Pena Laut - Dunia remaja tidak lepas dari sebuah fase yang dinamakan Quarter Life Crisis. Setiap orang pasti pernah melewati fase tersebut. Kebingungan, keresahan, bahkan hampir memotong waktu agar lebih cepat menuju senjakala kematian. Begitulah yang dirasakan dua remaja bernama Rain dan Sam. Kedua remaja yang bersahabat mulai dari perut ibunya itu sedang berada di fase Quarter Life Crisis, katanya.
Mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama dan selalu menggantungkan cita-cita tersebut di tempat yang berbeda-beda. Si Rain, yang bernama lengkap Raindy Budiman Al-Kostar itu menggantungkan cita-citanya di langit-langit kamarnya. Sedangkan Sam, yang mempunyai nama panjang Sambudigdo Tantowardoyo Mangan Boto Limo Telas Sedoyo itu menggantungkan cita-cita di pikiran bawah sadarnya.
Konon katanya, kenapa nama Sambudigdo sangat panjang, karena ayahnya mempunyai keinginan agar Sam bisa mempunyai cakrawala pemikiran yang luas nan panjang. Sam yang mempunyai nama layaknya benang layang-layang itu sering diejek oleh teman-teman sekolah, katanya demikian: “Hei! Dulu bapakmu kasih nama biar ‘anu’-mu panjang dan besar, ya?”, ejekan itu disertai gerakan tubuh yang menggerakkan pantat mereka dengan maju-mundur. Sungguh kasihan si Sam, temannya hanya Rain yang suka jajan klepon itu.
Suatu hari, tepatnya hari Senin, selepas bel sekolah berbunyi tanda pulang, mereka berdua sudah janjian dengan Pak Sabar untuk bertemu di Toko Buku Sentosa. Pak Sabar adalah penjaga toko buku di persimpangan jalan kota Rambuni. Kota ini terkenal dengan pariwisata dan perekonomian rakyat yang sejahtera. Satu-satunya perempuan yang menjadi Bupati, hanya di kota ini. Sepulang sekolah, sebelum pulang ke rumah masing-masing, mereka pasti mampir dulu di Toko Buku Sentosa milik Pak Sabar itu.
“Sam, ayo ke toko Pak Sabar dulu. Seperti biasa, beli cilok dulu di seberang jalan,” kata Rain.
Dengan wajah yang ceria, Sam hanya mengangguk-angguk bagaikan rumput gajah yang berdzikir kepada Penciptanya. Berlarian tanpa kenal lelah, mereka berdua kejar-kejaran di sepanjang jalan menuju Toko Buku Sentosa. Tak lama, mereka beli cilok terlebih dahulu. Mereka memesan cilok tiga bungkus.
“Kang, beli ciloknya tiga, ya,” ujar Sam yang bernama panjang itu.
“Berapaan, Le?” tanya Kang Samidi yang jualan cilok sambil memilin-milin kumisnya.
Rain menghitung uangnya yang berjumlah lima ribu rupiah dan Sam mempunyai uang lima puluh ribu rupiah. Melihat uang Sam yang begitu banyak, mata Rain melongo tak karuan.
“Uang dari mana itu, Sam? Jangan bilang kamu nyuri,” tegas Rain dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya.
“Ya enggak lah, Rain, ini uang saku yang diberi oleh nenekku kemarin. Aku diberi uang segini, karena aku sudah membuatnya tertawa kemarin,” dengan dada yang membusung seperti tentara Nazi.
“Ehhemm...eheemm! Jadi beli berapa ini, Le? Kok jadi diskusi. Ini enaknya bagaimana, mau diskusi apa beli cilok?” Kang Samidi yang sudah menunggu sedari tadi.
“Eh, iya, Kang. Jadi tiga yang lima ribuan,” pungkas Sam.
Kang Samidi yang sedang membungkus cilok sembari bercerita tentang sejarah Indonesia yang sudah berulang kali mereka dengarkan. Pasti dia cerita sosok yang dikagumi itu. Dia pernah bercerita kepada Rain dan Sam, bahwa Kang Samidi ingin sekali menjadi Tirto Adhi Soerjo. Karena beliaulah, kumis Kang Samidi berubah dan terus dipilin setiap kali ada pelanggan.
“Ini, Le. Semuanya jadi lima belas ribu.”
Selepas Sam membayar, mereka bergegas menuju ke toko Pak Sabar. Waktu itu pukul 13.00 wib. Pak Sabar yang sangat gembira dengan kedatangan anak-anak ideologisnya itu, menyuruh Rain dan Sam duduk di bangku yang sering dibuat diskusi Pak Sabar dan koleganya.
“Alhamdulillah! Anak-anakku sudah datang rupanya. Sini-sini, duduk,” seraya mempersilahkan mereka berdua duduk di sofa istimewa milik Pak Sabar.
Penjaga Toko Buku Sentosa, Pak Sabar, pernah mengatakan kepada mereka, bahwa kursi itu dulu pernah diduduki oleh tokoh-tokoh besar. Mulai dari Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, tokoh Partai Komunis Indonesia DN Aidit, hingga para ulama’ seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Katanya, kedua ulama’ pendiri organisasi besar di Indonesia itu, ketika bertamu di toko Pak Sabar, beliau berdua berdialog seperti kakak dan adik. Bahkan, sampai tertawa terbahak-bahak.
“Ingat, kan. Di kursi yang kalian duduki itu, dulu tokoh besar juga mendudukinya,” Pak Sabar yang sedang makan cilok dari Rain dan Sam.
Sam yang sudah melahap habis ciloknya, kemudian bertanya kepada Pak Sabar tentang sebuah cita-cita. Rain dan Sam akhir-akhir ini merasa resah dengan cita-citanya.
“Pak Sabar, njenengan punya cita-cita apa tidak?” dengan nafas yang terengah-engah karena sambal yang kebanyakan.
“Iya, Pak. Kami ke sini juga mau bertanya tentang cita-cita,” tambah Rain dengan tidak sadar bahwa plastik ciloknya bocor bercucuran di celananya.
“Lho, Rain, bersihkan dulu celanamu. Sana pergi ke kamar mandi,” perintah penjaga toko yang sudah berusia senja itu.
Setelah habis memakan satu per satu cilok berukuran kelereng, Pak Sabar melihat Sam yang terus menatapnya tanpa berkedip, seperti laki-laki yang melihat perempuan berparas cantik dan santun lewat di depannya. Tanpa berkedip sedikitpun.
“Sam! Kamu lihat apa? Hati-hati nanti sayap Jibril menyambar kepalamu,” ujar Pak Sabar kepada Sambudigdo.
Rain kembali duduk di samping Sam yang sedari tadi memandangi Pak Sabar.
“Ada apa kamu, Sam? Kok ngelihatin Pak Sabar sampek segitunya,” kata Rain sekaligus menepuk pundak Sam.
“Eh, tidak kok. Jadi gimana, Pak, tentang cita-cita tadi?” tanya Sambudigdo.
Pak Sabar tidak langsung menjawab. Ia pergi ke dalam untuk mengambil rokok dan asbak yang ia pun lupa menaruhnya di mana. Setelah kurang lebih tujuh menit berlalu, Pak Sabar kembali di tempat duduk tokoh bangsa itu. Seperti biasa, rokok Pak Sabar tidak berubah, tetap saja Tali Jagat. Kata beliau, rokok kesukaannya itu membuatnya ingat akan persatuan. Persatuanlah yang membuat bangsa Indonesia merdeka.
“Kenapa kamu bertanya tentang cita-cita? Memangnya, cita-cita kalian apa?” sembari melihat satu per satu anak didiknya dengan mata yang tajam bagaikan busur panah yang tidak akan pernah lupa dengan sasarannya.
Rain dan Sam menjawab bergantian. Sebenarnya, mereka ragu untuk mengatakan cita-cia mereka. Karena, keduanya belum pernah membahas cita-cita mereka sendiri sebelumnya. Jadi, masih malu-malu buaya! (maaf bukan kucing, karena saat ini berjimbun sekali buaya yang ada di daratan).
“Kalau aku mempunyai cita-cita jadi penulis hebat,” kata Rain seraya mengangkat pulpen dan buku tulis.
Sambudigdo terkaget dengan jawaban Rain, karena ia tidak menyangka bahwa cita-citanya sama dengan cita-cita Sam.
“Loh, kok sama denganku, Rain. Kamu nyontek cita-citaku, ya? Wah! Bisa aku laporkan tindakanmu itu dengan tuduhan plagiarisme karya,” dengan mata tajam, tapi tidak setajam mulutnya.
“Sudah-sudah, jangan ribut,” kata Pak Sabar.
“Cita-cita itu hak kalian masing-masing. Mau sama, mau beda, mau bagaimanapun, ya hak masing-masing tho. Tidak ada yang meniru cita-citamu, Sam. Si Rain juga aku yakin, bahwa ia tidak tahu kalau cita-citamu juga demikian,” tambah Pak Sabar yang menasihati mereka berdua layaknya Psikolog.
“Lantas, bagaimana untuk meraih cita-cita kita sebagai penulis, Pak?” tanya Rain.
“Masak sih, kamu punya cita-cita menjadi penulis, tapi kamu tidak punya potensi dalam kepenulisan?” Sam yang terus memojokkan Rain.
“Sekarang gini, ya. Saya tanya kepada kalian, apakah kalian sudah tahu teknik jurnalistik, sudahkah membaca Pedoman Untuk Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), atau membaca karya penulis-penulis hebat?” sambaran dari Pak Sabar yang sedari tadi tak henti-hentinya membakar tembakau miliknya.
Mereka berdua berdiam mati gaya dengan pertanyaan Pak Sabar yang tidak tahu istilah itu dari mana asalnya dan siapa yang membuatnya. Rain yang belum pernah mendengar istilah itu, menggaruk-garuk dengkulnya dan Sam, ia justru memutar-mutar jarinya seperti pawang hujan yang viral tempo hari.
“Kalian saja tidak tahu potensi kalian sendiri, kok sudah berani mengatakan bahwa cita-cita kalian mau jadi penulis?” tanya Pak Sabar dengan pelan.
“Ya sudahlah, Pak. Kalau gitu cita-cita menjadi penulis, tidak jadi. Dirubah saja,” kata Rain dengan keputusasaan.
“Aku juga!” Sambudigdo.
Mendengar hal itu, Pak Sabar diam sejenak. Seperti memikirkan sesuatu yang sesuai dengan bahasa yang mereka mengerti. Tapi agak lama. setelah beberapa saat, Pak Sabar bangkit dari kubur, eh, bangkit dari tempat duduknya. Berdiri di depan Rain dan Sam.
“Kalian sudah bisa menulis, kan?” tanya Pak Sabar yang sebenarnya tidak sesabar namanya.
“Belum!” jawaban serentar Rain dan Sam.
“Kalian sudah bisa, kok.”
Kata-kata Pak Sabar, menurut mereka berdua, sulit dicerna maksudnya. Bukan tambah paham, justru tambah menggaruk-garuk dengkul, kepala, perut dan pantat. Segitu banyaknya yang digaruk. Maklum, mereka berdua suka memainkan gitar. Mungkin kesukaan bermain gitar itu yang membuat mereka suka menggaruk-garuk tubuhnya.
“Maksud saya, kalian semua berpotensi menjadi penulis yang hebat. Kalian semua sudah mahir menulis dan sudah mendapatkan hasil dari tulisan-tulisan kalian. Coba pikirkan dahulu perkataanku,” Pak Sabar yang penuh dengan teka-teki. Memang, dulu beliau pernah bercerita, bahwa beliau suka dengan manusia yang bernama Socrates. Lantas, hubungannya dengan Socrates apa? Untuk ini, pikirkan sendiri saja.
Sudah sepuluh menit berlalu, Rain dan Sam tidak henti-hentinya berpikir keras untuk mendapatkan teka-teki dari si filsuf Sabar itu. Tak lama kemudian, Sam dengan air muka yang bercucuran bagai air mata dewi hujan, menemukan jawaban dari teka-teki tersebut. Membususngkan dadanya sejenak, menyisir rambut kritingnya dengan jari-jemari dan membenahi kerah baju sekolahnya, ia berkata dengan mantap.
“Aku sudah tahu jawabannya. Ternyata, selama ini aku tidak sadar bahwa aku sering menulis,” jelas Sambudigdo dengan ‘kemakiannya’.
“Aku sering menulis sesuatu dengan rangkaian kata-kata yang kususun indah sekali. biasanya, rutin satu bulan sekali tulisanku kukirim ke ayahku yang ada di Perancis sana, agar aku dapat transferan setiap bulannya. Jadi, aku sebenarnya sudah menjadi penulis. Kalau kata Pak Sabar tadi, menjadi Jurnalis!” katanya dengan menepuk-nepuk dadanya yang membusung.
Tak mau kalah, Rain yang sudah berhenti menggaruk-garuk dengkulnya yang sudah berwarna merah seperti bendera Uni Soviet itu. Bedanya tidak ada logo berwarna kuning di pojoknya. Ia segera menjawab enigma yang dihidangkan oleh gurunya, Pak Sabar penjaga Toko Buku Sentosa.
“Aku juga. Aku setiap hari Rabu menulis di kertas minyak,” kata Raindy.
Mendengar jawaban dari Rain yang terkesan aneh itu, Pak Sabar dan Sam mengernyutkan dahi. Keheranan. “Kok ada orang menulis di kertas minyak, padahal kertas itu biasanya untuk membungkus makanan,” ucap bathin Pak Sabar.
“Tulisanku yang penuh alegori dan aforisme-aforisme itu aku tujukan kepada Santi. Perempuan yang berhidung pesek, bibirnya indah polll dan senyumannya itu, lho, waduh! Bikin geger seantero negeri. Setiap hari Rabu aku menulis surat untuknya. Karena aku suka dengannya, pikirku. Jadi, aku juga penulis dong!” kata Rain yang sedang membayangkan senyuman Santi anak Bapak Nur Kholik, yang juga suka rokok Tali Jagat seperti Pak Sabar. Entah kenapa, Tali Jagat sedang naik daun kayaknya.
Pak Sabar yang sedari tadi berusaha memahami jawaban anak-anak ideologisnya, lalu membuang rokoknya ke asbak yang sudah seperti piramida oligarki. Dia memang suka merokok. Kelihatannya, hidup tanpa rokok bagaikan hidup tanpa air mata. Hambar.
“Mendengar jawaban kalian berdua, aku berusaha menyusun kalimat yang sedang aku gambar di dalam kepalaku. Kalian berdua memang anak yang luar biasa. Sebenarnya, arah pembicaraanku tadi tidak ke sini, tapi apa boleh buat, kalian sudah membelokkannya. Toh, masih nyambung.”
“Menurut penulis yang pernah kutemui, namanya Jean Rose. Ia berkebangsaan Italia. Dia pernah mampir ke toko buku ini, karena melihat toko ini sepi sekali. Tidak ada pembeli maupun pembaca. Aku dan dia berdiskusi sangat lama. akhirnya, sebelum dia pulang dengan membeli beberapa buku bekas, ia berkata kepadaku bahwa setiap orang adalah penulis. Persis seperti apa yang dikatakan Pablo Picasso, bahwa setiap orang adalah seniman. Hanya beda konteks saja,” ujar Pak Sabar yang mengenang pertemuannya dengan Jean Rose.
Rain dan Sam terus mendengarkan kata demi kata Pak Sabar yang mereka kagumi sejak kelas satu SMA. Tanpa berkata-kata sedikitpun, mereka khidmat mendengarkan.
“Kita semua adalah penulis. Aku, kalian berdua, semua manusia. Tapi, seringkali manusia tidak menyadari akan hal ini. Peranti untuk kita gunakan untuk meraih cita-cita pun juga sudah lengkap. Namun, hantu-hantu pesimis terus mengikuti langkah-langkah kita. Kita harus melawannya. Kalian semua sudah menjadi penulis, tinggal bagaimana kalian mengasah kemampuan kalian itu. Jangankan penulis, kalian bisa jadi apapun yang kalian inginkan. Asalkan, kalian jangan pernah menyerah di tengah jalan. Ingat! Apa yang sudah kalian pilih, kalian wajib menanggung konsekuensi pilihan kalian. Jangan jadi anak-anak ‘cengeng’. Itu bukan karaktek anak didikku. Paham?!” tegas Pak Sabar.
Mereka berdua hanya mengangguk segan. Kemudian, Rain dengan berani menanyakan satu hal kepada Pak Sabar dengan nada yang sangat pelan, karena menghormati gurunya yang sedang berapi-api seperti Bapak Proklamator, Bung Karno.
“Cita-cita bapak sewaktu seumuran kita dulu, apa, Pak?” tanya Rain dengan tangan penuh keringat.
Pak Sabar menoleh ke Rain seraya menghadapkan muka ke langit-langit ruang tamunya. Melihat buku-buku yang berserakan di rak.
“Kau tahu, kenapa aku sekarang menjadi penjaga toko buku?” tanya Pak Sabar kepada kedua anak ideologisnya.
“Karena njenengan ingin kaya,” jawab Sambudigdo.
“Bocah-bocah ndalboh! Kalian ini main kemari sudah hampir tiga tahun, masih saja tumpul!” Pak Sabar dengan nada tinggi. Tapi tidak setinggi tugu Monas.
Rain dan Sam semakin meringkuk di hadapan Pak Sabar si penjaga Toko Buku Sentosa yang sudah berdiri sejak Orde Baru. Sesekali Sam memberanikan diri menatap wajah Pak Sabar dengan penuh segan dan bergumam: “Ya Tuhan, semoga kelak aku menjadi manusia seperti makhluk di depanku ini.”
“Buku-buku yang ada di toko ini, sebagian besar adalah buku koleksiku dulu. Sewaktu aku menempuh kuliah di salah satu universitas yang ada di Rusia. Singkat cerita, aku diminta pulang oleh Ibuku, karena ayahku sakit keras. Sehingga, pendidikanku tidak kuselesaikan kala itu. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, aku bekerja sebagai penerjemah buku-buku bahasa Rusia dan Inggris. Dan, dulu aku juga mempunyai cita-cita seperti kalian. Ya, menjadi penulis. Tapi, dengan keterbatasan tenaga dan waktu, akhirnya aku memilih untuk menjadi penjaga buku saja. Karena, aku bekerja bukan untuk meraup keuntungan. Bukan. Melainkan karena hal ini yang aku cintai. Kata bapakku dulu, sesuatu yang kita cintai akan terasa ringan jika dilakukan. Pesanku kepada kalian semua dan sampaikan kepada teman-teman kalian, agar jangan sampai menyerah pada kehidupan. Apalagi menyerah untuk meraih cita-cita kalian. Semoga, kalian semua menjadi penulis-penulis hebat. Hitung-hitung, meneruskan cita-citaku. Menulis adalah bekerja untuk keabadian, kata sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer,” pungkas Pak Sabar.
Selepas dialog di ruang tamu yang cukup lama itu, Rain dan Sam meminta izin untuk pulang ke rumah. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 wib. Mereka berdua harus kursus menggambar. Tak lama kemudian, kami keluar dari Toko Buku Sentosa yang mejual berbagai buku itu dan berjalan menuju rumah masing-masing. Di tengah perjalanan pulang, mereka melihat poster kecil yang ditempelkan di tembok bangunan tua. Sebuah gambar yang sudah kusam dan tulisannya hampir terhapus.
Poster itu bertuliskan: Kalau kau bukan anak raja, atau bukan anak ulama’ besar, maka menulislah! (Al-Ghazali). Mereka berdua tersenyum setelah membaca poster itu dan bergegas pulang, karena kursus menggambar adalah kewajiban bagi mereka. Semenjak diskusi mengenai cita-cita dengan Pak Sabar, dan sering mengikuti kursus menggambar, mereka menemukan metode menulis yang sangat menarik. Menggambar kalimat di dalam pikiran mereka.
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar