk melihat penjemuran kasur dan meminta masuk ke rumah-rumah hingga ke dalam kamar untuk melihat kasur berwarna merah-hitam tersebut.

Privasi seseorang tidak lagi diindahkan. Tak hanya itu, karena banyaknya orang dari berbagai daerah bermaksud untuk melihat langsung, membuat masyarakat di desa merasa terganggu. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum terbiasa dengan keramaian pengunjung.

Lebih jauh, kalau dilihat dari segi warna, tradisi ini berpotensi untuk dipolitisasi. Bisa jadi, nanti diklaim dan dilegitimasi sebagai bentuk dukungan politik salah satu partai. Maka dari itu, menjelang tahun politik seperti sekarang ini, jangan sampai tradisi yang penuh akan nilai kebajikan dan kebijaksanaan, justru terkontaminasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Misalnya, saat penjemuran kasur sedang berlangsung. Tidak menutup kemungkinan, berkeliaran oknum-oknum yang dengan sengaja menempel sticker bergambar logo partai, agar tampak seperti agenda yang diselenggarakan oleh partai politik tertentu. Apalagi, warnanya juga mendukung.

Terkesan mustahil, ya? Memang. Namun, bukankah kehidupan itu dinamis, sehingga kita sebagai manusia dituntut untuk berpikir perihal potensi-potensi yang akan terjadi. Kalau toh banyak yang meragukan tentang potensi yang saya uraikan, itu hal yang wajar dan sah-sah saja beranggapan demikian.

Tapi, yang perlu diingat adalah, ketelitian kita dalam menilai persoalan. Sering kali kita “menyepelekan” (menganggap sepele, Red.) segala sesuatu. Padahal, konsekuensi yang kita terima tidak pernah bisa kita bayangkan dan kita pastikan. Karena itu, kita harus berhati-hati dan mempertimbangkan segala hal.

Jika melihat realitas politik saat ini, tamsil yang saya hadirkan di atas juga berpotensi. Mengapa? Karena, sekarang ini sudah “gila-gilaan”. Sampai-sampai, presiden “cawe-cawe” dengan alasan demi menjaga stabilitas negara.

Berarti sudah gawat! Bagi kamerad, nyalakan tanda bahaya dan kabarkan kepada khalayak untuk berhati-hati dengan bahaya laten “fajar”. Maksudnya, “fajar” yang bersiap menyerang mendekati Pemilihan Umum (Pemilu), bukan si Fajar yang pernah ngompol di kelas karena ditanya oleh gurunya, perihal mengapa di Blitar beberapa waktu yang lalu sempat terjadi pembakaran Bus berlogo Parpol dan yang pasti bukan fajar kadzib maupun fajar shadiq dalam pembahasan fiqh yang dikaji oleh para santri di pesantren.

Di era seperti sekarang ini, sudah seharusnya kita melakukan refleksi atas local wisdom yang ada di lingkungan kita masing-masing. Mengapa demikian? Ya, karena saat ini banyak sekali tipologi manusia yang apatis bahkan berani membid’ah-bid’ahkan kearifan lokal yang bercokol di tengah masyarakat jauh sebelum mereka lahir.

Penulis: MD
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak