BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Hegemoni Generasi Tua

Hegemoni Generasi Tua

Pena Laut - “Apakah artinya hidup sebagai angkatan muda yang selalu dibayangi oleh kebanggaan generasi tua tentang keagungan hasil yang mereka capai, yaitu kesatuan Jerman? Apakah generasi sesudah itu hanya pengekor, epigon yang harus menerima warisan? “(Pidato Max Weber)

Dalam nalar struktur naratif historis, tercatat bahwa mereka (NU dan PKI) memang berhadap-hadapan secara langsung, baik itu secara ideologis maupun secara fisik. Menurut Greg Fealy dengan mengutip pernyataan Martin van Bruinessen yang menyatakan bahwa NU dan PKI terdapat pertentangan kultural yang mendalam. Bahkan sejak didirikannya NU di tahun 1926, NU telah menyuarakan perang besar terhadap komunisme. Secara ideologis, antara NU dan PKI ketika itu saling bertolak belakang satu sama lain. perbedaan ideologi ini berlanjut sampai pada bentrokan fisik antara Banser sebagai panjang tangan NU dengan pemuda PKI kala itu. NU yang merupakan warisan ulama’ senantiasa berlandaskan pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan dan keindonesiaan, sedangkan PKI (beberapa) berlandaskan pada marxisme-leninisme yang berorientasi kepada nilai materialisme dan menafikan keberadaan roh absolut.

Memang sejarah kelam atas polemik NU dan PKI sangat sukar untuk dilupakan, memoar dari tragedi terbunuhnya para kyai, santri dan pemberontakan PKI atas Negara menjadikan alasan kuat untuk benar-benar menjadikan PKI sebagai hantu dan musuh bersama, Pada tahun 1948, PKI melakukan pemberontakan di Madiun dan sekitarnya, ribuan santri dan ulama dibunuh, serta beberapa pesantren dan masjid turut dibakar. Di tahun 1948 pula, kyai-kyai NU dalam sebuah catatan sejarah telah menjadi korban atas penculikan secara paksa oleh aktivis PKI di Madiun. Ketegangan ini berlanjut di tahun 1965 sejak pecahnya aksi sepihak PKI untuk melakukan kudeta, di akar rumput pun ketegangan-ketegangan ini juga mulai muncul. Antara satu warga dengan warga lain tidak saling percaya dan ketidaktenangan pun muncul di tengah-tengah masyarakat. Para anggota banser melakukan pengejaran kepada para aktivis PKI kala itu. Di daerah yang berbeda, pada tahun 1949, PKI melakukan pembakaran Masjid Agung Trenggalek, imam dan takmir masjid beserta jama’ah masjid tersebut disiksa.

Data lain juga mengungkap bahwa PKI pernah menyerbu markas Brimob Jakarta Utara dan gedung Pendidikan Nasional Bogor di tahun 1951, 80 orang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Tidak berhenti disitu, kejadian yang juga menyayat adalah ketika PKI menyerbu Masjid Agung Kembangkuning Surabaya pada tahun 1962, Al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya pada masjid peninggalan Sunan Ampel tersebut diinjak-injak dan dibakar. Di tahun 1963 dengan aktor yang sama, ia melakukan penghinaan terhadap agama dengan mementaskan sebuah pertunjukan ludruk serta ketoprak dengan serangkaian naskah atas matinya Tuhan, karena pertunjukkan dinilai diskriminatif bagi kalangan muda NU, perkelahian antara pemuda NU dan PKI pun tidak terelakkan . Setahun kemudian, di tempat yang sama, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah rakyat dan pemerintah, dari kejadian itu tidak sedikit pemuda NU yang menjadi korban atas kesewenang-wenangan PKI dalam mengambil sebuah tindakan.

Padahal jika boleh care terhadap wacana sejarah resmi yang nasionalistis, lebih tepatnya nasionalisme anti-kolonial, status tokoh PKI dan beberapa tokoh kyai memiliki peran yang sama, peran yang berdalil pada siapa pun yang pernah berani melawan atau memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, apapun motifnya, dengan mudah dilabeli sebagai pahlawan. Seperti yang dilakukan oleh beberapa kyai, nampaknya PKI hanya salah dalam memilih nasib ke depan, dari titik periode yang di jelaskan, kiprah kyai dan tokoh PKI pada masa itu pernah menemukan titik lawan yang sama, yakni kolonialisme. Jiwa anti penjajah yang secara naluriah dimiliki oleh seluruh masyarakat di indonesia, tidak pandang ideologi, aliran, agama, budaya. Indonesia adalah entitas yang harga mati.

Lantas kenapa memori kelam selalu dikaitkan terhadap jahatnya PKI saja, apakah (power) orde baru telah menggerus (knowledge) paham holistik mengenai PKI yang juga pernah ikut andil dalam upaya memerdekakan indonesia dari kolonial, apakah dalil dari beberapa tetua NU yang senantiasa mengumandangkan kebencian terhadap (bughat) PKI itu dijamin murni tanpa kepentingan. Capek banget ya ngomongin PKI, apalagi setiap tahun dirayakan tuh kejelekannya, mulai dari rasan-rasan massal, tontonan yang gitu-gitu aja, sampek ada juga tulisan yang gayanya seakan paling otentik jelasin prahara masa lalu tersebut. Sebagai realitas sosial yang senantiasa mengundang kontroversi, isu PKI akan senantiasa menarik bagi media massa. Oleh karena itu, ketika isu PKI menguat karena berbagai faktor, media tidak pernah lepas untuk menyebarkan isu tersebut. Baik media lokal maupun nasional, cetak maupun elektronik dan tidak pernah luput dalam memberitakan isu PKI untuk muncul ke permukaan.

Tentu saja selayaknya media dalam mengkonstruksikan berita, realitas sosial tentang PKI itu pun muncul dalam ‘versinya’ yang beragam. Ini karena realitas wacana merupakan realitas hasil konstruksi, dan sebagai konstruksi, realitas keberadaannya tidak pernah netral. Ada nilai, ideologi, dan bahkan juga kepentingan yang menyelimuti proses tersebut, sehingga setiap wacana mempunyai ‘versi’ konstruksi realitasnya sendiri. Maksudnya adalah bahwa kebenaran absolut mengenai sebuah wacana bisa disebut sebagai hal yang nihil, dan jalan alternatif untuk mendominasi sebuah wacana adalah menjadi penguasa (pemenang). Daripada hanya menjadi konsumerisme langganan produk orde baru (W.F. Wertheim), mari merubah sudut pandang untuk menjadi lingkar pandang, bagaimana kedewasaan presiden KH Abdurrahman Wahid dalam menyikapi polemik dendam kesumat itu. Dengan humor bergaya reformis, Gus Dur melalui kebijakannya tentang pencabutan TAP MPR No 25/1966. Meskipun kebijakannya dinilai kontroversial dan terkesan membela PKI oleh berbagai pihak, tapi Gus Dur tetap meyakini bahwa rencananya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Ironis bukan, upaya rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan pun banyak yang menolak, sebegitu misteri kah wacana PKI itu? Meminjam analisis wacana Van Dijk dalam critical language, secara literal wacana tidak boleh dikonsumsi secara mentah. Begitupun dengan Habermas, sejarah atau bahkan cerita pendahulu yang sekarang lagi bertransformasi sebagai alat komunikasi lintas periode harusnya ditinjau dari: klaim validitas, argumentasi, diskursus dan kritik hingga berakhir pada ruang public dan pada titik ruang public inilah, sebuah kemenangan final dari sebuah wacana. Loh ini beneran, gausah takut dosa atas ketidak percayanya kita kalau ideologi PKI itu jahat secara mandiri, banyak relasi labirin kok yang membuat konstruksi nalar kita dipaksa untuk memvonis bahwa PKI jahat dalam kacamata publik.

Untuk fenomena kejahatan PKI yang kemarin-kemarin menyita ruang publik, khususnya untuk pemuda NU, perlu diingat bahwa ruang public adalah konsep yang diperkenalkan Habermas. Menurutnya, ruang publik adalah suatu diskursus yang memungkinkan sebuah perdebatan dan mengemukaan pendapat terjadi dalam kondisi kesetaraan. Habermas menggambarkan bahwa ruang ini meliputi infrastruktur nyata dan norma-norma yang mendukung serta memungkinkan kritik-kritik politik diperbincangkan. Di mana panduannya adalah argumentasi rasional dan diskusi kritis yang menjadikan kekuatan argumen menjadi lebih penting dibandingkan identitas bagaimana wacana itu lahir. Jadi legitimate of power dari siapapun yang memiliki kepentingan wacana tersebut akan sah jika masih ada kritik konstruktif dari pihak lain, dinamika inilah yang akan membuat wacana semakin indah dan elegan, jika mau ngomongin ideologi, jangan sesekali melibatkan doktrinasi, karena melawan ideologi dengan doktrinasi akan memunculkan diksi (Hantu) yang terkesan memaksakan.

Penulis : Mahasin Haikal Amanullah, Founder Mukadimah Institute
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak