BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Kader PMII “Nyangkut” di Organisasi Sayap Partai Politik, Bisa Mafsadah!

Kader PMII Ikut Partai Politik

Pena Laut - Secara historis, organisasi dijadikan lokomotif untuk melawan kolonialisme dan imperialisme oleh pribumi yang revolusioner. Sebagai contoh, kiprah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dalam melakukan advokasi masyarakat dan melawan kebijakan pemerintahan Hindia Belanda yang opresif , destruktif dan bertendensi eksploitatif.

Kisah dedikasi RM. Tirto Adhi Soerjo tersebut ditulis dengan “megah” oleh penulis yang bernama, Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru.

Dari historisitas di atas dapat memberikan pemahaman kepada kita, bahwa organisasi adalah elemen yang krusial dalam kehidupan bernegara. Kita semua juga sudah mengetahui, organisasi bukan hanya sebatas wadah “kumpul-kumpul” belaka, melainkan terdapat program kerja, konstitusi dan paradigma yang digunakan.

Setiap organisasi memiliki paradigma dan ideologi masing-masing, terutama organisasi ekstra seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bagaimana organisasi ini dibentuk dan arah geraknya seperti apa, tidak perlu dijelaskan di sini. Toh, ini bukan materi atau traktat perkuliahan yang cenderung rigor.

Setiap organisatoris, niscaya akan memahami bahwa di dalam organisasi terdapat dinamika yang harus diselesaikan. Sama seperti kehidupan kita saat ini, organisasi pun juga berdinamika. Jadi konklusinya, kalau enggan menghadapi dinamika dalam berorganisasi, ya tidak usah ikut organisasi. Gitu aja kok repot!

Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kabupaten Banyuwangi, saya berkewajiban untuk terus mengingatkan kepada “sahabat-sahabat”, jika terdapat kekurang tepatan—kalau tidak menyebutnya kesalahan—dalam menggerakkan roda organisasi. Pun jika saya melakukan kekeliruan, saya akan sangat berterima kasih jika diingatkan oleh sahabat-sahabat saya sesama organisasi, dalam hal ini PMII.

Fokus tulisan ini adalah, persoalan yang ada di tubuh PMII Banyuwangi, karena saya bukan termasuk kader “strukturalis” jadi yang saya bahas adalah persoalan “ruang tamu” (permukaan, Red.). Soal bagaimana urusan “dapur” itu bukan wilayah saya yang hanya sebagai kader “kulturalis”. Waduh! Kok pembahasannya jadi ke saya, toh siapa saya itu tidak penting bagi pembaca.

Desas-desus yang terdengar di telinga saya, dan hal ini sudah divalidasi oleh beberapa pihak, mengenai beberapa kader yang mengikuti organisasi sosial politik atau yang lebih familiar organisasi sayap partai politik.

Kok bisa begitu? Ya tidak tahu, kok tanya saya? Perihal bagaimana hal tersebut bisa terjadi, saya tidak tahu pasti, kelihatannya itu urusan “dapur”. Jadi, itu bukan wilayah saya. Biarkan itu menjadi “simpanan” sahabat-sahabat yang ada di struktur.

Menjelang tahun politik, berbagai Partai Politik (Parpol) sudah mulai “menghempaskan” sayapnya, terutama di kabupaten Banyuwangi. Organisasi dan komunitas sayap partai bermunculan dari beragam warna partai.

Pastinya, dominasi warna logo, baju hingga flayer-flayer kegiatannya juga “setali tiga uang” dengan ibu yang melahirkan mereka (partai). Masa iya, warna partai-nya merah, kemudian organisasi sayap partai-nya justru berwarna sage green, atau partai-nya berwarna hijau, warna organisasi sayap partainya coksu. Saya membayangkan hal tersebut, jadi semrawut. Ah sudahlah, mau pakai warna apa saja, yang penting halal!

Kembali ke pembahasan awal dimana kader PMII Banyuwangi yang menjadi anggota organisasi sayap partai. Hal ini sudah “menginjak-injak” Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang menjadi konstitusi oleh PMII.

Dalam hasil Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) tahun 2022 di Tulungagung, termaktub dalam Peraturan Organisasi (PO) tentang Keanggotaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia BAB III pasal 4 ayat 2 berbunyi:

“Setiap anggota dan kader tidak boleh merangkap menjadi anggota dan pengurus pada organisasi sosial politik dan sayap organisasi politik apapun.”

Melihat Peraturan Organisasi (PO) di atas, berarti siapapun yang menjadi anggota bahkan menjadi pengurus pada organisasi sayap partai, telah menyalahi konstitusi. Atau, istilah kerennya, inkonstitusional.

Kalau demikian, siapa yang berhak bertanggung jawab? Ya jelas, Pengurus Cabang PMII Banyuwangi, terkhusus Ketua Umum. Kenapa harus bersikap tegas? Kalau sampeyan tidak segera mengambil sikap yang tegas, takutnya hal serupa akan menjadi banal.

Bisa repot bukan kepalang. Bisa-bisa, semua “nyangkut” ke sayap-sayap organisasi politik manapun. Kalau nyangkut di sayap-nya Jibril, alhamdulillah. Lha, ini sayap organisasi politik, bisa mafsadah (rusak).

Perihal ikut organisasi sayap partai mana, tidak perlu disebutkan di sini. Kalau ditulis, bisa “diplintir-plintir”. Nanti langsung pakai dalil hukum UU ITE. Wah! Bisa pusing tujuh keliling. Kalau pembahasan seperti ini sering dijuluki pembahasan “pinggir jurang”, dalam hal ini, saya ikut madzhab Nietzschean saja. Jadi, saya menyebutnya “menari-nari di antara dua jurang”.

Kalau masih meragukan ke-PMII-an saya, anggap saja ini tulisan representatif. Representasinya siapa? Ya kader PMII. Kalau ditanya lagi, kader PMII yang mana? Kader PMII yang bersama-sama menjaga “marwah” organisasi.

Setelah ini, pasti akan ada yang bilang, “Wah, ada yang sok paling PMII nih!”. Ya sudah, biarkan saja. Toh, dalam hidup, kita tidak dapat menghindar dari “gonggongan” kucing. Eh, anjing maksudnya.

Tulisan ini dibuat khusus untuk Ketua Cabang PMII Banyuwangi beserta jajaran. Semoga dapat menjadi perhatian dan pertimbangan. Kalau tidak diperhatikan dan dipertimbangkan, ya sudah, biar saya dan sahabat-sahabat yang mengambil keputusan.

Keputusannya, kita menyelenggarakan tahlilan, agar Tuhan mengetuk pintu hati Ketua Cabang PMII Banyuwangi, Sahabat M. Farid Syahrudin Azzuhdi.

Penulis : Dendy Wahyu
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak