Pena Laut - Kehidupan kampus bersamaan dengan persoalan-persoalan yang membuntutinya, membuat manusia yang berada di dalamnya merasa bahwa kampus adalah tempat pembuangan akhir masalah-masalah yang ada di dunia ini. Seolah-olah, kampus menjadi tempat penyelesaian akhir suatu permasalahan yang tengah hangat diperbincangkan khalayak.
Tak heran, jika para mahasiswa ketika di luar memilih angkringan atau kedai kopi untuk sejenak mengistirahatkan pikiran yang jika kepalanya dibuka terdapat bongkahan-bongkahan masalah seputar kampus, misalnya tugas, masalah dosen yang perfeksionis, rektor yang sedang mabuk jabatan, hingga skripsi yang terus bertanya kapan mau menjamah dirinya. Setidaknya, keruwetan yang ada merupakan indikasi bahwa mahasiswa adalah insan yang selalu dengan gagah menemui masalah-masalah.
Ya, meskipun tidak sepenuhnya gagah, sih!
Di kota metropolis, tepatnya Ambarawa, menjadi salah satu kota pilihan kategori kota pendidikan. Di sana berdiri bangunan kokoh dan menakjubkan, tempat di mana manusia-manusia jahil menimba dan mencangkul dari berbagai disiplin ilmu. Universitas Titi Kolo Mongso adalah kampus idaman para calon mahasiswa. Banyak kalangan yang menyebutnya dengan sebutan “Kampus Idaman”, karena tidak sedikit mahasiswa “jebolan” Universitas Titi Kolo Mongso menjadi idaman wanita atau orang tua yang memiliki anak perempuan. Kenapa bisa begitu? Mungkin karena mitos yang beredar.
Konon katanya, kampus tertua di Ambarawa itu didirikan oleh orang yang bernama Ki Jermuni Asu. Singkat cerita, orang ini bisa “hijrah” di wilayah yang sekarang bernama Ambarawa, karena ditolak cintanya oleh putri semata wayang Raja Minak Jerunggu, kerajaan Manukwari. Akhirnya, dia bersumpah serapah, bahwa akan bertapa selama hidupnya di wilayah yang berjarak lima ribu kaki dari wilayah kerajaan Manukwari. Bertapalah dia di sana, dan membuat pondok untuk belajar anak-anak kecil di sana. Kurang lebih, legendanya seperti itu. Soalnya, aku mendapatkan kisah itu dari cangkem ke cangkem.
Namaku Erik. Aku adalah salah satu dari ribuan mahasiswa Universitas Titi Kolo Mongso, yang biasa disingkat “Untikomong”. Seperti kampus yang lain, di kampus ini secara administratif dan sistem pengajarannya tidak jauh berbeda. Mungkin, yang menjadi pembeda adalah ada satu fakultas aneh. Fakultas Perdukunan. Sampai sekarang, aku tidak pernah tahu mata kuliah apa saja yang diajarkan di fakultas itu. Sempat terbesit di dalam kepalaku, kalau ada fakultas Perdukunan, seharusnya ada mata kuliah santet dan ilmu “hitam” lainnya.
Sebagai mahasiswa yang menempuh Pendidikan Agama, aku sangat tertekan. Karena, jurusan ini bukan keinginanku. Ialah keinginan kedua orang tuaku, sehingga mau tidak mau aku harus menurutinya. Meski agak sedikit terpaksa. Di kampus Untikomong juga terdapat Organisasi Ekstra yang menjadi kawah candradimuka bagi kaum intelektual. Kalimat tersebut yang tertulis di banner sewaktu aku menempuh masa orientasi. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, waktu itu, aku memilih salah satu organisasi yang ada di kampus.
Namanya Organisasi Mahasiswa Islam Indonesia (OMII). Di flayer yang diberikan kepadaku via WhatsApp, gambar dan deskripsi kegiatannya cukup beragam. Mulai dari diskusi rutin, ngaji, kultum, bakti sosial, hingga demonstrasi. Terkesan dengan gambar dan deskripsinya, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftarkan diri.
Sewaktu menjadi anggota OMII, seingatku kala itu masih semester tiga. Sahabatku Ali mengajakku pergi ke salah satu tokoh yang ada di kota Ambarawa. Ali adalah satu-satunya sahabatku yang tidak pernah absen dalam mengikuti kegiatan OMII. Dia sekarang sudah menjadi Badan Pengurus Harian (BPH) di komisariat OMII. Kebiasaannya aneh, dia di mana-mana selalu membawa permen kaki di sakunya. Entah kebiasaan itu dimulainya sejak kapan, tapi aku yang suka hal-hal aneh menikmatinya. Pikirku, seperti para filsuf, nyeleneh!
Aku dan Ali bisa dibilang adalah dua kutub yang sangat berbeda, bagaikan plus dan minus pada baterai atau bagaikan makanan Mc Donals dan ayam gepreknya SFC yang seharga tujuh ribuan. Dia adalah organisatoris yang sangat tekun. Setiap ada acara di OMII, pasti dia mengirim flayer kepadaku. Padahal, ketika ngobrol soal organisasi, terutama OMII, pasti semua hal yang menjadi program kepengurusan OMII aku bantah habis-habisan. Itu aku lakukan di depan Ali, sewaktu ngopi di kedainya Pak Basuki.
“Nanti sehabis mata kuliah Prof. Hannan, kamu ikut aku, ya, Rik,” ajaknya ketika masih di kamar kost.
Aku hanya mengangguk-angguk polos saja tanpa menjawab sepatah kata pun. Kita bersama-sama berangkat dari kost ke kampus. Di tengah kelas Prof. Hannan, aku ketiduran hingga kelasnya usai. Ali membangunkanku dengan lagu “Genjer-genjer” yang biasa aku putar di kamar kost.
“Ah, mengganggu saja kau, Li, mimpiku tadi masih indah-indahnya,” kataku seraya membenahi rambut gondrongku yang seperti raja rimba, Singa.
“Ayoh! Kita berangkat sekarang. Mumpung masih jam segini,” Ali yang bersemangat layaknya Bung Karno ketika orasi berapi-api.
“Oke. Tapi aku ke perpustakaan dulu ya, mau ngambil buku yang ketinggalan.”
Aku memang gemar di perpustakaan daripada menghabiskan waktu di kantin kampus. Karena di kantin sangat bising penuh dengan ocehan najis mahasiswa sok idealis. Entah kenapa, aku sering kali dibuatnya muak dengan kata-kata, “jadi kalian harus menduduki birokrasi kampus, dek. Jangan sampai direbut organisasi lain!”
Setelah dari perpustakaan, aku segera ke parkiran untuk mengambil motor vespa kesayanganku. Si Ali sudah menunggu di depan gerbang kampus bersama Indri Susanti. Dengan suara vespa rongsok peninggalan kakekku, aku menghampiri Ali dan Indri.
“Eh, ada Indri rupanya. Apa kabar, Ndri?” tanyaku agak lembut ke Indri yang sedang memegangi Es Matcha di tangan kanan.
“Baik, Rik. Kamu bagaimana, masih jomblo?” tanyanya menyambar.
Pertanyaan bengis, edan dan ndak berperikemanusiaan! Aku terkaget bukan kepalang mendengar pertanyaan Indri yang tangan kirinya memegangi tangan Ali. Pertanyaan gila itu tak kujawab, hanya menimpali senyum tipis kepada Indri. Tak lama, Ali mengajakku dan Indri ditinggalnya. Syukurlah, Indri tidak diajak. Kalau diajak, bisa merepotkan orang seantreo negri.
Di perjalanan kami bercerita banyak hal, karena memang tempat yang dituju oleh Ali jarak tempuhnya sekitar empat puluh lima menit dari kampus. Akhirnya aku dan Ali berbicara banyak hal. Sering membahas buku-buku. Salah satu aku mau bersahabat dengannya, meskipun dia aneh dan terkadang menjengkelkan, karena dia suka baca juga. Dia memulai dengan membicarakan Kanjeng Nabi Muhammad dalam buku 100 Orang Berpengaruh di Dunia karya Michael H. Hart hingga indahnya puisi-puisi KH. Mustofa Bisri (Gus Mus).
Tak terasa, sampailah kami di rumah yang berada di Dusun Trunowinongo, Desa Kalimumpung. Rumah yang bereksterior khas Jogja dan berhalaman luas membuatku tertegun dan terkesima menatapnya. Sudah menjadi harapanku membuat rumah semacam ini. Bisa buat referensi rumahku nanti, pikirku. Belum lama aku terkesima dengan eksterior rumah itu, aku dibuat kaget dengan lukisan yang diletakkan persis di atas balai-balai dari bambu. Aku masih ragu, apakah benar dugaanku tentang gambar lukisan itu. Aku menarik tangan Ali yang sedari tadi “clingak-clinguk” mencari tuan rumah. Dari dekat aku semakin yakin, bahwa itu lukisan Immanuel Kant. Gila, rumah ala joglo seperti ini terdapat lukisan filsuf Jerman terkemuka itu.
Ali menuju ke depan pintu rumah dan mengetuk pintu dari kayu jati yang berukiran kaligrafi Arab.
“Assalamu’alaikum!” salam Ali seraya melihat ke kanan dan ke kiri seperti lintah darat yang sudah siap menunggu tuan rumah.
Tak lama kemudian, salam Ali dijawab oleh seseorang yang suaranya jauh di belakang.
“Wa’alaikumussalam,” suaranya jauh tapi jelas intonasinya.
Terbukalah pintu kayu jati yang gagah itu, dibuka oleh tuan rumah. Di perjalanan tadi, aku diberi tahu bahwa nama orang yang ditemui nanti adalah Kang Wakidi. Dia adalah alumni kampus kami juga, alumni tahun ’99 kata Ali padaku. Kang Wakidi berambut ikal, bertubuh kurus kering dan sedang menghisap rokok di mulut hitamnya. Setelah membuka pintu, Kang Wakidi langsung mengenali Ali.
“Owalah, Ali tho. Silahkan duduk dulu, saya buatkan kopi dulu ya. Oh iya, Ali tolong ambilkan camilan di ruang tamu,” kata Kang Wakidi yang bersuara lemah gemulai. Kalau dia dosen, pastinya aku sering tidur di kelasnya seperti di kelas Prof. Hannan tadi siang.
Aku dan Ali duduk santai sambil mengeluarkan rokok eceran yang tadi beli di kantin Romo Mangir, si pendeta Gereja yang bekerja sampingan menjadi penjaga kantin di kampusku. Aku masih terkesima dengan lukisan yang sekarang berada di atasku, tertanda tangan pelukis yang tidak aku kenal. Memang selera seniku buruk, aku hanya menyukai sastra seperti roman, novel, cerpen. Itu pun aku masih selektif dalam membaca karya sastra.
Kang Wakidi datang membawa tiga kopi yang ditaruh di atas lengser kayu yang lagi-lagi berukiran aksara Jawa. Keren betul orang ini, apapun barang yang dipunyai, ada ukirannya. Jangan-jangan gosokan WC juga ada ukirannya. Entahlah.
Setelah menaruh kopi di meja, Kang Wakidi masuk lagi ke dalam rumah untuk mengambil rokok. Tidak tanggung-tanggung, dua bungkus rokok dibawanya.
“Ini habiskan rokonya,” Kang Wakidi seraya menyalakan korek api.
“Dari mana tadi, kok bisa sampai di sini. Aku baru mau menelfonmu tadi, Li, untuk datang ke sini".
“Oh, iya, Kang. Saya memang sudah jauh-jauh hari berniat mau kemari, kangen diskusi dengan Kang Wakidi,” kata Ali sambil mengangkat cangkir kopinya.
“Ini siapa, Li?” tanya Kang Wakidi melihatku sambil tersenyum.
Aku langsung menjawab tanpa ragu dan mengulurkan tanganku untuk salaman.
“Saya Erik, Kang. Sahabatnya Ali di kampus Untikomonng,” jawabku.
“Oh, sampeyan kader OMII juga?”
“Iya, Kang, tapi tidak aktif.”
Mendengar jawabanku, Kang Wakidi berdiam sejenak menatap Ali dan aku. Seperti ada hal yang mau dibicarakan perihal organisasi, khususnya OMII.
“Nah! Hal ini yang mau saya bicarakan kepada kalian,” jelas Kang Wakidi dengan gaya duduk seperti patung Ir. Soekarno di Blitar itu.
Mendengar perkataan Kang Wakidi, Ali menoleh kepadaku seperti bertanya-tanya.
“Loh, Kang. Sampeyan kok bisa tahu saya kemari ingin membicarakan soal OMII. Padahal saya belum bilang,” Ali dengan wajah penuh pertanyaan, sampai-sampai matanya seperti penuh tanda tanya besar.
Kang Wakidi hanya tersenyum dengan tak henti-hentinya menghisap rokoknya. Sebelum masuk ke perbincangan yang cukup serius, Kang Wakidi mempersilahkan kami menikmati hidangan yang ada. Sambil menunggu kami menikmati hidangan, Kang Wakidi masuk ke dalam lagi. Sekarang, Kang Wakidi tidak mengambil bungkus rokok atau hidangan yang lain, tapi mengambil buku yang sudah lusuh dengan kertas sudah berwarna kuning, bertajuk “Historisitas OMII Melawan Orde Baru : Paradigma Organisasi Membela Kaum Tertindas”.
Sembari menyodorkan buku itu, Kang Wakidi memulai obrolan dengan santai dan terkadang memberikan pertanyaan-pertanyaan yang kritis.
“Maksudku menghubungi kalian, untuk membicarakan dan diskusi mengenai paradigma dan gerakan OMII saat ini. Terlebih dalam menyikapi persoalan-persoalan yang pelik di masyarakat,” jelas Kang Wakidi kepada kami berdua.
Ali sebagai OMII struktural, merasa tertantang untuk menanggapi pernyataan Kang Wakidi.
“Jadi, Kang, sekarang OMII komisariat Untikomonng sedang berupaya mengkaji isu nasional yang sedang hangat di masyakat, yakni kenaikan BBM. Hal ini menurut kami sangat meresahkan dan penindasan sistematik oleh penguasa. Maka dari itu, OMII secara kelembagaan mengisntruksikan untuk turun ke jalan,” Ali dengan wajah yang mantap tanpa keraguan sedikitpun.
Mendengar hal itu, aku merasa harus menjawab dengan pengetahuan sempitku mengenai isu kenaikan BBM dan demonstrasi, anggaplah perspektif OMII bukan struktural.
“Menurutku, aksi turun ke jalan mengangkat isu BBM merupakan langkah yang membingungkan. Lubang yang satu belum selesai ditutup, sudah lari ke lubang yang lain. Persoalan satu belum selesai, sudah lari ke persoalan yang lain. Terkesan ikut-ikutan saja. Organisatoris kok mentalnya ‘mbebek’,” kataku yang menjadi antitesis Ali.
Kang Wakidi yang mendengar statement yang berbeda itu, segera menimpali dan berusaha mencari titik di mana organisasi yang dimaksud “mbebek” olehku bisa diketahui sebab musababnya.
“Sebelum lebih jauh dan memang bukan itu poin yang ingin saya bahas, kita harus berusaha mencari sebab mengapa OMII atau organisasi yang lain terkesan ikut-ikutan atau tidak pernah selesai dalam mengadvokasi problem sosial,” kata Kang Wakidi dengan jari telunjuk yang menari-nari seperti Jalaludin Rumi.
Kami berdua berpikir keras tentang apa yang dimaksud oleh Kang Wakidi. Tajam juga analisis orang ini, pikirku. Sudah lama aku tidak berdiskusi menguras pikiran dan segala referensiku seperti ini. Kalau di kampus, dengan kapasitas mahasiswanya seperti di Untikomong, kurang menarik perhatianku. Paling, ya, gitu-gitu aja. Ndak menarik blas!
“Persoalannya di para kadernya, Kang. Para kader sibuk memantaskan diri untuk menjadi pemimpin di OMII dan menjamurnya kakak tingkat yang menyakiti hati kader perempuan yang seperti tanpa dosa itu,” jawabku yang sedikit melirik ke Ali. Mungkin dia tersindir, karena Indri adalah kekasih satu organisasi di OMII bersama Ali.
“Kalau kau, Li, apa yang ada di pikiranmu?” tanya Kang Wakidi kepada Ali yang sedari tadi kelihatan berpikir dengan memainkan asap rokoknya.
“Kalau aku, lebih kepada management organisasi, Kang. Pengaturan organisasi harus tertata sebaik mungkin, agar tidak terkesan abu-abu. Maksudnya, perlu adanya formula yang menjadi tumpuan organisasi, sehingga program yang ada tidak keluar dari garis-garis ketentuan yang disepakati,” kata Ali sambil melihat langit-langit.
Tampaknya, Kang Wakidi ini sabar dan mau menerima pendapat orang lain. Karakternya berwibawa dan luwes, agaknya banyak baca juga orang ini. Kata Gus Dur, kalau orang banyak baca, orang itu akan lebih toleran kepada sesuatu.
“Kalian sudah pernah membaca visi OMII?” tanya Kang Wakidi seperti sambaran petir.
Kami mulai terdiam mendengar pertanyaan Kang Wakidi yang seperti kekuatan petir Gundala. Kang Wakidi mulai berbicara, aku merasa bahwa pertemuan kali ini adalah kajian yang aku tunggu di OMII sedari lama. Kajian yang berbobot, kalau kata anak sekarang “Daging semua!”.
“Organisasi OMII, sejak berdirinya sampai sekarang tujuannya sederhana. Ialah membentuk kaum intelektual dan mengamalkan ilmunya dengan cara membela kaum-kaum yang tertindas. Hanya itu. Tapi, kalimat sederhana biasanya mengandung makna yang sangat dalam, jika ditelaah secara kritis. Saya sering melihat di sosial media OMII pusat, kok agendanya membosankan, ya. Tidak substantif. OMII hanya mengadakan kegiatan yang seremonial belaka, tanpa menimbang secara proporsional esensi dari apa yang dilakukan.
Misalnya, kalau peringatan Harlah OMII, agendanya kumpul-kumpul biasa. Diskusi yang dilakukan tidak berorientasi menyelesaikan persoalan bangsa, atau sederhananya tidak ngobrolin problem sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan.”
“Kalian tahu, kenapa saya mengeluarkan buku itu?” tanya Kang Wakidi selepas berbicara panjang.
“Tidak, Kang,” jawab Ali yang terus memandangi Kang Wakidi yang gagah.
“Karena saya mau bilang, bahwa OMII sekarang sudah disorientasi. Sudah ndak sakti lagi. Belum lagi, para pemimpinnya sudah berani main mata dengan birokrasi. Saya kemarin mendengar dari kawan saya sewaktu di OMII, bahwa kultur yang ada di pusat sudah sangat politis pragmatis.
Mendapat informasi tersebut, saya mengelus-elus dada, kok bisa kami ini dikhianati seperti ini. Bukan berarti era kalian harus kalian samakan seperti era saya, bukan begitu. Tapi, mbok ya jangan keterlaluan kalau ngurusi organisasi,” Kang Wakidi yang giliran sekarang jadi Bung Tomo, berapi-api seperti di atas podium.
Aku yang sedari tadi terdiam mendengar “ceramah” Kang Wakidi, berusaha menanggapi.
“Salah satu alasanku mengapa tidak aktif di OMII, karena budaya yang ada sekarang cenderung elitis, Kang. Kajian-kajian hanya sebatas formalitas belaka. Belum lagi, desas-desus agenda turun jalan menjadi pesanan. Seperti nasi kotak saja,” kataku dengan nada kecewa.
Kang Wakidi mendengarkan dengan seksama uraianku, dia menunggu Ali menanggapi. Tak lama kemudian, Ali berusaha membuka mulutnya untuk berkata satu dua patah kata.
“Lantas, menurut sampeyan, bagaimana solusinya, Kang?” tanya Ali kepada Kang Wakidi.
“Ya selesaikan sendiri. Saya selaku salah satu alumni, hanya bisa memberikan masukan. Bukan mendikte. Persoalan yang kalian temui, itu urusan kalian. Tapi, bukan berarti kami lepas tangan sebagai alumni. Maksud dari perkataanku tadi, bahwa kalian mempunyai problematika tersendiri yang harus kalian selesaikan. Asa musyawarah sangat krusial di dalam organisasi, Li,” terang Kang Wakidi.
Kami bertiga terdiam sejenak dan mengambil sebatang rokok masing-masing, seraya meminum kopi yang teriak-teriak meminta diminum sedari tadi. Kasian, kopi menjadi tidak terjamah karena membahas organisasi.
“Sebenarnya, dalam berproses di organisasi kita semua membutuhkan kesabaran dan ketekunan.
Organisasi tidak membentuk bajingan-bajingan kelas eksklusif dengan masyarakat, melainkan mencetak generasi-generasi yang berdampingan dengan masyarakat. Kalau kata Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia itu, bahwa kaum terpelajar jangan sampai menganggap dirinya lebih superior dari masyarakat yang bekerja dengan cangkul,” Kang Wakidi yang sedang mengenang tokoh revolusioner asal Sumatera Barat itu.
“Kajian-kajian rutin harus digalakkan. Hal itu menjadi bekal untuk refleksi, sebelum melakukan gerakan-gerakan sosial. Kajian saja sudah hampir terkikis, bagaimana mau menjalankan visi organisasi? Bukankah begitu?”
Ali terlihat hanya mengangguk-angguk saja, tanpa ada hal yang perlu dibantah. Karena memang faktanya demikian, organisasi saat ini cenderung menafikan agenda-agenda intelektual. Siapa yang patut disalahkan atau yang berhak bertanggungjawab? Kita sendiri! Kitalah yang harus memulai dengan langkah-langkah yang progresif.
Hari semakin sore, Kang Wakidi terdiam setelah pembahasan dramastis tadi. Aku menyikut-nyikut Ali memberi kode untuk segera pulang. Ali paham dengan kodeku, akhirnya Ali mengatakan bahwa hendak pulang kepada Kang Wakidi.
“Mohon maaf, Kang, hari sudah semakin sore. Kita lanjutkan diskusi ini lain waktu, ya. Masih banyak keperluan lain menunggu,” Ali yang sembari mengambil rokok dengan malu-malu.
“Oh, iya, aku juga mau kondangan ke temanku sore ini. Maaf, ya, kalau hidangannya hanya sebatas ini. Lain kali kita membahas fenomena organisasi yang begitu banyak jumlahnya. Jangan sungkan-sungkan untuk mampir, salam ke Ketua Komisariat kalian dan kader-kader. Kapan-kapan saya mampir ke Sekretariat OMII Untikomong kalau ada waktu,” pungkas Kang Wakidi kepada kami.
Dua bungkus rokok kami bawa pulang, dengan perasaan gembira, aku giliran yang dibonceng oleh Ali. Pertemuan itu harus ada lagi, kalau perlu mengundang Kang Wakidi untuk diskusi bersama kader OMII di Sekretariat, pikirku. Alumni kayak gini sangat langka, baru kemarin saya mendengar dari Ali, bahwa ada salah satu alumni yang meminta tolong kepada kader OMII untuk menyebarkan kertas kecil terdapat logo partai yang harus disebarkan kepada kader OMII.
Ali menuju ke depan pintu rumah dan mengetuk pintu dari kayu jati yang berukiran kaligrafi Arab.
“Assalamu’alaikum!” salam Ali seraya melihat ke kanan dan ke kiri seperti lintah darat yang sudah siap menunggu tuan rumah.
Tak lama kemudian, salam Ali dijawab oleh seseorang yang suaranya jauh di belakang.
“Wa’alaikumussalam,” suaranya jauh tapi jelas intonasinya.
Terbukalah pintu kayu jati yang gagah itu, dibuka oleh tuan rumah. Di perjalanan tadi, aku diberi tahu bahwa nama orang yang ditemui nanti adalah Kang Wakidi. Dia adalah alumni kampus kami juga, alumni tahun ’99 kata Ali padaku. Kang Wakidi berambut ikal, bertubuh kurus kering dan sedang menghisap rokok di mulut hitamnya. Setelah membuka pintu, Kang Wakidi langsung mengenali Ali.
“Owalah, Ali tho. Silahkan duduk dulu, saya buatkan kopi dulu ya. Oh iya, Ali tolong ambilkan camilan di ruang tamu,” kata Kang Wakidi yang bersuara lemah gemulai. Kalau dia dosen, pastinya aku sering tidur di kelasnya seperti di kelas Prof. Hannan tadi siang.
Aku dan Ali duduk santai sambil mengeluarkan rokok eceran yang tadi beli di kantin Romo Mangir, si pendeta Gereja yang bekerja sampingan menjadi penjaga kantin di kampusku. Aku masih terkesima dengan lukisan yang sekarang berada di atasku, tertanda tangan pelukis yang tidak aku kenal. Memang selera seniku buruk, aku hanya menyukai sastra seperti roman, novel, cerpen. Itu pun aku masih selektif dalam membaca karya sastra.
Kang Wakidi datang membawa tiga kopi yang ditaruh di atas lengser kayu yang lagi-lagi berukiran aksara Jawa. Keren betul orang ini, apapun barang yang dipunyai, ada ukirannya. Jangan-jangan gosokan WC juga ada ukirannya. Entahlah.
Setelah menaruh kopi di meja, Kang Wakidi masuk lagi ke dalam rumah untuk mengambil rokok. Tidak tanggung-tanggung, dua bungkus rokok dibawanya.
“Ini habiskan rokonya,” Kang Wakidi seraya menyalakan korek api.
“Dari mana tadi, kok bisa sampai di sini. Aku baru mau menelfonmu tadi, Li, untuk datang ke sini".
“Oh, iya, Kang. Saya memang sudah jauh-jauh hari berniat mau kemari, kangen diskusi dengan Kang Wakidi,” kata Ali sambil mengangkat cangkir kopinya.
“Ini siapa, Li?” tanya Kang Wakidi melihatku sambil tersenyum.
Aku langsung menjawab tanpa ragu dan mengulurkan tanganku untuk salaman.
“Saya Erik, Kang. Sahabatnya Ali di kampus Untikomonng,” jawabku.
“Oh, sampeyan kader OMII juga?”
“Iya, Kang, tapi tidak aktif.”
Mendengar jawabanku, Kang Wakidi berdiam sejenak menatap Ali dan aku. Seperti ada hal yang mau dibicarakan perihal organisasi, khususnya OMII.
“Nah! Hal ini yang mau saya bicarakan kepada kalian,” jelas Kang Wakidi dengan gaya duduk seperti patung Ir. Soekarno di Blitar itu.
Mendengar perkataan Kang Wakidi, Ali menoleh kepadaku seperti bertanya-tanya.
“Loh, Kang. Sampeyan kok bisa tahu saya kemari ingin membicarakan soal OMII. Padahal saya belum bilang,” Ali dengan wajah penuh pertanyaan, sampai-sampai matanya seperti penuh tanda tanya besar.
Kang Wakidi hanya tersenyum dengan tak henti-hentinya menghisap rokoknya. Sebelum masuk ke perbincangan yang cukup serius, Kang Wakidi mempersilahkan kami menikmati hidangan yang ada. Sambil menunggu kami menikmati hidangan, Kang Wakidi masuk ke dalam lagi. Sekarang, Kang Wakidi tidak mengambil bungkus rokok atau hidangan yang lain, tapi mengambil buku yang sudah lusuh dengan kertas sudah berwarna kuning, bertajuk “Historisitas OMII Melawan Orde Baru : Paradigma Organisasi Membela Kaum Tertindas”.
Sembari menyodorkan buku itu, Kang Wakidi memulai obrolan dengan santai dan terkadang memberikan pertanyaan-pertanyaan yang kritis.
“Maksudku menghubungi kalian, untuk membicarakan dan diskusi mengenai paradigma dan gerakan OMII saat ini. Terlebih dalam menyikapi persoalan-persoalan yang pelik di masyarakat,” jelas Kang Wakidi kepada kami berdua.
Ali sebagai OMII struktural, merasa tertantang untuk menanggapi pernyataan Kang Wakidi.
“Jadi, Kang, sekarang OMII komisariat Untikomonng sedang berupaya mengkaji isu nasional yang sedang hangat di masyakat, yakni kenaikan BBM. Hal ini menurut kami sangat meresahkan dan penindasan sistematik oleh penguasa. Maka dari itu, OMII secara kelembagaan mengisntruksikan untuk turun ke jalan,” Ali dengan wajah yang mantap tanpa keraguan sedikitpun.
Mendengar hal itu, aku merasa harus menjawab dengan pengetahuan sempitku mengenai isu kenaikan BBM dan demonstrasi, anggaplah perspektif OMII bukan struktural.
“Menurutku, aksi turun ke jalan mengangkat isu BBM merupakan langkah yang membingungkan. Lubang yang satu belum selesai ditutup, sudah lari ke lubang yang lain. Persoalan satu belum selesai, sudah lari ke persoalan yang lain. Terkesan ikut-ikutan saja. Organisatoris kok mentalnya ‘mbebek’,” kataku yang menjadi antitesis Ali.
Kang Wakidi yang mendengar statement yang berbeda itu, segera menimpali dan berusaha mencari titik di mana organisasi yang dimaksud “mbebek” olehku bisa diketahui sebab musababnya.
“Sebelum lebih jauh dan memang bukan itu poin yang ingin saya bahas, kita harus berusaha mencari sebab mengapa OMII atau organisasi yang lain terkesan ikut-ikutan atau tidak pernah selesai dalam mengadvokasi problem sosial,” kata Kang Wakidi dengan jari telunjuk yang menari-nari seperti Jalaludin Rumi.
Kami berdua berpikir keras tentang apa yang dimaksud oleh Kang Wakidi. Tajam juga analisis orang ini, pikirku. Sudah lama aku tidak berdiskusi menguras pikiran dan segala referensiku seperti ini. Kalau di kampus, dengan kapasitas mahasiswanya seperti di Untikomong, kurang menarik perhatianku. Paling, ya, gitu-gitu aja. Ndak menarik blas!
“Persoalannya di para kadernya, Kang. Para kader sibuk memantaskan diri untuk menjadi pemimpin di OMII dan menjamurnya kakak tingkat yang menyakiti hati kader perempuan yang seperti tanpa dosa itu,” jawabku yang sedikit melirik ke Ali. Mungkin dia tersindir, karena Indri adalah kekasih satu organisasi di OMII bersama Ali.
“Kalau kau, Li, apa yang ada di pikiranmu?” tanya Kang Wakidi kepada Ali yang sedari tadi kelihatan berpikir dengan memainkan asap rokoknya.
“Kalau aku, lebih kepada management organisasi, Kang. Pengaturan organisasi harus tertata sebaik mungkin, agar tidak terkesan abu-abu. Maksudnya, perlu adanya formula yang menjadi tumpuan organisasi, sehingga program yang ada tidak keluar dari garis-garis ketentuan yang disepakati,” kata Ali sambil melihat langit-langit.
Tampaknya, Kang Wakidi ini sabar dan mau menerima pendapat orang lain. Karakternya berwibawa dan luwes, agaknya banyak baca juga orang ini. Kata Gus Dur, kalau orang banyak baca, orang itu akan lebih toleran kepada sesuatu.
“Kalian sudah pernah membaca visi OMII?” tanya Kang Wakidi seperti sambaran petir.
Kami mulai terdiam mendengar pertanyaan Kang Wakidi yang seperti kekuatan petir Gundala. Kang Wakidi mulai berbicara, aku merasa bahwa pertemuan kali ini adalah kajian yang aku tunggu di OMII sedari lama. Kajian yang berbobot, kalau kata anak sekarang “Daging semua!”.
“Organisasi OMII, sejak berdirinya sampai sekarang tujuannya sederhana. Ialah membentuk kaum intelektual dan mengamalkan ilmunya dengan cara membela kaum-kaum yang tertindas. Hanya itu. Tapi, kalimat sederhana biasanya mengandung makna yang sangat dalam, jika ditelaah secara kritis. Saya sering melihat di sosial media OMII pusat, kok agendanya membosankan, ya. Tidak substantif. OMII hanya mengadakan kegiatan yang seremonial belaka, tanpa menimbang secara proporsional esensi dari apa yang dilakukan.
Misalnya, kalau peringatan Harlah OMII, agendanya kumpul-kumpul biasa. Diskusi yang dilakukan tidak berorientasi menyelesaikan persoalan bangsa, atau sederhananya tidak ngobrolin problem sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan.”
“Kalian tahu, kenapa saya mengeluarkan buku itu?” tanya Kang Wakidi selepas berbicara panjang.
“Tidak, Kang,” jawab Ali yang terus memandangi Kang Wakidi yang gagah.
“Karena saya mau bilang, bahwa OMII sekarang sudah disorientasi. Sudah ndak sakti lagi. Belum lagi, para pemimpinnya sudah berani main mata dengan birokrasi. Saya kemarin mendengar dari kawan saya sewaktu di OMII, bahwa kultur yang ada di pusat sudah sangat politis pragmatis.
Mendapat informasi tersebut, saya mengelus-elus dada, kok bisa kami ini dikhianati seperti ini. Bukan berarti era kalian harus kalian samakan seperti era saya, bukan begitu. Tapi, mbok ya jangan keterlaluan kalau ngurusi organisasi,” Kang Wakidi yang giliran sekarang jadi Bung Tomo, berapi-api seperti di atas podium.
Aku yang sedari tadi terdiam mendengar “ceramah” Kang Wakidi, berusaha menanggapi.
“Salah satu alasanku mengapa tidak aktif di OMII, karena budaya yang ada sekarang cenderung elitis, Kang. Kajian-kajian hanya sebatas formalitas belaka. Belum lagi, desas-desus agenda turun jalan menjadi pesanan. Seperti nasi kotak saja,” kataku dengan nada kecewa.
Kang Wakidi mendengarkan dengan seksama uraianku, dia menunggu Ali menanggapi. Tak lama kemudian, Ali berusaha membuka mulutnya untuk berkata satu dua patah kata.
“Lantas, menurut sampeyan, bagaimana solusinya, Kang?” tanya Ali kepada Kang Wakidi.
“Ya selesaikan sendiri. Saya selaku salah satu alumni, hanya bisa memberikan masukan. Bukan mendikte. Persoalan yang kalian temui, itu urusan kalian. Tapi, bukan berarti kami lepas tangan sebagai alumni. Maksud dari perkataanku tadi, bahwa kalian mempunyai problematika tersendiri yang harus kalian selesaikan. Asa musyawarah sangat krusial di dalam organisasi, Li,” terang Kang Wakidi.
Kami bertiga terdiam sejenak dan mengambil sebatang rokok masing-masing, seraya meminum kopi yang teriak-teriak meminta diminum sedari tadi. Kasian, kopi menjadi tidak terjamah karena membahas organisasi.
“Sebenarnya, dalam berproses di organisasi kita semua membutuhkan kesabaran dan ketekunan.
Organisasi tidak membentuk bajingan-bajingan kelas eksklusif dengan masyarakat, melainkan mencetak generasi-generasi yang berdampingan dengan masyarakat. Kalau kata Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia itu, bahwa kaum terpelajar jangan sampai menganggap dirinya lebih superior dari masyarakat yang bekerja dengan cangkul,” Kang Wakidi yang sedang mengenang tokoh revolusioner asal Sumatera Barat itu.
“Kajian-kajian rutin harus digalakkan. Hal itu menjadi bekal untuk refleksi, sebelum melakukan gerakan-gerakan sosial. Kajian saja sudah hampir terkikis, bagaimana mau menjalankan visi organisasi? Bukankah begitu?”
Ali terlihat hanya mengangguk-angguk saja, tanpa ada hal yang perlu dibantah. Karena memang faktanya demikian, organisasi saat ini cenderung menafikan agenda-agenda intelektual. Siapa yang patut disalahkan atau yang berhak bertanggungjawab? Kita sendiri! Kitalah yang harus memulai dengan langkah-langkah yang progresif.
Hari semakin sore, Kang Wakidi terdiam setelah pembahasan dramastis tadi. Aku menyikut-nyikut Ali memberi kode untuk segera pulang. Ali paham dengan kodeku, akhirnya Ali mengatakan bahwa hendak pulang kepada Kang Wakidi.
“Mohon maaf, Kang, hari sudah semakin sore. Kita lanjutkan diskusi ini lain waktu, ya. Masih banyak keperluan lain menunggu,” Ali yang sembari mengambil rokok dengan malu-malu.
“Oh, iya, aku juga mau kondangan ke temanku sore ini. Maaf, ya, kalau hidangannya hanya sebatas ini. Lain kali kita membahas fenomena organisasi yang begitu banyak jumlahnya. Jangan sungkan-sungkan untuk mampir, salam ke Ketua Komisariat kalian dan kader-kader. Kapan-kapan saya mampir ke Sekretariat OMII Untikomong kalau ada waktu,” pungkas Kang Wakidi kepada kami.
Dua bungkus rokok kami bawa pulang, dengan perasaan gembira, aku giliran yang dibonceng oleh Ali. Pertemuan itu harus ada lagi, kalau perlu mengundang Kang Wakidi untuk diskusi bersama kader OMII di Sekretariat, pikirku. Alumni kayak gini sangat langka, baru kemarin saya mendengar dari Ali, bahwa ada salah satu alumni yang meminta tolong kepada kader OMII untuk menyebarkan kertas kecil terdapat logo partai yang harus disebarkan kepada kader OMII.
Belum lama informasi itu, menyusul isu bahwa forum alumni mulai awal sampai selesainya acara membahas pemilu 2024!
Di perjalanan pulang ke kost-an, aku membuka Handphone milikku, terbaca flayer dari akun Instagram berbunyi demikian:
“Menjadi mahasiswa organisatoris, jangan sampai mengidap penyakit Pencinta Es Krim. Segala sesuatu yang ditemuinya, nanti dijilat. Anggota dewan, pemimpin organisasi, Rektor dan segala rupa dijilat. Jilat menjilat sekarang sudah jadi pekerjaan banal. Segera periksakan diri anda di Pusat Kesehatan Pikiran Mahasiswa, jangan sampai tertular penyakit akut ini!”
Penulis Cerpen : Dendy Wahyu Anugrah
“Menjadi mahasiswa organisatoris, jangan sampai mengidap penyakit Pencinta Es Krim. Segala sesuatu yang ditemuinya, nanti dijilat. Anggota dewan, pemimpin organisasi, Rektor dan segala rupa dijilat. Jilat menjilat sekarang sudah jadi pekerjaan banal. Segera periksakan diri anda di Pusat Kesehatan Pikiran Mahasiswa, jangan sampai tertular penyakit akut ini!”
Penulis Cerpen : Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar