BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Kekuasaan Itu Etape, Tapi Kok Pada Rebutan?

Kekuasaan Itu Etape, Tapi Kok Pada Rebutan?
Ilistrasi Oleh Wired.Com

Pena Laut - Ujian adalah sebuah fase di mana kita sebagai manusia harus melewatinya. Kata kuncinya, ujian adalah fase yang harus dilewati. Bukan justru ditinggalkan begitu saja. Dalam hidup, ujian adalah keniscayaan yang tidak dapat dibuang jauh-jauh, atau membunuhnya.

Kita tidak dapat melakukan hal itu. Biasanya, analogi yang disampaikan berupa ujian di sekolah. Bagaimana kita mau naik kelas, jika kita tidak mengikuti ujian. Soal nilai? Itu urusan kesekian. Yang krusial, sekali lagi, adalah ujian.

Banyak orang yang berusaha menghindari ujian, ada juga yang menerima ujian dengan sepenuh hati dan menyelesaikannya dengan semampunya, ada juga yang menghindar dari ujian yang diberikan. Itu sudah hukum alam, ada yang patuh juga harus ada yang menjadi pembangkang.

Secara tegas, Erich Fromm mengatakan bahwa jika semua manusia tunduk pada kepatuhan, niscaya dunia akan khatam. Kira-kira demikian terjemah bebasnya, itu bahasa saya. Tanpa adanya ketidakpatuhan, maka peradaban manusia akan "mandek".

Baru-baru ini, di beberapa media di Banyuwangi mengabarkan perihal partai politik yang mendaftarkan calon legislatif (caleg). Judul beritanya menarik (wajar, la wong wartawan), berangkat menuju Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada yang menggunakan kendaraan becak, kereta mini, naik kuda juga ada, bahkan hingga pakaiannya pun dijadikan judul. Misalnya, berangkat ke KPU pakai sarung, udeng dan lain sebagainya.

Yang membuat saya tertarik menanggapi berita yang tersebar adalah, pernyataan salah satu "petinggi" partai yang menyatakan, bahwa hal tersebut (naik becak) agar menjadi simbol bahwa partai kami bersama wong cilik.

Pokoknya begitu, saya sering lupa kalau yang berstatement itu politisi. Toh, kata-kata mereka bukan layaknya "nadzhoman" atau "tasrifan" yang harus dihafal ketika di pondok oleh para santri. Jadi, ya ndak saya hafalkan. Cukup dibaca, dipahami dan ditelaah.

 Membaca berita itu, saya menggaris bawahi pernyataan "partai kami bersama wong cilik". Memang, manusia itu tergolong "homo symbolicum". Tapi, ya ndak harus jadi paradigma juga.

Paradigmanya jangan ikut-ikutan simbolik/formalistik. Kalau hanya menaiki becak, apakah kemudian dapat memberikan legitimasi bahwa partai A, misalnya, memang benar-benar bersama wong cilik?

Secara definitif, kata "wong cilik" ini masih belum seratus persen saya pahami. Maksudnya apa? Apakah kaum proletar yang dimaksud Marxis, ataukah mustadl'afiin, atau bahkan kaum yang memang kalian anggap "cilik", karena kalian merasa "besar"? Kalau yang terakhir benar, waduh, bisa gawat!

Idealnya, partai politik atau caleg itu seyogyanya menjadi representasi masyarakat. Bukan representasi sekelumit partai belaka.

Jadi, goal oriented-nya rakyat. Nanti ada yang bilang, "kamu itu kader partai bukan, pengamat politik bukan, sudah berani menulis tentang politik tak berdasar! Sudahlah, banyak belajar, kamu masih belum baligh untuk ngomongin ini!".

Sambar geledhek! Merasa "si paling" saja yang ngomong semacam itu. Tolonglah, bacaannya jangan hanya The Art of War-nya Sun Tzu dan Il Principe-nya Machiavelli saja. Baca yang agak kontemporer sedikit, misalnya Pemikiran Politik Hannah Arendt, Michel Foucault, Ideologi Politik (Idpol) Andrew Heywood, Antonio Gramsci, dan pemikir politik lainnya. Ini bukan "mlete", ini hanya ungkapan warga sipil belaka. Jangan marah dulu, nanti ndak jadi, gila. Bisa merepotkan orang banyak.

Kembali ke pembahasan soal ujian. Ujian bisa bermacam-macam, salah satunya, dalam hal ini "kekuasaan". Orang yang diberi kuasa, sebenarnya ia diberi ujian dan tanggung jawab yang lebih, daripada yang lain.

Pun ketika menduduki kekuasaan, ujiannya tidak sedikit. Tidak diberi kekuasaan saja sudah banyak ujian, apalagi diberi kuasa. Bisa "mbrodol" rambut yang ada di sekujur tubuh manusia. Berarti, orang yang diberi kekuasaan itu sebenarnya diberi ujian.

Nah, menilik fenomena saat ini, manusia justru berbondong-bondong (acap kali memaksakan), agar diberi ujian yang berupa kekuasaan. Dulu, sewaktu sekolah, tatkala diberi tugas atau sedang ujian, boro-boro minta, kalau ditawari saja ogah!

Sekarang, justru kebalikannya. Mereka mengejar ujian. Padahal, ujian (kekuasaan) itu etape. Kok malah dikejar. Tuhan itu maha adil, jadi ndak usah rebutan "ujian". Tenang, sudah ada yang ngatur. Kalau memaksa, pertanyaannya, kalian mau mengatur alam semesta ini? Ndak kan?!

Anehnya lagi, sudah menyadari bahwa kekuasaan itu sifatnya temporal, sudah tahu juga bahwa banyak ujiannya, kok betah ya, berada di sana? Aneh! Katanya, hidup itu harus transformatif, kan? Kalau istilah Herakleitos, "tidak ada satu pun di alam semesta ini yang tetap maupun permanen". 

Sindrom "nyaleg" atau apa lah sebutannya, sudah merambah ke dalam dunia intelektual. Di kampus-kampus, pola pikir mahasiswa sudah bertendensi politik-pragmatis. Saat saya ngobrol dengan salah satu mahasiswa pascasarjana di Malang, di organisasi ekstra pun sudah berani melakukan "money politic". Edyan!, kata saya demikian.

Sebenarnya tidak salah juga mau nyaleg, mau nyapres, mau nyalon kades, mau apa pun terserah lah. Toh, itu termasuk hak. Kalau sudah berbicara "hak", selesai urusan. Pokoknya tidak mengganggu hak orang lain.

Tapi, tidak semuanya hal yang berbau "politik" seperti di atas adalah mutlak salah. Tidak. Saya tidak mengatakan demikian. Saya khusnudzan, yang namanya sudah terdaftar di KPU adalah orang-orang yang mempunyai kapasitas, kredibilitas dan intelektualitas yang cukup.

Partai kan juga harus selektif. Masak iya, hanya modal uang segudang, sudah bisa "nyaleg"? Saya rasa, dengan kesempitan pikiran saya, itu tidak akan terjadi. Mereka yang mendaftarkan diri juga bermaksud baik. Kalau tidak ada mereka, siapa yang memeriahkan "Pesta Demokrasi" tahun depan? 

Perihal becak, kuda dan kereta mini tadi, juga baik untuk perekonomian rakyat. Terutama yang mempunyai kendaraan tersebut. Ini kan juga baik.

Lebih baik lagi, kalau mereka juga disejahterakan. Seluruh masyarakat juga disejahterakan, jangan hanya segelintir orang saja. Semuanya. Mau baik jangan setengah-setengah. Setengah baik, berarti tidak sama sekali, kata Eduard Douwes Dekker. 

Oh iya, tulisan ini tidak mengandung unsur mendiskreditkan beberapa pihak. Jangan digoreng. Iya kalau matang, kalau gosong? Bisa tinggal di tempat sampah.

Oleh : MD

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak