BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Bias Mesra Sosial Media (Perspektif Teori Hegemoni Antonio Gramsci)

(Perspektif Teori Hegemoni Antonio Gramsci)

Pena Laut - Teknologi informasi menjadi kekuatan super dahsyat yang mampu menciptakan ketentraman sekaligus kegaduhan dalam lingkungan sosial manusia. Apalagi sejak muncul platform buatan Mark Zukcerberg, yakni Facebook, lalu Twitter, Instagram, dan sejenisnya dimana segala informasi menjadi super cepat dan sangat mudah diakses oleh setiap orang, dengan segala pengaruh baik dan buruk yang datang bersamanya. Bahkan dalam pekembangannya, media sosial menjadi momok baru bagi distraksi kebudayaan bangsa, serta musuh bagi kaum yang mengatakan diri mereka ‘menjaga tradisi’.

Muncul istilah-istilah baru yang disebabkan oleh pengaruh badai teknologi informasi ini di tengah-tengah masyarakat, seperti flexing, di mana seseorang mampu memamerkan harta yang notabene jarang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, lalu viral, yakni fenomena dimana algoritma atau kecenderungan media sosial yang membuat suatu peristiwa atau seseorang mampu tenar secara cepat. Dan buzzer, di mana seseorang dibayar untuk mengangkat engagement suatu produk dalam media sosial guna pemasaran atau tujuan tertentu. Dan masih banyak lainnya.

Fenomena tersebut memberi dampak yang signifikan terhadap bagaimana cara manusia berpikir, bersikap atas suatu peristiwa, juga berpengaruh terhadap proses dan hasil analisa seseorang atas suatu hal. Dengan kata lain percepatan informasi tersebut mampu membangun konstruksi pikiran manusia yang sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya.

Perkembangan sosial media tersebut semakin banyak dilirik dan digunakan, bahkan menjadi ‘senjata’ prioritas bagi banyak politisi, media konvensional, lembaga-lembaga konstitusi, pemerintahan, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan.

Hal tersebut sangatlah wajar terjadi apabila menilik dari data survei Status Literasi Digital 2021 yang disusun oleh Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Kominfo yang mengatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia lebih suka mencari informasi di media sosial daripada media lainnya, yang berada di angka 73 persen dari total 10 ribu responden. Tentu ini adalah angka yang begitu menggiurkan bagi lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan publik. Sebab, akses kepada masyarakat semakin mudah dijangkau—dan tentu saja murah, guna menyampaikan informasi, menyampaikan kehendak secara ekplisit maupun implisit, dan mencapai tujuan-tujuan mereka.

Teori Hegemoni yang digagas oleh seorang pemikir sosial beraliran Marxis asal Italia bernama Antonio Gramsci saya rasa mampu menjawab fenomena di atas. Gramsci mengemukakan bahwa hegemoni adalah kekuasaan sekelompok kelas terhadap kelas-kelas lain dengan metode persuasif. Artinya, kelanggengan kekuasaan suatu kelompok tersebut timbul berkat adanya persetujuan (konsensus), kepemimpinan, soft power, kesadaran, dan ideologi (Gramsci, Antonio. Catatan-catatan Dari Penjara. Pustaka Pelajar. 2013).

Konsep hegemoni yang dibawa oleh Gramsci berbeda dengan milik pendahulunya, Karl Marx. Perbedaan yang signifikan dari kedua teori ini adalah cara pendekatan kepada kelompok masyarakat objek hegemoni. Konsep Marx menekankan kepada tindakan represif kekuasaan terhadap wilayah kekuasaannya (koersi), sedangkan Gramsci lebih kepada pendekatan kebudayaan dan kultural.

Gramsci memilah superstrukture dalam masyarakat menjadi dua bagian; masyarakat sipil dan masyarakat politik, atau negara. Masyarakat sipil mencakup kelompok aparatus transmisi yang lazim dikenal dengan agamawan, universitas, akademisi, media massa, dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat politik yakni kelompok yang memiliki kuasa perintah secara yuridis, seperti polisi, legislatif, pemerintah, pengadilan, dan lain-lain. Kedua level superstruktur tersebut berada dalam ranah yang berbeda, yakni ranah persetujuan dalam masyarakat sipil, dan kekuatan dalam masyarakat politik (Sugiono, 1999:35).

Negara bagi Gramsci sama dengan masyarakat sipil ditambah dengan masyarakat politik melalui kuasa yang bersifat koersif—kombinasi kompleks antara hegemoni serta kediktatoran. Hal tersebut merupakan gabungan kekuatan koersi dari masyarakat politik melalui kekuasaan, dan kekuatan hegemonik dari masyarakat sipil melalui pendekatan ideologi dan kultural.

Konsep hegemoni akan tercapai dengan mengubah kesadaran, pola pikir, kesadaran, pandangan tentang kehidupan, norma, moral masyarakat, serta pendidikan. Konsep hegemonik dapat ditegakkan jika legitimasi kekuasaan tidak ditentang sebab ideologi, norma-norma, kultur, nilai-nilai, dan politiknya diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri kelompok subordinat (subaltern) sehingga lahirlah konsensus (Sugiono, 1999:36-37).

Algoritma sosial media adalah teknologi yang begitu menguntungkan bagi banyak pemangku kepentingan (entah politik-pragmatik, ataupun sosial-kemasyarakatan), kehadirannya terbukti sangat mampu dalam penyampaian suatu gagasan, ideologi, dan informasi dengan sangat mudah dan cepat. Sebab, setiap industri media sosial akan membaca pergerakan dari berbagai hal ataupun peristiwa yang banyak diminati oleh penggunanya di suatu wilayah ketertarikan tertentu.

Misalnya, suatu produk yang dikampanyekan/dipasarkan di media sosial yang menggunakan hashtag atau tagar tertentu dan digunakan oleh banyak akun pengguna media sosial untuk menaikkan brand awareness mereka agar semakin banyak dilihat oleh pengguna media sosial yang lain, dengan target yang spesifik. Inilah yang disebut algoritma sosial media.

Hal sama akan ditemui dalam urusan politik. Contoh, media kampanye seorang capres (calon presiden) yang biasanya harus merogoh kantong hingga ratusan juta, kini bisa dipangkas hanya dengan belasan juta untuk membayar pengelola sosial media perorangan, atau biasa dikenal dengan sebutan Buzzer.

Fenomena maraknya Buzzer dinilai sebagai gerakan hegemonik kelompok tertentu untuk menaikkan engagement dari gagasan dan juga citra mereka—yang tentu saja tampak baik, agar semakin banyak diketahui masyarakat luas. Para Buzzer juga berpotensi untuk memecah kebudayaan dalam masyarakat. Bagi Gramsci, ada pertalian yang erat antara politik dan kebudayaan, namun pertalian itu lebih jauh daripada pertalian yang sederhana dan mekanis. Kebudayaan akan dipecah-pecah terlebih dahulu dalam bentuk yang bermacam-macam bentuknya, sehingga melahirkan suatu kewajaran dalam anggapan masyarakat (common sense).

Kegiatan Buzzer bukan hanya digunakan sebagai pendongkrak kepentingan suatu kelompok agar dapat dilihat dan diketahui banyak orang. Namun, pengaruh Buzzer terhadap penumbuhan kepercayaan atas seorang pejabat publik atau lembaga publik sangat besar. Mereka berpotensi menanamkan opini terhadap suatu peristiwa agar dianggap sebagai suatu kebenaran oleh publik adalah tujuan utama dari kegiatan mereka (post-truth). Kondisi post-truth cenderung menggiring kebenaran ke arah selera yang diinginkan kelompok masyarakat tertentu meskipun pada dasarnya hal ini tak mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya. Dampaknya, masyarakat diselubungi antitesis dari pengetahuan dan kebenaran yang hakiki (Ball, 2016).

Hal ini dijelaskan pula oleh teori Efek Ilusi Kebenaran (Illusory Truth Effect) yang dikenal bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Lynn Hasher, David Goldstein dan Thomas Toppino pada tahun 1977, yakni fenomena timbulnya kecenderungan untuk mempercayai informasi yang salah sebagai suatu kebenaran, setelah adanya proses repetisi atau pengulangan (Wikipedia, 2021).

Seperti yang telah ditulis oleh Gramsci dalam bukunya Prison Notebooks : Catatan-catatan dari Penjara, ia mengemukakan bahwa ada tiga jenis tingkatan hegemoni, yakni hegemoni total (integral), hegemoni decadent (merosot), dan hegemoni minimum.

Hegemoni integral ditandai dengan afilisasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan kesadaran yang kukuh. Ini tampak dalam hubungan organisasi antara pemerintah dengan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak akan menemui kontradiksi dan antagonisme baik secara moral maupun etis.

Hegemoni decadent merupakan tingkatan kedua setelah hegemoni integral, dimana masih ada bentuk kontradiktif dan potensi disintegrasi pengaruh yang tampak maupun tersembunyi sekalipun sistem atau mekenisme hegemonik telah tercapai kebutuhannya, tetapi mentalitas atau reaksi massa tidak selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni.

Gramsci menggunakan istilah Blok Historis untuk menggambarkan kesatuan struktur dan suprastruktur yang ide-ide dan nilai-nilai diamini dan dianut secara bersamaan (Firmansyah, 2016).

Pada keadaan pertama dan konsep yang paling mainstream disebut dengan “korporatif-ekonomis”. Pada tahap ini, semua anggota memiliki rasa solidaritas dan perstuan antara satu dengan yang lain, namun tidak untuk kelompok-kelompok yang berpandangan lain, meski dalam satu kelas.

Tahap kedua menunjukkan di mana masing-masing anggota dalam satu kelas dapat menyatukan persepsi sebab dalam satu kepentingan yang sama.

Tahap ketiga, yang disebut Gramsci sebagai “fase yang sepenuhnya politik”, menandai berlangsungnya transendensi melampaui “batas-batas korporasi kelas yang semata-mata bersifat ekonomis” serta terbentuknya sebuah koalisi yang lebih luas yang menjangkau “kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain” yang juga sama-sama tersubordinasi.”

Media sosial sebagai salah satu bentuk pengendalian sosial dan bagian integral kebudayaan, merupakan suatu situs hegemoni. Dan penggunanya—dalam konteks ini adalah Buzzer, merupakan suatu aparat hegemonik. Dengan begitu, segala aktivitas kultural akan bermuara pada satu sasaran tunggal, yakni penciptaan satu kondisi, dan satu iklim tertentu melalui proses yang rumit. Penciptaan ini menuntut adanya perubahan kondisi sosio-kultural yang melalui kehendak-kehendak, dan tujuan-tujuan yang heterogen dapat disatukan.

Sebagai situs hegemoni, media sosial merupakan ajang pertarungan antar kelompok masyarakat. Sebagai filsafat, media sosial berperan dalam pembentukan pola pikir dan suatu kebudayaan dalam masyarakat, dan pemersatu keyakinan sosial-budaya yang sesungguhnya bertentangan. Meskipun dalam saat yang bersamaan, terdapat kelompok yang melakukan perlawanan atau counter dari sistem hegemoni. Sebagaimana gerakan pemersatuan, gerakan ini juga merupakan tindakan politik, merupakan usaha kelompok subordinat untuk menolak unsur ideologis yang datang dari luar kelompoknya (Faruk, 1999:74). Di dalam masyarakat selalu ada kelompok yang bersifat antagonistik, sehingga lahirlah dialektika sosial. Salah satu ciri dari kelompok yang berkembang ke arah dominasi adalah perjuangannya untuk berasimilasi dan bertarung secara ideologis dengan kelompok intelektual tradisional (Faruk, 1994:76).

Sumber:

Firmansyah, Muhammad. 2016. https://www.qureta.com/post/memahami-istilah-blok-historis-antonio-gramsci (diakses pada: 17/04/2023)

Zainuddin Ali, Zezen. Pemikiran Hegemoni Antonio Gramsci (1891-

1937) di Italia.

Wikipedia. 2021. https://id.wikipedia.org/wiki/Efek_ilusi_kebenaran (diakses pada: 15/04/2023)

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurhadi. Analisis Hegemoni Pada Iblis Tidak Pernah Mati

Karya Seno Gumira Ajidarma.


Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak