Amplop Lebaran dari Hannah Arendt
Pena Laut
... menit baca
Dengarkan
Pena Laut - Bersyukur adalah sebuah determinasi diri untuk menunjukkan bawah kita, sebagai manusia, merupakan makhluk yang senantiasa butuh akan kekuasaan Tuhan. Kenikmatan yang diberikan tidak pernah bisa tergantikan oleh apapun. Maka, bersyukur adalah bentuk afirmasi manusia bahwa mereka adalah makhluk yang lemah dihadapan Tuhan. Kemarin, kita telah menempuh perjalan selama satu bulan untuk menunaikkan ibadah puasa, tepatnya di bulan yang penuh dengan keberkahan, yakni Ramadhan. Puasa adalah salah satu manifestasi humanisme yang diajarkan oleh agama Islam kepada umatnya. Selain itu, kita juga dihimbau untuk mengerjakan amal sholeh agar mendapatkan keberkahan di bulan suci Ramadhan.
Setelah melewati bulan suci Ramadhan, kita akan bertemu di bulan kemenangan, bulan yang fitri, yakni bulan Syawal. Pada tanggal 1 Syawal, kita disunnahkan melaksanakan shalat Ied dan setelah itu, saling memaafkan satu sama lain. Pada saat hari raya atau biasa disebut dengan istilah “lebaran”, masyarakat bersilaturahim ke tetangga, saudara, teman maupun guru mereka untuk meminta maaf. Istilah yang populer di Jawa disebut dengan istilah “nglencer”. Suasana “nglencer” tersebut diwarnai dengan suka cita, bercengkerama bahkan banyak yang mengabadikan moment lebaran tersebut dengan selfi, nge-vlog, dan foto bersama. Hal ini menandakan, bahwa di hari lebaran memang menjadi hari kebahagiaan. Apalagi, tidak sedikit anak, saudara, suami dan keluarga yang merantau di kota bahkan negara lain, menyempatkan waktunya pulang ke kampung halaman untuk berkumpul keluarga. Sungguh moment yang sangat indah, bagaikan anak ayam yang sudah lama tidak bertemu ibu kandungnya. Meskipun ada tangis, tapi tangis itu adalah tangis bahagia. Meskipun ada tawa, tapi tawa itu bukan tawa diskriminatif.
Namun, bukan itu yang menjadi fokus tulisan ini. Melainkan bagaimana kita dapat melakukan refleksi atas diri kita masing-masing agar mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya, yakni perubahan yang lebih baik. Kelihatannya adagium “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini” sudah terkesan membosankan di telinga kita. Ya! Membosankan. Kendati demikian, bukan berarti kita harus meninggalkannya. Kita boleh bosan terhadap sesuatu, tapi tidak untuk meninggalkan. Barangkali, kebosanan yang kita rasakan disebabkan oleh diri kita sendiri. Kita lah yang membuat diri kita bosan terhadaop sesuatu. Ah, sudahlah. Perihal bosan, kita berhenti di sini.
Dalam merefleksikan sesuatu, agar tidak terkesan “serampangan”, kita harus menggunakan metode yang sederhana. Tidak ruwet, membingungkan dan rigor. Jadi, tulisan reflekstif ini mencoba menghadirkan pemikiran filsuf abad ke-20 yang bernama Hannah Arendt. Ia termasuk filsuf berpengaruh abad ke-20 yang berkontribusi dalam pemikiran politik antara lain, Hak Asasi Manusia (HAM), totalitarianisme, banalitas kejahatan, tindakan politik dalam ruang publik, martabat manusia dan lain sebagainya. Johanna Hannah Arendt lahir di Linden, Hannover (Jerman) pada 14 Oktober 1906. Sewaktu masih kecil, lingkungannya diwarnai kegelisahan, ketakutan dan duka cita karena genosida Nazi. Sebagai keturunan Yahudi, Arendt tidak hanya mendapatkan ancaman dari pihak Nazi, melainkan ia juga merasakan ketidakbebasan dalam mengekspresikan dirinya maupun pemikiran filosofisnya. Maka dari itu, dari refleksi sosio-politik Jerman yang menurutnya cenderung destruktif, Hannah Arendt mampu melahirkan pemikiran filosofis, terutama mengenai politik.
Konsep tindakan politik dalam kerangka epistemologi Hannah Arendt merupakan sebuah counter terhadap modernitas yang destruktif. Modernistas menurutnya adalah zaman kemenangan Animal Laborans (hewan pekerja) yang didominasi oleh administrasi birokratis dan kerja anonim. Bahkan, di masa ini totalitarianisme muncul sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan pada pelembagaan teror dan kekerasan. Dampak dari modernitas tersebut, salah satunya adanya diskontinuitas sejarah. Kita tidak dapat menemukan relevansi antara tindakan masa lalu dan masa sekarang. Terdapat jurang pemisah antara keduanya, sehingga konsekuensinya adalah generasi mendatang akan kesulitan membuat jalan baru.
Dari analasis diskontinuitas sejarah yang dihasilkan Arendt, maka salah satu jalan keluarnya adalah belajar dari sejarah atau masa lalu. Lantas, bagaimana korelasi lebaran dan pemikiran Hannah Arendt? Mari kita coba komparasikan!
Selama satu bulan penuh kita dituntut untuk melakukan kegiatan atau perilaku yang tetap berada dalam kebaikan. Jika kita melakukan hal baik, maka hal baik pula yang kita dapatkan, begitu juga sebaliknya. Tidak berhenti di sana, saat bulan Ramadhan amal kita dilipatgandakan. Kalau tidak salah sepuluh kali lipat. Maklum, penulis bukan ahli agama. Bukan pula “Kyai Youtube” yang berorientasi memperkaya subscriber. Adalah rugi jika dari hari ke hari kehidupan kita mengalami dekadensi. Yang seharusnya kita lakukan dan senantiasa kita raih adalah semakin hari, semakin bertambah pula kebaikan yang kita dapatkan. Sebagai contoh, bagaimana kita selama menjalani kehidupan terus mendapatkan hal-hal baru, agar dapat kita jadikan pelajaran. Hal baru yang dimaksud bisa didapatkan melalui, media sosial, buku, pengalaman seseorang bahkan dari sesuatu yang dianggap remeh. Jadi, seiring berjalannya waktu, bertambah pula ilmu atau sesuatu yang kita dapatkan. Hematnya, agar kita tidak rugi. Kalau dipikir, buat apa kita hidup atau melakukan sesuatu kalau kita rugi?
Dalam buku Tindakan Politik Perspektif Hannah Arendt, Maksimilianus Jemali, menuliskan bahwa filsafat Hannah Arendt tidak menutup kemungkinan bagi setiap individu untuk merefleksikan masa lalunya. Refleksi terhadap masa lalu adalah otonomi atau bagian dari kebebasan individu-individu dalam memaknai hidupnya di masa sekarang. Hal ini menandakan, bahwa masa lalu tidak harus dilupakan, justru sebaliknya, masa lalu menjadi objek refleksi untuk melangkah dan memaknai kehidupan yang sedang kita jalani saat ini. Konsepsi masyarakat tentang bagaimana merubah sikap, perilaku dan kebiasaannya cenderung mengharapkan perubahan yang cepat. Sekarang berkehendak, besok pagi bisa berubah. Atau, perubahan yang diharapkan dengan apa yang dilakukan tidak proporsinal.
Di momen lebaran semacam ini, meskipun sudah “kupatan”, kita harus merefleksikan diri kita sebelum dan sesudah lebaran. Apakah kita telah berubah, terutama dalam hal perilaku maupun pola pikir. Misalnya, saat sebelum lebaran kita sering mengatakan kata-kata kotor, kemudian setelah lebaran kita berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi berkata kotor atau, sebelum lebaran kita bermalas-malasan dalam menuntut ilmu, dan setelah lebaran kita beresolusi untuk semangat dalam menuntut ilmu. Namun, perlu digarisbawahi, bahwa perubahan tidak serta merta didapatkan dengan menunggu. Perubahan bukan “Bang Thoyib” yang lama tidak pulang-pulang. Kalau kata Che Guevara, revolusioner asal Argentina, “revolusi (perubahan) bukanlah buah apel yang jatuh ketika matang. Melainkan kitalah yang harus membuatnya jatuh”.
Selain penyataan bahwa masa lalu digunakan manusia sebagai sarana untuk memaknai kehidupan, Arendt juga berharap bahwa bagaimana refleksi terhadap sejarah masa lalu dapat melahirkan transformasi dalam diri manusia. Peran sejarah masa lalu dapat dilihat bukan hanya sebagai sejarah itu sendiri, melainkan sebagai penyebab adanya transformasi diri. Kata-kata yang masyhur dalam membahas masa lalu adalah, “Masa depan tidak jauh dari masa lalu”. Terlepas dari pandangan benar-salah terhadap adagium yang entah dari mana datangnya itu, kalau dilakukan “pembedahan” secara komprehensif, kita akan menemukan kebijaksanaan. Tanpa masa lalu, kita tidak akan pernah sampai pada masa depan. Bahkan, salah satu imuwan yang bernama Stan Spyros Draenos pernah menyatakan, kurang lebih demikian:
“Jika kita telah lupa atau dengan cepat berada dalam proses melupakan masa lalu kita, maka kita telah melupakan siapakah kita sebenarnya.”
Sebisa mungkin, semakin bertambahnya hari, minggu, bulan bahkan tahun, kita terus menambah kebaikan di dalam diri kita. Apalagi, di hari yang fitri seperti saat ini, kita harus membenahi niat kita, perilaku kita, pola pikir kita, semata-mata untuk kebaikan dan kita harus terus meraih “gelar” manusia yang sesungguhnya. Karena, sifat rakus dan membabi buta masih mendominasi dalam diri kita, tugas kita adalah mengalahkannya. Setelah berhasil menjadi mansia, barulah kita menjalankan tugas selanjutnya, yakni memanusiakan manusia.
Demikianlah isi “amplop” lebaran dari Hannah Arendt. Bukan uang, melainkan tulisan yang berisi pesan-pesan reflektif. Kemungkinan kita kurang refleksi, sehingga kehidupan menurut kaca mata kita terasa hingar-bingar, kemunafikan, distorsi dan lain sebagainya. Sesekali bolehlah kita ngopi sembari refleksi. Semoga bermanfaat.
Selamat hari raya Idul Fitri kepada para pembaca yang budiman, mohon maaf lahir dan bathin. Terlambat? Ah, ndak juga!
Penulis: Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar