BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Mengingat Kembali, 97 Tahun Wafatnya Haji Misbach


wafatnya-haji-misbach

Pena Laut
- Jauh sebelum Gustavo Gutierrez menggaungkan Teologi Pembebasan di Amerika Latin pada tahun 70-an, lebih dari setengah abad sebelumnya di Indonesia telah muncul sosok yang mengobarkan semangat yang sama bernama Haji Mohammad Misbach.

Haji Misbach, begitulah orang menyebutnya. Seorang yang dalam kesehariannya bukan hanya bekerja sebagai pedagang batik di Surakarta, namun juga sebagai propagandis ulung Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Sarekat Rakyat pimpinan Semaoen.

Haji Misbach dikenal sebagai muslim yang taat dan mampu menyampaikan dalil-dalil agama secara sederhana kepada masyarakat.

Perannya sebagai propagandis sangat diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Belanda karena lewat tulisan-tulisannya yang berani dan terkenal lantang mampu menciptakan gelombang pemogokan buruh secara besar-besaran di Surakarta.

Kisah tentang Haji Misbach ini dijelaskan secara detail oleh peneliti asing berkebangsaan Jepang bernama Takashi Shiraishi dalam disertasinya di Cornell University pada tahun 1986 berjudul, “Islam and Communism: an Illumination of The People’s Movement in Java, 1912-1926”.

Kemudian pada 1990 diterbitkan menjadi buku dengan judul An Age in Motion, Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Lalu diterjemahkan oleh Hilmar Farid ke dalam Bahasa Indonesia dan menjadi buku yang diterbitkan pada 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.

Awal mula perkenalannya dengan Sang Haji Merah adalah ketika ia mendapati artikel Haji Mohammad Misbach dalam Surat Kabar Medan Moeslimin berjudul “Islamisme dan Komunisme” yang ia temukan di Perpustakaan Nasional Jakarta pada bulan Desember 1977.

Sosok Haji Misbach memang tergolong unik. Di masa yang disebut oleh Takashi sebagai Zaman Bergerak, seorang yang bergelar Haji adalah golongan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Golongan ini juga disebut sebagai “Kaum Putihan”.

Dalam pandangan Takashi, Haji Misbach tergolong sosok yang "membingungkan" karena selain menjadi seorang yang paham akan ilmu agama, tetapi memiliki peran penting dalam pengorganisasian gerakan rakyat lewat kerja - kerja propagandanya di organisasi sayap kiri.

Lewat dua surat kabar yang diterbitkannya, yakni Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917) Haji Misbach berseru-seru kepada rakyat khususnya kaum muslimin, untuk menolak tunduk terhadap pemerintah Kolonial Belanda.

Terutama pada bagian bagaimana ia memaparkan tentang kapitalisme dan imperialisme yang menindas. Dalam sebuah tulisan yang dimuat Medan Moeslimin, Misbach menjelaskan:

“Kaum modal memeras kaum buruhnya tidak memandang bangsa dan agama dan tidak ambil pusing aturan - aturan agama yang mesti dijalani orang-orang yang beragama – kaum-kaum buruh di mana-mana saja selain mereka sudah mengorbankan tenaganya, pikirannya–pun mengorbankan agamanya dirusak juga oleh kapitalisme”

“Zaman kapitalisme uang menjadi pokok hidup manusia, dari itu maka orang-orang kebanyakan menjadi tercintanya kepada uang sehingga boleh disebut cinta buta, maka yang dibutakan oleh mata uang sampai melupakan kemanusiaannya, badan dan jiwanya diserahkan ke uang saja…”

“Memang! Kita tahu bahwa kapitalisme itu cerdik, beberapa daya upaya dengan teori dan taktik yang luas dan halus sehingga bisa memutar masing-masing agama menjadi perkakasnya”.

Bagaimana Haji Misbah bisa menjadi komunis ?


Tidak ada sumber akurat yang menjelaskan kapan Haji Misbah mulai tertarik dengan gagasan kaum komunis. Namun diruntut dari perjalanan karir organisasi Haji Misbah yang dinamis bisa kita ketahui bagaimana sang Haji Merah ini bergumul dengan komunisme.

Seperti yang dijelaskan oleh Takashi Shiraishi, Haji Misbach bergabung dalam organisasi IJB (Inlandsche Journalisten Bond), sebuah organisasi jurnalis yang mewadahi para pemimpin pergerakan tanpa basis organisasi yang diinisiasi oleh Marco Kartodikromo pada tahun 1914 di Surakarta.

Dan sebelumnya pada awal kemunculan SI (Sarekat Islam tahun 1912, Misbach memang sempat menjadi anggota di Surakarta, namun tak begitu aktif dan tidak memegang jabatan apapun.

Pada tahun-tahun selanjutnya, Haji Misbach juga bergabung dengan organisasi Insulinde, sebuah organisasi dengan aspirasi nasionalis “Hindia untuk Hindia”, yang identik dengan kelompok Indo (Eurasia), Tionghoa peranakan, serta priyayi profesional berpendidikan Barat, namun di Surakarta berhasil mengubah dirinya menjadi perkumpulan bumiputra yang besar.

Secara resmi, ia bergabung dengan Insulinde pada Maret 1918. Keaktifannya inilah yang kemudian mengantarkannya pada pergerakan yang “sebenarnya”, dan membawanya berkhidmat di jalur yang jarang digeluti kaum haji pada masa itu: isu ekonomi politik, penindasan struktural, dan isu perburuhan serta agraria.

Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Sarekat Islam pada tahun 1922 akibat perbedaan pandangan dan arah gerakan serta penerapan disiplin organisasi oleh golongan Islam konservatif, memicu terbelahnya Sarekat Islam menjadi dua kubu, antara Sarekat Islam yang konservatif dipimpin oleh Cokroaminoto, Agus Salim, dan Abdoel Moeis, dengan Sarekat Rakyat yang menginginkan agar gerakan lebih radikal dalam menentang pemerintah kolonial yang dipelopori oleh Semaun, Alimin, Darsono, dan Tan Malaka. Dalam perpecahan ini akhirnya Haji Misbach memilih untuk menjadi propagandis Sarekat Rakyat.

Tugasnya sebagai propagandis memang terkenal ulung dan berani. Di saat komunisme dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai penyebar ajaran atheis, Haji Misbach justru memiliki pandangan lain.

Dalam sebuah tulisannya yang berkaitan dengan komunisme ia justru memberikan pujiannya kepada Karl Marx, serta menukil salah satu hadist dalam kitab Jami'us Shaghir karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi, yang pemaparannya dikutip oleh Takashi Shiraishi sebagai berikut:

“–Kami sebagai orang Islam wajiblah dari jauh membuka topi buat tanda memberi terima kasih kepada Karl Marx cs yang mereka itu menjadi penunjuk jalan sebagaimana kita orang akan melakukan perintah Allah.

Meskipun K. Marx itu dikatakan oleh kebanyakan orang suatu orang kafir, tetapi toh mereka itu jang menjadi sebabnya kami bisa mengetahui tentang rintangan agama kita yang terbesar, rintangan mana yang harus kita melawannya dengan sekuat-kuatnya, jalah peraturan kapitalisme yang mengisap kepada darah dan peluh kita rakyat yang terbanyak.

–Begitu juga kami mendapat suatu hadis di dalam kitab Djami’usoghir demikian “innalloha yu’ayyidul Islama bi Rijalin ma hum min ahlih”.

–Artinya Tuhan Allah akan meneguhkan agama Islam, lantaran dari orang yang bukan Islam”. Jadi apabila K. Marx cs itu bukan orang Islam, tetapi kami yakin bahwa perlawanan yang diatur oleh K. Marx cs itu, tentu akan menyebabkan gampangnya kita melakukan perintah untuk menjalankan agama kita”

Sikap dan gagasan Haji Misbah yang tertuang dalam tulisan-tulisanya itulah yang membuat dia pada akhirnya diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Manokwari pada tahun 1924.

Karena berkat propagandanya berhasil dianggap sebagai salah satu dalang dari kerusuhan yang terjadi pada Oktober 1923. Per tanggal 18 Juli 1924, ia memulai perjalanan pengasingan ke Manokwari dari pelabuhan Surabaya.

Pada 24 Mei 1926, tepat hari ini 97 tahun yang lalu, Haji Misbach menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengidap penyakit malaria, menyusul istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC.

Ia kemudian dimakamkan di pemakaman Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang.

Sebagai seorang mantan anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang, kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi.

Epilog


Haji Misbach memang bukanlah sosok yang namanya seharum Soekarno ataupun Sepopuler Tan Malaka, karena Haji Misbach adalah tokoh yang menjadi korban dari suatu proses "Penghapusan Sejarah" atau " Historical Erasure" (meminjam istilah Ben Anderson) oleh Rezim Soeharto dan terus dipelihara hingga hari ini.

Namun gagasan dan perjuangannya yang lantang dalam melawan kapitalisme dan imperialisme Kolonial Belanda patut untuk dikenang dan dijadikan ibrah bagi kaum Agamawan hari ini.

Di tengah isu Kebangkitan Komunisme yang terus dipelihara oleh penguasa di setiap rezim, dan sikap anti terhadap komunis yang telah mengakar kuat dalam setiap pribadi yang beragama di negeri ini, kisah Haji Misbach patut untuk kita renungkan kembali.

Gagasan Haji Misbach memang tergolong unik dan langka pada masanya, karena memadupadankan gagasan Islam dan Komunisme yang nyaris puluhan tahun berikutnya dianggap sebagai paham yang saling bertolak belakang, bagai air dan minyak.

Namun, penulis memiliki optimisme, bahwa di masa sekarang kisah Haji Misbach menjadi salah satu sumber sejarah yang relevan untuk dipelajari, sebagai pelajaran untuk melawan dominasi agama sebagai alat legitimasi kekuasaan, eksploitasi sumber daya alam, dan sebagai kendaraan para politikus di masa pemilu.

Dikutip dari: https://islambergerak.com/2016/05/mengenang-kembali-haji-misbach/#_ftnref19 (dengan beberapa tambahan dan perubahan).

Penulis: Mohammad Hasan Basri
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak