Pena Laut - Kisah cinta tidak akan pernah selesai, ia akan terus menggema dalam kehidupan manusia. Denyutnya akan merangkai lukisan-lukisan di hati setiap manusia yang menorehkan rasa cintanya untuk menggapai cinta abadi yang tidak akan pernah sanggup diuraikan dengan bibir yang penuh dosa. Sudah ribuan cerita cinta yang telah tertulis, sudah berkali-kali perjuangan tidak akan pernah berhenti. Ia bagaikan air terjun yang terhempas tanpa merasakan rasa sakit. Namun, akhir sebuah cerita belum terlihat batang-hidungnya, karena kita, manusia, tidak akan pernah mampu menebaknya.
Gautama telah memulainya, ia dengan berani melukis kisah cinta di balik kanvas yang penuh dengan darah, tangis, dan rasa sakit. Gautama adalah pelukis kisah cintanya kepada perempuan yang selalu ia gambar di kanvas dengan tangan yang penuh dengan tinta. Gautama adalah seorang laki-laki yang hidupnya bisa dibilang dramatis, berlatarbelakang broken home, tidak sekolah, hidup di jalanan dan sekujur badannya penuh dengan tinta bermakna. Jalanan adalah rumah baginya, bahkan seperti saudara kandungnya sendiri. Saat ia bertemu jalan berlubang, seperti biasa ia akan menutupinya dengan tanah dan meneteskan air mata seraya berkata,
“Kau, saudaraku, maafkanlah manusia, karenanya engkau sakit seperti ini. Namun jangan khawatir, ini bukan bencana alam. Berarti hal ini disebabkan oleh manusia. Bencana yang disebabkan oleh manusia, pasti ia bisa dilawan dengan manusia pula,” gumamnya saat Gautama menutup jalan berlubang dengan tanah milik Negara.
Saat ia menyusuri jalan setapak demi setapak, penuh harap, dengan style yang dominan hitam bersepatu lusuh, anak yang biasa orang-orang menyebutnya dengan sebutan “Punk” ini, merasakan pemberontakan dalam perutnya. Ia tersadar, bahwa sudah tiga hari hanya meminum air sungai, perut belum terisi sama sekali. Padahal, sungai yang ada di perkotaan sangatlah kumuh, penuh sampah dan berwarna keruh. Kota S adalah kota yang padat penduduk, gedung-gedung tinggi menjulang ke langit bertebaran, kendaraan bising menemani hari-harinya, bahkan orang yang berpangku tangan pada ramainya jalanan pun tidak kalah banyaknya. Kaum terlunta-lunta, begitu Gautama menyebutnya, semakin hari semakin bertambah jumlahnya.
Setiap hari Senin, Gautama bersama empat temannya rutin mengadakan pertemuan. Pertemuan itu bukan hanya sebatas bercengkerama semata, melainkan belajar bersama untuk menambah wawasan, karena mereka semua tidak sekolah. Gautama adalah orang yang ditunjuk untuk menjadi “kepala sekolah” di forum itu. Namanya S Institute. Nama itu dibuat saat musywarah pertama kali sebelum S Institute dideklarasikan dan ia terinspirasi dari nama Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman atau yang sering dikenal Mazhab Frankfurt. Menurut Gautama, sekarang banyak sekali nama-nama yang “melangit”, namun dari sekian banyak nama lembaga, organisasi dan lainnya, sedikit sekali ia temui nama daerah yang dijadikan nama lembaga. Maka, ia menggunakan nama kota “S” sebagai nama forumnya tersebut.
S Intitute bermula dari belajar tulis-menulis, membaca, berdiskusi dan forum saling curhat. Forum ini didirikan karena pada waktu itu, Gautama menemukan banyak hal yang membuatnya merasa bahwa harus ada forum (tak resmi) dan pertemuan rutin sebagai sarana pembelajaran, curhat dan saling bertukar pikiran. Setiap hari Senin, ia dengan empat kawannya yang terdiri dari Hannah, Purba, Jeje dan Sobirin. Semuanya adalah anak jalanan, semuanya mempunyai latarbelakang masing-masing dan semuanya mempunyai cita-cita yang luhur. Stereotipe yang diterima mereka beragam, datangnya dari orang-orang kota yang merasa risih dengan keberadaan mereka. Terkadang disebut sampah negara lah, babi hutan lah, atau iblis-iblis bertatoo. Namun, dari semua tuduhan itu, mereka semua tidak pernah sakit hati. Karena, menurut anak-anak yang tergabung dalam S Institute ini, buat apa hal itu dirasakan, toh datangnya pun tidak dihasilkan dari pemikiran yang logis.
Penghidupan Gautama setiap hari mengumpulkan satu demi satu sampah-sampah yang bisa dijual, ia berangkat dari pagi hingga petang. Gautama tidur disebuah gudang bekas milik Belanda di sebelah alun-alun kota S. Setiap hari, selain hari Senin, ia bekerja mengumpulkan sampah untuk menyambung hidup yang penuh dengan kekacauan, ketimpangan dan pemimpin yang lalim. Gautama tidak bergantung pada negara, ia tidak “cengeng”, baginya hidup dengan berani dan sekali berarti setelah itu mati.
Saat mengais sampah di alun-alun, ia tak sengaja menabrak seorang perempuan dengan gamis yang memancarkan sinar, sepatu yang mengkilat dan wajah yang berseri-seri.
“Maaf, aku tidak sengaja,” ujar Gautama kepada perempuan itu.
“Tak apa, Mas, saya juga minta maaf,” kata perempuan bergamis merah maroon.
Mendengar kata-katanya, Gautama diam sejenak seperti terkena hipnotis. Memandang wajahnya yang anggun, berhidung mancung, senyumnya yang menawan, tak pernah ia bertemu perempuan yang membuatnya bodoh seketika. Perempuan itu terheran dengan tingkah Gautama yang aneh. Kemudian, ia berkata kepada Gautama.
“Mas, apakah ada yang sakit?” tanya perempuan yang di tangannya membawa satu buku agak tebal.
Mendengar pertanyaan dari perempuan itu, Gautama terkaget dan mengelap tangannya yang kotor dan menyisir rambutnya yang gimbal, lantas dengan berani mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan perempuan itu.
“Maksudnya apa ini, Mas?” perempuan yang bertanya-tanya.
“Namaku Gautama, bolehkah kita berkenalan, Nona?” dengan tangan yang tak henti-hentinya bergetar seperti sedang diguncang gempa bumi. Bukan bumi yang bergetar, melainkan hatinya yang menggetarkan sekujur tubuhnya. Keringat bercucuran, sehingga membasahi semua wajah Gautama.
Tidak disangka-sangka, perempuan itu mau menjabat tangan Gautama yang penuh tinta dan menyebut namanya dengan senyum yang terus menyilaukan mata Gautama saat memandangnya.
“Boleh, Mas. Namaku Marina,” suaranya yang merdu bagaikan kemercik air sungai pedesaan yang selalu terdengar sunyi, membuat tubuh Gautama semakin bergetar menjadi-jadi.
“Aaa...aaa...apakah kau sedang berjalan-jalan di alun-alun ini, Nona?” tanya Gautama gugup.
Marina tertawa mendengar Gautama yang bertanya dengan gugup dan tubuh yang bergetar, namun dengan sifatnya yang lembut, ia menjawabnya dengan sabar.
“Iya, Mas. Aku di sini sedang menikmati alun-alun kota S. Oh iya, jangan panggil aku nona, karena aku bukan orang Belanda,” candanya yang tidak melunturkan keanggunan Marina.
Ketika sedang berkenalan, Marina dihampiri anak kecil dengan berlari membawa permen lolipop di tangannya.
“Kakak! Kakak! Ayo pulang,” teriakan anak kecil yang ternyata dia adalah adiknya.
Marina menoleh ke adiknya, menangkap badan sang adik lalu menggendongnya. Setelah otu, ia pamit untuk pulang.
“Mas, terima kasih atas pertemuannya. Semoga lain kali kita bisa bertemu. Aku pulang dulu,” Marina yang sedang menggendong adik kecilnya yang lucu dan menggemaskan.
Gautama berdiam diri dengan kaku. Ia hanya mengedipkan mata dan badan masih bergetar.
Marina berjalan pulang membelakangi Gautama. Saat Marina beranjak pulang, Gautama berteriak dengan lantang,
“Marina! Semoga kita bertemu kembali. Aku setiap hari Senin berkumpul dengan kawan-kawan di sini, kalau mau silahkan datang besok,” Gautama.
Mendengarnya, Marina menganggukkan kepala dan tersenyum kepada Gautama. Setelah itu, mereka berpisah dan Gautama pulang ke tempat singgahnya. Pertemuan yang tak akan dilupakan oleh Gautama, sejak saat itu, ia melukiskan kisahnya di dalam hati yang belum pernah tergores oleh kisah asmara. Lukisan pertamanya: Sayap bidadari yang bernama Marina.
***
Beberapa minggu kemudian, Gautama mendengar kabar bahwa akan ada salah satu band terkenal bernama Romi & The Jahats yang akan perform di alun-alun kota S untuk merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) kota S. Karena band itu mempunyai solidaritas yang kuat, bahkan Gautama sendiri sudah menunggu kedatangannya, ia mengumpulkan teman-temannya yang tergabung dalam S Intitute untuk mengadakan rapat dadakan.
Titik kumpul pertemuan dadakan itu di kediaman Gautama sendiri, datang bergantian mulai dari Sobirin, Hannah, Jeje dan Purba dengan membawa gorengan lengkap dengan rokoknya. Setelah berjabat tangan secara bergantian, Jeje yang saat itu sedang dilanda sakit flu, mengacungkan tangannya dan meminta sesuatu.
“Sebelumnya aku minta maaf, kawan-kawan. Aku sedang terkena flu, dan mari iuran untuk membeli rokok. Sepertinya, Jeje lupa membeli rokok. Tanpanya, kita tidak bisa memulai rapat kali ini,” ujar Jeje seraya mengusap-usap hidungnya yang merah merona bagaikan jambu mete.
Semua sepakat dengan masukan Jeje, akhirnya mereka iuran dengan uang seadanya, lalu Hannah yang ditugaskan untuk membeli rokok. Tak lama kemudian, secara tiba-tiba datanglah seorang perempuan berkerudung membawa kantong plastik berisi makanan dan minuman. Ternyata dia adalah Marina, bidadari yang tersesat di gedung tua tempat tinggal Gautama. Semua terpukau dibuatnya, hingga Sobirin tak sadar bahwa air ludahnya tumpah di tangan Gautama.
“Kurang ajar kamu, Rin. Air ludahmu mengenai tanganku!” seru Gautama.
“Hehehe, maaf, Ma. Soalnya kaget, kok bisa bidadari surga datang ke sini,” Sobirin yang sambil membersihkan air ludahnya di tangan Gautama.
Menatap ke Marina, Gautama langsung berdiri dan menghampiri Marina seraya menjabat tangannya.
“Marina, mengapa kau kemari, lantas siapa yang memberitahumu kalau aku tinggal di sini?” tanya Gautama keheranan dengan tangan yang belum terlepas.
“Aku tadi melihatmu di seberang jalan bersam kawan-kawanmu, akhirnya aku mengikuti kalian. Setelah kalian memasuki gedung ini, aku mampir di swalayan untuk membeli sedikit cemilan untuk kalian. Gak masalah, kan, jika aku mampir kemari?” suara Marina yang lembut dan halus menerkam telinga semua yang ada di sana.
“Eee...eeee..eee, iya. Silahkan. Gedung ini milik semua orang kok,” jawab Gautama gugup.
Marina duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Hannah. Selang beberapa menit, Hannah datang. Semua telah berkumpul, namun ada Marina, mereka belum memulai rapat dan saling menatap satu sama lain. Akhirnya, Gautama memulai pembicaraan.
“Baiklah kawan-kawan, kita mulai rapat pada sore hari ini,” pengantar Gautama.
Mendengar hal itu, Marina menatap wajah Gautama yang sedari tadi tersipu malu saat ia menatap wajah kumuh Gautama.
“Lho, ada pertemuan apa, Mas? Mengganggu kah aku di sini, kelihatannya sangat penting sekali,” Marina yang ingin beranjak pergi.
“Oh, jangan khawatir, Na. Kita hanya kumpul-kumpul biasa, kok. Sembari membahas acara perayaan besok di alun-alun,” jawab Gautama.
“Iya, kak. Kakak di sini saja, kan kakak juga baru datang istirahatlah sebentar di sini. Kami juga senang kakak berada di sini,” kata Jeje yang terus mengelap ingusnya.
Semua menganggukkan kepala, tanda memberi persetujuan atas pernyataan Jeje. Rapat sore itu hanya membahas persiapan S Institute untuk ikut memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) kota S dengan membantu membersihkan alun-alun sebelum acara dimulai dan menonton bersama-sama untuk melihat penampilan Romi & The Jahats. Marina yang dibuat bingung oleh pembahasan sore itu, memberanikan diri untuk bertanya pada Gautama.
“Mas, mohon maaf jika lancang, sebenarnya apa yang kalian bahas dan kalian-kalian ini dari mana? Sungguh aku terheran-heran, ternyata kehidupan kalian mempunyai tujuan yang mulia. Meskipun banyak orang yang meragukannya,” Marina yang jujur dan terus bertanya-tanya.
“Sudahlah, Na. Perihal siapa kita dan dari mana asal kita, itu bukan perkara penting. Yang paling penting adalah, kebermanfaatan kita untuk orang lain. Itu pun kita tidak mengharap balasan,” jawab Gautama seraya menghisap rokok yang ada dihimpit oleh jari-jarinya.
“Kalau gitu, aku ikut ya,” Marina yang bersemangat.
Semua kaget dan bingung. Sekarang yang terheran-heran adalah empat anak punk yang tergabung dalam S Institute itu. Jeje geleng-geleng, Hannah menatap Marina dengan tatapan kosong, Sobirin terus mengunyah camilan dengan enaknya dan Gautama membuang batang rokoknya seketika. Waktu terasa berhenti saat Marina mengungkapkan kesediaannya untuk mengikuti acara S Institute. Hempusan nafas panjang menghidupkan waktu yang terhenti.
“Jika itu maumu, silahkan ikut bersama kami nanti,” Gautama dengan menggaruk-garuk kepalanya yang penuh kutu dan debu jalanan.
Pertemuan itu selesai, semua pamit pulang. Yang tertinggal hanya Gautama dan Marina. Mereka berdua membicarakan banyak hal, dari politik, ideologi, agama, kebijakan pemerintah tentang lingkungan, hingga problem pengangguran. Semua dibahas, meskipun Gautama tidak sekolah, ia mempunyai pengetahuan yang cukup luas. Bahkan, Marina yang sedang menempuh pascasarjana di Universitas Ilalang, dibuatnya takjub atas wacana Gautama. Memang Gautama tidak lulus sekolah, namun baginya, belajar tidak terbatasi oleh gedung, seragam, dan ijazah. Justru ia belajar banyak hal di jalanan, dia juga membaca banyak buku-buku yang ia beli di toko buku bekas milik Kang Suratno yang tidak jauh dari gedung tempatnya singgah.
Diam-diam Gautama melukis senyum Marina yang lugu, dengan keanggunannya dan matanya bak kelereng yang mengkilat. Lukisan yang terus ia kerjakan setiap saat, tanpa sepengetahuan Marina.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 wib, segera Marina pamit pulang ke Gautama yang sedari tadi sibuk melukis pesonanya.
“Waktu sudah semakin sore, Mas. Aku pamit dulu, ya. Lain kali aku main lagi kemari,” pamit Marina dengan senyum tipisnya.
Kemudian mereka berdiri dan saling berjabat tangan, tanpa sepatah kata dari Gautama. Saat Marina berjalan sampai ke gerbang, Gautama berteriak yang sungguh mengagetkan Marina.
“Marina! Aku mencintaimu. Sungguh, aku jujur akan hal itu. Terlepas bagaimana dirimu, itu urusanmu,” teriakan Gautama.
Mendengarnya, Marina berbalik badan dan berkata,
“Apakah aku tidak salah mendengarnya, Mas?”
“Tidak. Meski ini terlihat singkat, aku sudah memutuskannya jauh-jauh hari. Aku terus memikirkanmu, Na. Sungguh, hal itu yang aku rasakan setiap saat. Entah karena apa, aku memberanikan diri untuk mengungkapkannya. Setidaknya, aku telah berani berkata padamu. Pun aku juga tidak memaksakan perasaanmu padaku. Aku sadar, bahwa aku tidak sepantasnya mengatakan perasaanku padamu. Tapi, apakah salah jika aku ingin jujur padamu?” Gautama sedang berdiri tegap seperti akan bersiap atas jawaban yang membuatnya sakit.
“Aku belum tahu bagaimana aku menjawabnya, Mas. Tapi bukan berarti ini penolakan. Beri aku waktu untuk menjawabnya. Engkau bersabar kan, Mas?” jawab Marina.
Gautama mengangguk pelan mendengar jawaban itu. Marina pulang dengan cepat, Gautama menghempaskan badannya ke tanah dan mengehal nafas panjang. Semuanya seperti mimpi bagi Gautama. Ia tidak menduga, bahwa ia mengungkapkan perasaannya secepat itu. Saat badannya terbentang di tanah, ia tetap melukis dan terus melukis di dalam hatinya. Entah sampai kapan ia melukis, namun ia bahagia ketika melakukannya.
***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) kota S ke-100 dilaksanakan dengan penuh antusias masyarakat. Terdapat bazar UMKM, pentas seni yang dimeriahkan oleh siswa-siswi se-kota S, parade budaya dan acara puncak kembang api sekaligus penampilan band Romi & The Jahats. Acaranya sangat meriah sekali. gemuruh suara penonton yang menandakan kebahagiaan masyarakat kota S terdengar hingga ke telinga kawanan S Institute yang berada di gedung tempat tinggal Gautama. Setelah membantu membersihkan alun-alun pada pagi tadi, mereka berganti pakaian dan bersiap di sana. Namun Marina sedari tadi belum datang. Hal tersebut membuat Gautama resah, ia khawatir dengan Marina. Pikirannya semrawut, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Seseorang dengan jaket kulit berwarna hitam datang ke gedung itu. Badannya tinggi besar, warna kulitnya sawo matang, hidungnya agak mancung berjalan menghampiri mereka yang sudah bersiap pergi ke perayaan di alun-alun.
“Selamat malam,” suara yang serak basah dari orang yang membawa amplop kecil berwarna merah muda.
“Selamat malam. Anda siapa dan ada keperluan apa kemari?” jawab Purba dengan nada menantang dan curiga.
“Apakah ada yang bernama Gautama?”
“Iya, saya sendiri, Pak,” Gautama yang berjalan menghampiri orang yang berbadan tinggi besar itu.
“Saya kakaknya Marina. Dia meminta saya datang kemari untuk menyampaikan surat ini kepadamu.”
Orang itu memberikan amplop berwarna merah muda itu kepada Gautama. selepas itu, ia langsung pergi tanpa sepatah kata pun. Tanpa menghiraukan kepergian orang itu, Gautama langsung membuka isi amplop itu dan segera duduk untuk membacanya. Ternyata surat itu dari Marina dan ditulis olehnya sendiri. Isi surat:
Assalamu’alaikum wr wb.
Untuk Mas Gautama,
Di tempat.
Bersamaan dengan telah sampainya surat yang dibungkus amplop berwarna merah muda ini di tanganmu yang penuh dengan makna dan tangan yang sering membantu sesama, aku ingin meminta maaf bahwa aku tidak bisa datang hari ini ke acara puncak Hari Ulang Tahun (HUT) kota S di alun-alun. Sebenarnya, aku ingin sekali bersamamu dan kawan-kawan S Intitute untuk memeriahkan ulang tahun kota S, namun apa boleh buat aku sekarang tengah terbaring tak berdaya di Rumah Sakit Adidaya sejak kemarin. Sekali lagi maaf, Mas. Salamkan ke kawan-kawan juga, Mas.
Surat ini tidak hanya menyampaikan permintaan maafku atas ketidakhadiranku di sana, melainkan juga ingin memberikan jawaban atas pernyataanmu tempo hari. Jujur, teriakanmu begitu tulus kudengar, meski terdengar tidak ritmis, namun aku menyukainya. Kata-kata yang jujur dan penuh makna yang dalam, secercah ungkapan yang akan kukenang hingga akhir hayat. Meski dalam keadaan terbaring seperti ini, aku akan menjawabnya sekarang. Sebelum semuanya terlambat dan aku tidak sempat menjawabnya. Terima kasih, Mas, karena pertemuan kita yang hanya dua kali itu, aku merasa mendapatkan semangat baru yang tidak pernah aku dapatkan. Di sampingmu terasa sejuk, damai, harmoni dan aku merasa nyaman. Aku menyukai cerit-cerita pendek yang pernah kau ceritakan padaku, meski aku merasa iri dengan cakrawala wawasanmu.
Hatimu bersih, suci tak ada kotoran sedikitpun. Aku merasakan demikian saat bersama kalian, Mas. Aku bahagia, sungguh bahagia bersama kalian.
Semoga kau senantiasa tersenyum bahagia dan membagi senyuman kepada setiap manusia yang ada di muka bumi ini. Mereka membutuhkan keberadaanmu. Kebaikan itu tidak terbatasi oleh pakaian, gaya hidup, ras, suku, agama atau yang lain. Jadi, aku berharap engkau terus menebar kebaikan kepada setiap orang, terutama yang ada di kota S yang karenanya kita dipertemukan.
Terakhir, jawabanku atas ucapamu tempo hari, sudah kujawab setelah surat ini engkau buka. Iya, Mas, aku juga mencintaimu. Cinta ini akan kujaga setulus hati. Siapapun yang ingin merusaknya, ia akan mendapatkan balasan yang setimpal dari kekuatan cinta kita.
Aku mencintaimu, Gautama, sebesar cinta kehidupan yang telah membesarkanmu.
Sekian.
Wassalamu’alaikum wr wb,
Marina Sintawardoyo.
Membaca surat dari tulisan Marina, tak terasa air mata Gautama sudah membasahi secarik kertas yang dipegangnya. Setelahnya selesai membacanya, ia memasukkan kertas ke saku jaket dan berlari sekuat tenaga menuju RS. Adidaya. Tanpa menghiraukan tean-temannya. Melihat tingkah Gautama, keempat kawannya pun mengikutinya. Semua berlari di tengah Romi & The Jahats sedang menyanyikan lagu “Pena Bertinta Api”. Gautama menabraki semua orang yang berlintas di depannya, seperti ia tidak melihat orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Di pikirannya hanya ada Marina, di matanya hanya ada senyum Marina. Lukisannya sedang tidak karuan, tak menentu dan penuh dengan tinta hitam. Semua menjadi gelap seperti di lorong yang penuh dengan bayangan raut wajah Marina yang pucat.
Sesampainya di RS. Adidaya, Gautama langsung mencari kamar Marina yang sudah ditulisnya di pojokan surat tadi. Akhirnya, ia menemukan juga kamar Marina kekasihnya. Berdebar kencang denyut di dalam dadanya, seakan sedang dikejar-kejar anjing pelacak milik aparat. Jarak antara RS. Adidaya dan alun-alun kota S kurang lebih ditempuh selama lima belas menit. Semua orang yang ada di rumah sakit itu menatapnya dengan wajah curiga, karena penampilan lima anak tersebut. Bahkan, ada ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya bergegas untuk masuk ke kamar dan berkata, “Ayo, nak, kembali ke kamar. Ada berandalan di sini. Aduh! Amit-amit nanti kamu besar seperti mereka”.
Tanpa menghiraukan di sekelilingnya, Gautama masuk menemui Marina yang sedang terbaring lemah dengan bantuan oksigen. Ternyata ia mempunyai penyakiy kanker otak yang sudah didiagnosis oleh dokter, umurnya tidak akan lama lagi. Semua menangis, Gautama, Jeje, Purba, Hannah dan Sobirin. Tanpa kata-kata, Gautama memegang erat tangan Marina. Segala doa dipanjatkan oleh Sobirin dan di-aamiini oleh kawan-kawwannya. Yang bisa berdoa memang hanya Sobirin, karena ia pernah mengenyam ilmu di pesantren.
Tak lama kemudian, Marina mengatakan sesuatu pada Gautama.
“Mas, terima kasih atas semua peranmu. Engkau adalah malaikat. Bawalah aku ke tempat yang abadi, peluklah aku di sana tanpa melepaskannya. Aku tahu, Mas, engkau melukis kisah kita di dalam hatimu. Aku mengetahuinya sejak pertama kali kita ketemu. Relakan aku pergi, Mas. Aku sudah tenang, karena aku bisa membalas cintamu yang jujur dan tulus. Aku akan membawanya, aku akan mengenangnya dan akan aku abadikan di dalam hatiku,” dengan suara terengah-engah.
Gautama hanya mengelus-elus tangan mungil Marina, tangisnya semakin menjadi-jadi. Secara mengaketkan, Marina sesak nafas. Semua dibuat bingung, Gautama berteriak dan berlari mencari dokter. “Dokter! Dok! Marina, Dok!”.
Saat dokter sampai di pintu kamar, belum memasuki kamar, Marina sudah berhenti kejang-kejang. Ia lemas dan tanpa bergerak. Dokter segera menghampiri Marina, mengecek keadaan Marina. Dengan wajah kalah, dokter meletakkan tangan Marina. Menundukkan kepalanya ke bawah dan berkata kepada Gautama.
“Mas, Marina sudah berjalan ke surga. Relakan dia, Mas. Saya selalu mendengar kata-katanya menyebut nama, Mas. Semoga Mas Gautama diberi kesabaran atas kepergian Marina,” pungkas dokter.
Gautama menghampiri tubuh Marina, semua menangis tak karuan dan dokter pergi meninggalkan kamar. Hal itu menusuk hati Gautama. Perempuan yang memberi warna lukisannya, kini sudah pergi. Tidak ada senyumannya lagi, tidak ada keanggunannya lagi dan kehidupan terasa gelap kembali. Semua terasa kosong, hampa dan haru. Tiba-tiba, langit mendung dan meneteskan air matanya untuk Marina. Gemuruh air hujan mengiringi kepergian Marina seraya mendoakannya untuk bertemu Tuhan.
“Semesta mendoakanmu, semesta mengikhlaskanmu, langit dan bumi sedang berduka, kekasih,” gumam Gautama.
“Marina, kekasihku, selamat jalan dan sampai jumpa di kehidupan abadi,” pungkas Gautama.
Gautama tertidur di samping tubuh Marina, semua menangis tersedu-sedu. Kepala menunduk haru, mengikhlaskan kepergian Marina. Hujan lebat dan gemuruhnya berkali-kali terdengar seperti sedang berkata, “Selamat jalan, Marina”.
Meski Marina telah pergi, Gautama harus melanjutkan kehidupannya tanpa Marina di sampingnya. Gautama tetap melukiskan kisah cintanya. Kisah cinta yang singkat, namun berkesan bagi Gautama.
“Marina tidak pergi, ia hanya pulang. Lukisannya tetap abadi di dalam hatiku. Lukisan-lukisan ini adalah karyaku untukmu, Marina. Akan segera kukirim lukisan ini ke sana. Tunggu, Marina, tunggu aku,” pungkas Gautama dengan penuh harap.
Lukisan di dalam hati Gautama tidak pernah terwujud nyata, ia hanya ada di dalam hati setiap manusia yang menyayangi dan mencintai Marina. Lukisan itu dibuat oleh Gautama untuk selalu mengabadikan senyum, keluguan, keanggunan dan kebaikan Marina di dunia. Sampai sekarang, lukisan itu tetap tersimpan rapi di hati Gautama. Ia bukan pelukis, ia hanya manusia yang ingin mengabadikan kisah cinta bersama kekasihnya. Semua orang adalah Gautama, semua orang adalah Marina. Setiap orang berhak mencintai dan dicintai. Gautama dan Marina adalah keabadian, lukisan yang abadi.[]
Penulis kisah Gautama dan Marina: MD
Posting Komentar