BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Menyingkap Tabir Realitas Manusia Handphone

Handphone

Pena Laut - Teknologi yang sedang berkembang memiliki dampak yang sangat berpengaruh terhadap manusia—tentunya suatu perkembangan tidak lepas dari perubahan system.

Salah satunya yang sedang berada dalam genggaman kita, yakni handphone (Hp) atau Gadget. Hampir setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik, teknologi yang bernama handphone ini enggan terlepas dari genggaman penggunanya.

Apakah ada Lem atau alat pelengket lain ketika memproduksi makhluk ini?, yang seolah-olah membuat penggunanya merasa tidak berdaya dan kebingungan ketika melepaskan makhluk ini.

Bahkan ketika mencharger pun kadang masih bolak-balik dilihat, masih belum rela untuk melepaskan handphonenya, merasa stress ndak karuan ketika kehilangan handphonenya. Bagaikan tiada kehidupan tanpa bersetubuh dengannya.

Kehidupan ini penuh cerita tentang persetubuhannya, sampai-sampai mulai sulit membedakan antara apa yang penggunanya pikirkan dan yang dipikirkan makhluk itu. 

Makhluk ini semakin berkembang dan pintar, hingga mungkin penggunanya semakin enggan menggunakan pikirannya sendiri. Kuota, wi-fi, ataupun pulsa, menjadi suatu hal yang tidak boleh terlepaskan, bagaikan denyut nadi ataupun oksigen—yang manusia tanpanya akan mati.

Tidak disadari bahwa handphone yang seharusnya menjadi sarana pembebasan beralih menjadi sarana penindasan. Berkat penindasan itulah, teknologi yang seharusnya melayani kebutuhan manusia tetapi malah manusia yang melayani teknologi.

Bukan hanya itu, handphone ini juga bisa mendewakan penggunanya. Layaknya tongkat sihir yang bisa menjadikan apapun, hanya dengan ucapan “simsalabim”, semua jadi. Tetapi sekarang simsalabim berubah menjadi “klik”.

Ingin bakso tinggal klik langsung datang, ingin pergi kesana-kemari hanya dengan klik. Bahkan untuk memuaskan libido seksual pun hanya tinggal klik: dengan menginstal lalu mengklik aplikasi ijo (mi-c***) sudah banyak yang menanti,—mulai dari yang berkulit tisu hingga yang berkulit kayu, dari yang berhidung menonjol hingga yang tak bertonjol, semua ada.

Lebih ekstrim lagi media sosial sekarang sedang marak-maraknya (istilah yang masyhur) pemersatu bangsa yang rela mempertontonkan tubuhnya—yang bagaikan ombak di lautan itu—demi kepuasan libido seksual penontonnya. Sungguh sangat naif!

Melihat ke-ironian realitas manusia handphone ini, kiranya tepat untuk mendatangkan pemikiran filsuf postmodern, yakni Herbert Marcuse. Ia adalah salah satu tokoh pendiri Mazhab Frankfurt (Sekolah Frankfurt di Jerman).

Marcuse melihat realitas masyarakat modern, ciri yang paling menonjol adalah teknologi, maka dari itu Marcuse menyebutnya masyarakat teknologi. Dalam masyarakat teknologi Marcuse mengatakan bahwa tujuan manusia dikondisikan oleh situasi teknologi, yang mengarahkan tujuan manusia bukan lagi dirinya tetapi teknologi.

Misalnya, ketika jalan-jalan sembari ngopi, yang terpenting bukan menikmati indahnya alam atau menikmati hidangan kopi dan ndakik-ndakik ngalor ngidul, tetapi yang menjadi orientasi adalah “spot foto”. Terlalu terbelenggu dalam objek mana yang bagus untuk difoto, lalu di post dalam media sosial dan berharap mendapat like yang banyak. Sehingga like yang banyak bisa menjadi tolok ukur eksistensi masyarakat teknologi.

Lanjut Marcuse, ternyata manusia teknologi tidak lagi bekerja untuk menjamin kebutuhannya, melainkan keterpaksaan untuk semakin banyak memiliki benda-benda konsumsi, seolah memaksanya untuk mencari uang sebanyak-banyaknya demi kepuasan hasrat konsumsinya.

Hal ini banyak kita jumpai, semisal: kebutuhan kita sebenarnya di warung pinggiran sudah cukup, tetapi hasrat konsumsi kita menuntut untuk ngafe. Bahkan sampai tolok ukur kesuksesan pun harus memenuhi hasrat untuk konsumsi; seseorang dikatakan sukses apabila sudah mempunyai mobil tesla, motor Harley Davidson, hp Iphone, dll.

Dilihat dari hal seperti ini, apakah teknologi dapat memanusiakan manusia? Atau justru malah memperbudak manusia?.

Mungkin pertanyaan yang seperti ini bisa menjadi bahan refleksi untuk pembaca yang budiman.

Masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan dalam realitas masyarakat teknologi. Entah disadari atau tidak masyarakat teknologi telah kehilangan sisi kemanusiaannya dan mengatasi keterasingan dan ketidakberdayaannya melalui handphone.

Misal ketika kuliah, mahasiswa sedang mempresentasikan tugasnya, ketika memasuki sesi tanya jawab, audiens bertanya. Lantas (sekali lagi hanya misal!) presentator tidak berdaya dengan yang dipertanyakan oleh audiens, untuk mengatasi ketidakberdayaannya terkadang presentator langsung mencerabut handphonenya, membuka si mbah google dan mengetik pertanyaan yang dilontarkan oleh audiens tadi.

Mbah google seakan-seakan seperti Tuhan yang mengetahui segala permasalahan umat nya, tinggal klik saja langsung dikabulkan, tidak usah bersusah payah berdoa sampai nangis-nangis.

Dalam sebuah penelitian mengatakan bahwa bermain handphone secara terus menerus hingga tiga bulan, sangat mempengaruhi otak manusia, seperti: berkurangnya kemampuan untuk mengambil keputusan, mengendalikan emosi, merealisasikan rencana, mengingat, dan menjadi impulsif. (Cristian Montag, 2018:24)

Perlu diingat dalam pembahasan ini bahwa teknologi yang selalu berada dalam genggaman kita ini hanya sekedar alat, ingat!, hanya sekedar alat, dan alat sangat tidak pantas untuk memperalat. Jangan sampai kita diperalat oleh alat.

Sumber:

Ngaji Filsafat 168. Herbert Marcuse-Kritik Modernitas dan Manusia Satu Dimensi

Marcuse, Herbert. Manusia Satu Dimensi. Narasi, 2016

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak