Pena Laut - “Mas, mas capek nggak?”. Tanyaku pada suami penuh kehati-hatian. Aku tidak ingin mengganggu waktu istirahat suamiku, karena aku tahu aktivitas beliau sangatlah padat.
Pagi hari jam 05.00 buka praktek di rumah sampai jam 07.00 setelah itu berangkat ke rumah sakit, dan pulang sore istirahat sebentar, buka praktek lagi sampai magrib.
Baru bisa istirahat ba’da magrib, belum jika ada jadwal mengisi bimbingan tahsin dan tahfidz di dekat rumah, seperti malam ini suamiku baru bisa istirahat jam 20.30 karena ada jadwal membimbing tahsin dan tahfidz.
“kalau ditanya capek, ya capeklah”. Jawab suamiku sambil tersenyum. Setelah itu dia bangkit dari baringnya dan duduk bersender di tempat tidur.
“memangnya ada apa?”. Tanyanya kemudian sambil menarik tanganku dan menciumnya. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.
“mmmm saya boleh nanya sesuatu ndak?” tanyaku penuh ragu, sambil kutatap wajah lelah suamiku.
“kamu ini kebiasaan. Aku ini kan suamimu. Jadi, janganlah sungkan jika ada apa-apa. Mosok sudah satu bulan nikah masih malu-malu seperti baru menikah tadi siang saja.” Katanya lalu menariku hingga kepalaku rebah di dadanya.
“sebelumnya saya minta maaf nggeh mas, tadi sore saya beres-beres kamar kita ini. Tujuan saya sih biar kamar kita terlihat bersih dan rapi sehingga kita merasa nyaman menempati kamar ini.
Karena saya melihat ada beberapa barang atau pakaian yang tak terpakai dilemari, jadi saya bongkar lemari untuk dirapikan. Yang tak terpakai saya taruh dikardus sedangkan yang masih dipakai saya tata di lemari”.
“ya tidak apa-apa. Kan kamu wes jadi istriku, maka kamu juga mempunyai hak atas semua yang ada di kamar ini.” Kata suamiku memotong pembicaraanku.
“bukan, bukan itu maksud saya mas.” Kataku kemudian
“lantas ?” Tanya suamiku seperti menggantung dan bingung. Aku lalu berdiri menuju meja rias dan mengambil map yang tadi aku letakan disana, map itu lalu kusodorkan ke suamiku.
“saat bongkar lemari saya menemukan ini, mohon maaf karena penasaran saya lancang buka mapnya. Ternyata didalamnya berisi pensil, kartu pendaftaran disebuah ponpes dan beberapa berkas pendaftaran di ponpes”. Jelasku pada suamiku.
“Oooo, ini!” kata suamiku singkat sambil membuka map yang kusodorkan tadi.
“namun, anehnya pada pensil ini bukan nama mas, tapi nama orang lain. Sepertinya nama seorang perempuan.” Sambil menunjukan pensil yang kumaksud.
Suamiku diam beberapa saat. Sepertinya dia mengingat masa lalunya. Ternyata suamiku adalah alumni pondok pesantren yang sama denganku, entah aku yang terlalu kuper atau bagaimana kok bisa-bisanya aku tidak mengenal suamiku padahal kami seangkatan, kami sekolah ditempat yang sama.
Ketika aku buka-buka file suamiku, ternyata suamiku termasuk santri yang berprestasi. Dia juga sering mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai kompetisi dan selalu menang, dia juga aktif dibeberapa ekskul dan organisasi disekolah.
Tapi, lagi-lagi kenpa aku tak mengenalnya, betapa kupernya aku saat itu. Selain itu, ternyata suamiku sudah menghafal 30 juz secara mutqin.
Lamat-lamat aku jadi ingat, ternyata dulu yang dijadikan obrolan santriwati itu dia, dia yang sekarang menjadi suamiku.
Beruntungnya aku, dulu aku yang cuek dan tak mau tau tentangnya, justru aku yang kini menjadi pendampingnya. Aku senyum-senyum sendiri.
“hey, kok malah ngelamun sama senyum-senyum sendiri!” kata suamiku sambil menyodok lenganku hingga aku terkejut dibuatnya.
“ihh nggak kok, enggak melamun”. Kataku salah tingkah “saya senyum karena liat mas bingung, gemesin, ayo dong mas dijelasin itu siapa?, jangan biarkan istrimu ini dibakar cemburu”. Kataku merajuk sambil merangkul lengannya kemudian meletakkan kepalaku dibahunya.
“Harus dari mana mas menjelaskanya” kata suamiku lantas diam beberapa saat, “jujur, jika melihat pensil ini, aku merasa bersalah”.
“memangnya kenapa?” tanyaku heran
“Dulu, saat tes masuk pondok, alat tulis mas ketinggalan dirumah, akhirnya mas laporan ke pengawas dan dibantu untuk menanyakan kepada peserta lain yang membawa alat tulis lebih dari satu.
Akhirnya aku dipinjami oleh seorang anak perempuan. Aku tidak tau siapa dia. Pada saat itu dia memakai jilbab hitam dan juga bermasker hitam.
Sebenarnya aku sudah menyampaikan kepada dia, jika sudah selesai duluan untuk menunggu diluar, aku akan kembalikan pensilnya.
Ternyata, dia tidak menungguku, dia langsung pergi entah kemana. Saat menunggu pengumuman dan nunggu bapak ibu ngurus administrasi pendaftaran aku mencoba mencarinya, tapi yo tetep ndak ketemu.
Karena bingung, jadi tetep tak simpan pensilnya, pada saat itu aku mikir nanti pasti ketemu tapi karena pada saat itu dia memakai masker dan aku tidak tau namanya, sampai aku lulus tetep saja tidak menemukanya”. Jelas suamiku
“Ooo, seperti itu ceritanya. Sampai sekarang masih merasa bersalah?. Kataku sambil menggodanya.
“ya iyalah, karena mas sudah berjanji untuk mengembalikan pensil itu”. Kata suamiku sambil mengehela nafas panjang.
“Coba deh amati sekali lagi. Dipensil itu sepertinya tersimpan sebuah nama”. Pintaku
“tidak ada!” jawab suamiku tegas
“Ada, coba diamati lagi”. Kataku lembut
Suamiku mengambil pensil dan mengamati dengan seksama. Dan ketika dia menemukan sebuah nama, wajahnya terlihat terkejut.
“Kenapa baru sekarang aku tahu jika di sini ada namanya, betapa bodohnya aku”. Rutuk suamiku.
“Coba sejak dulu aku menemukanya, pasti aku sudah mengembalikanya dan aku tidak dirundung rasa bersalah berkepnjangan”. Kata suamiku lirih sambil memegang pensil itu.
“Ya mungkin ini cara Tuhan menguji ketulusan hatimu, mas. Mas ada kemauan untuk mengembalikan atau tidak. Ya memang terlihat sepele, hanya sebuah pensil. Namun karena mas sudah janji mengembalikan, maka sudah menjadi keharusan bagi mas untuk mengembalikan sesuai janji mas”. Kataku sambil mengambil pensil dari tangan suamiku.
“Lantas, apa yang harus mas lakukan?’ Tanya suamiku sambil menatapku. “mas jadi tidak enak sama kamu, kamu pasti kepikiran yang macem-macem ya.”
“kalau berpikiran yang macam-macam, inshaAllah ndak mas. Saya percaya mas tidak akan berkhianat pada ikrar yang sudah mas ucapkan.” Jawabku sambil tersenyum. “coba deh mas perhatikan baik-baik. Siapa tahu, mas tahu empunya pensil itu,” pintaku
Suamiku mengambil pensil dariku dan membaca nama yang terpampang disana, sambil komat-kamit membaca sebuah nama itu berulang kali.
Dan yang terakhir agak keras “A-ni-sah”. Suamiku menatapku sambil berkaca-kaca. Akupun menganggukan kepala sambil mengangguk dan tersenyum “ya, Anisah itu saya mas, yang sekarang menjadi istrimu.” Kataku sambil terisak dalam peluknya.
Dalam hati aku bersyukur. Terimaksih Tuhan, engaku anugrahkan kepadaku suami yang hebat dengan caraMu.
Cerpenis: Anisah Hajir Dzahabiyah
Posting Komentar