BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Surat Terbuka Untuk Rektor Institut Agama Islam Ibrahimy (Bagian II)

Rektor Institut Agama Islam Ibrahimy

Pena Laut - Jika Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menulis surat untuk Kanjeng Nabi dan Fariz Alniezar juga demikian, menulis surat untuk Kanjeng Nabi II, maka saya akan menulis sebuah surat untuk pemimpin yang ada di Kampus tercinta.

Surat ini saya buatkan khusus untuk Bapak Rektor tapi bersifat terbuka, harapannya ketika beliau sudi membaca tulisan ini, beliau dapat memahami perasaan dan alasan mengapa saya menulis surat untuk beliau.

Tapi, tulisan ini juga diperuntukkan untuk seluruh civitas akademika Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy, Genteng, Banyuwangi. Bila surat-surat sudah tertulis, berarti ada sedikit persoalan yang belum sempat tersampaikan atau belum terealisasikan.

Jadi, daripada terlalu banyak basa-basi seperti mahasiswa baru yang ingin berkenalan dengan mahasiswi untuk dijadikan kekasihnya, saya langsung saja memulai surat ini.

Tapi, sebelum itu, persilahkan saya mengucapkan kalimat pembuka terlebih dahulu.

Bismillahirrohmanirrohim.

Dear Bapak Rektor beserta jajaran yang saya hormati, saya bukan mahasiswa yang berprestasi maupun mempunyai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang melangit. 

Bukan. Itu bukan saya, barangkali mahasiswa yang seringkali bertegur sapa, berkenalan akrab dengan para dosen dan ndak “neko-neko'' ketika kuliahlah yang mendapatkan IPK semacam itu.

Sudahlah, mengapa saya harus memperkenalkan diri, la wong kelihatannya nama saya tidak asing lagi di telinga njenengan.

Sebenarnya, ada beberapa persoalan yang mungkin njenengan lupa, khusnudzan saya, bahwa njenengan memang benar-benar lupa. Saya juga sadar, bahwa Al-Insanu Mahalul Khoto' wan Nisyan.

Nah, maka dari itu saya membuatkan surat terbuka khusus untuk njenengan, Pak. 

Njenengan masih ingat kan, Pak, tahun lalu kita bersama dengan kawan-kawan mahasiswa, juga ada Rektor dan Warek. Waktu itu, njenengan sebagai Wakil Rektor II yang menjawab pertanyaan seputar transparansi dana kampus.

Dari ketiga Wakil Rektor yang ada, gaya retorik njenengan saya suka. Apa Bapak pernah baca bukunya Aristoteles berjudul Retorika? Kok, kelihatannya lihai sekali dalam berbicara.

Tapi, toh itu hanya sebuah seni berbicara. Pertanyaan yang tadi, Cuma guyon kok, Pak. 

Persoalan yang saya maksud di atas, akan saya urutkan sesuai ingatan saya yang agak lupa-lupa ingat bak judul lagu grup band yang bernama “Kuburan” itu.

Jujur, Pak, saya sangat hormat dengan Bapak beserta jajaran. Karena, kita juga memahami betul bahwa hormat lebih didahulukan, urusan ketaatan, ya nanti dulu. Begitu kira-kira saya ini.

Jadi, ketika njenengan mendengar desas-desus bahwa saya ini tidak hormat dengan njenengan, langsung bilang saja kepada orang yang memberitahu njenengan, “Kamu kata siapa? dia lo sudah mengafirmasi diri, bahwa dia sangat hormat kepada saya. Hal itu ditulis dalam suratnya kepada saya.”

Eh, kok pengantarnya terlalu panjang, ya.

Wah! Ini kalau dalam pertandingan Sepak Bola sudah offside. Dapat kartu nggak, ya? Semoga bukan kartu yang bernama “Surat Peringatan”.

Saya pikir, sekarang waktunya menulis poin-poin yang ingin saya sampaikan kepada njenengan. 

Ihwal Transparansi Dana

Persoalan ini, sebelum njenengan jadi Rektor hingga sekarang masih bersifat problematis. Mengapa demikian?

Terbukti dengan adanya beberapa hal yang membuat mahasiswa “rasan-rasan” di kantin, kedai kopi, kelas, di bawah tangga, parkiran, waktu beli cilok dan sebagainya dan seterusnya. Perihal transparansi pendanaan yang dibayarkan mahasiswa kepada Kampus, belum memberikan titik terang.

Banyak mahasiswa yang “pengen” melihat dana yang mereka bayarkan ke Kampus itu dibuat apa saja. Hanya itu, kok, Pak.

Kalaupun ada regulasi yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak boleh menerima transparansi dana secara keseluruhan, ya njenengan tinggal tunjukkan ke kami, atau lewat perantara Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) atau Senat Mahasiswa (SEMA). Biar nanti kita diberi tahu oleh mereka.

Kalau persoalan ini hanya “ngene-ngene” ae, ya kami sebagai mahasiswa belum menemukan kepuasan, Pak. Saya terkadang membayangkan, Pak, jika pihak Rektorat atau Kepala Bagian Keuangan (Ka. Bagian Keuangan) yang baru saja ada pergantian—meski tidak semeriah pergantian Rektor kemarin—, memberikan data alokasi dana secara keseluruhan.

Menurut sebagian orang, hal yang menjadi permintaan saya itu—saya hanya mewakili mawon—dianggap utopia belaka. Tapi, dengan segala kesempitan berpikir saya, hal tersebut kayaknya bisa direalisasikan, jika tidak ada regulasi yang “melarangnya”.

Masak, iya, permintaan transparansi dana sebanding dengan Partai Komunis atau Hizbut Tahrir yang jelas-jelas ada pelarangan secara regulatif oleh Negara.

Perihal dana, cukup sakmenten mawon, Pak. Soalnya, tulisan ini hanya sebatas “mengingatkan” belaka.

Pertemuan Rutin Organisasi Intra Dengan Jajaran Rektorat

Seingat saya, pertemuan rutin perwakilan mahasiswa, dalam hal ini mahasiswa yang tergabung ke dalam Organisasi Mahasiswa Intra Kampus (OMIK), saat mengadakan audiensi yang bertajuk “Ngopi Bersama Rektor” tahun lau menghasilkan kesepakatan bersama, bahwa saat kepemimpinan Rektor yang baru akan mengadakan pertemuan rutin yang membahas Kampus wa akhwatuha.

Tapi, semenjak diputuskannya njenengan sebagai Rektor baru hingga saat ini, pertemuan yang dimaksud belum terealisasi.

Saya, lagi-lagi husnudzan, bahwa njenengan masih “ewuh pakewuh” mengurusi Kampus sepeninggalan Rektor yang lama. Sehingga, kesepakatan tersebut belum terlaksana dengan baik.

Oh, iya, saya ingat satu hal, waktu itu yang menjadi notulen adalah Bapak Warek III. Iya, saya ingat betul, kok. yang belakangan ini, saya berani memastikan, soalnya posisi saya waktu itu tepat di depan lurus Rektor yang lama. 

Jujur, ketika njenengan-njenengan kemarin mau menemui kami—meskipun Ka. Bagian Keuangan tidak hadir–, kami sangat senang sekali. Terutama saya pribadi, kalau diungkapkan jadi kalimat: Min Al-Dhulumat Ila Al-Nur. Kalau istilah kawan-kawan yang konsumsi literer-nya filsafat, menyebutnya Aufklarung.

Namun, ketika menyadari bahwa kesepakatan tersebut belum sempat terlaksana, secara bertahap, alam pikiran saya kembali ke Abad Pertengahan (middle age) atau juga disebut sebagai zaman kegelapan. Seketika mak pet!

Bahkan, njenengan beserta yang lain kala itu mengapresiasi adanya hal tersebut. Ya, katanya untuk bahan evaluasi. Kalau tidak salah, kesepakatan waktu itu pertemuannya dilaksanakan semester satu kali (saya bisa salah).

Semoga, njenengan berkoordinasi dengan mahasiswa yang ada di OMIK untuk membicarakan hal ini, agar mereka tidak usah “repot-repot” mengadakan acara untuk njenengan seperti acara kemarin, “Rektor Menyapa”.

Kalau menyapa, kok terkesan dari kejauhan. Agar lebih harmonis, dekat dan akrab, pokoke kersane sekeca (penak), seyogyanya hal ini dilaksanakan. Ya, ndak usah terlalu formal, Pak. Yang terpenting, esensinya jelas. 

Pembinaan Untuk Staf Rektorat

Memang soal pelayanan, perlu kesabaran ekstra. Sebenarnya, mereka sudah tak kasih tahu, Pak, bahwa kalian kalau ketemu staf Rektorat dan disuruh melunasi—padahal sudah sesuai prosedur–, mbok ya sabar.

Tidak berhenti di situ, saya juga “sok-sok”-an ndalil-ndalil, salah satu contohnya: Man Shabara Dzafira. Tapi, ya gitu, Pak. Rencang-rencang terkadang dibilang sulitnya bukan main, seperti menasihati buaya agar bisa memanjat kayak monyet! Terbayangkan, Pak, bagaimana sulitnya? 

Masih di dalam kesepakatan kita waktu audiensi yang bertempat di Auditorium KHR. As’ad Syamsul Arifin itu, bahwa salah satu kolega kami mengusulkan agar tempat untuk pembayaran mahasiswa itu, ditempeli kertas yang bertuliskan kurang lebih soal “keramahan” staf.

Kok, ndilalah, saya lupa redaksinya bagaimana. Alah, soal redaksi itu bukan hal yang krusial. Karena, mau staf, dosen, mahasiswa hingga pekerja yang ada di Kampus harus diberi pembinaan.

Kalau istilah pembinaan terlalu formil, ya diberi arahan. Kalau gak gitu, nanti berpotensi—ingat! Ada kata berpotensi—semaunya. Soalnya, mereka bertemu dengan mahasiswa yang mau membayarkan biaya kuliah.

Belum lagi, mereka (para mahasiswa) membawa segudang permasalahan terkait pembayaran. Hematnya, biar mahasiswa tidak tambah “mboseni” itu bagaimana caranya, itu kami serahkan kepada pihak terkait. 

Pembahasan Yang Masih “Hot” Di Rumpun Mahasiswa

Keadaan yang ada di rumpun mahasiswa Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy, Genteng, Banyuwangi, begitu kompleks. Sehingga, dalam menuliskannya satu persatu, kok, agaknya terlalu panjang, ya. Jadi, saya berusaha untuk mempersingkatnya dengan menyebutkan begitu saja. Antara lain: 

  1. Urgensi edukasi pelecehan seksual dan kekerasan seksual kepada mahasiswa.
  2. Mudahnya akses informasi perlombaan yang diadakan oleh pihak luar, agar mahasiswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensinya dan didukung penuh oleh pihak Kampus. Misalnya, Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM).
  3. Memberlakukan mekanisme yang tidak terkesan “membingungkan”. Seperti halnya mekanisme pencairan dana untuk kegiatan mahasiswa.
  4. Mengurangi tingkat emosionalitas terhadap “pertanyaan-pertanyaan” mahasiswa terkait kebijakan Kampus.
  5. Menampung dan mengkaji aspirasi yang datang dari rumpun mahasiswa 
  6. Dan beberapa hal lain yang tidak termaktub di sini, nantinya akan satu persatu diketahui dari mulut-mulut mahasiswa yang “memberanikan” diri untuk menyampaikannya.

Sebelum surat ini diakhiri, saya mengucapkan beribu terima kasih kepada siapapun yang membaca surat ini. Meskipun surat ini sebenarnya untuk Bapak Rektor Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy, akan tetapi sifatnya terbuka.

Bukankah dari keterbukaan akan menghasilkan paradigma yang moderat? Dan, semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai tulisan yang “mencemari” nama baik, wibawa maupun kedigdayaan Kampus.

Jujur, dari awal sampai sekarang, dalem tidak punya niat sedikitpun untuk demikian. Jika njenengan-njenengan menganggap demikian, saya pun juga mempunyai hak untuk membela, mengklarifikasi dan meluruskan tujuan-tujuan di balik tulisan yang jauh dari kata “ilmiah” dan “sistematik” ini.

Bahwa pretensi demikian kurang benar adanya. Dalem hanya berusaha belajar menulis dan menyampaikan apa yang menjadi “grundelan” sebagian mahasiswa.

Agar kelihatan bahwa saya ini min al-nahdliyyin, saya akan menuliskan salam penutup a la Nahdlatul Ulama (NU), 

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq
Wassalamualaikum wr wb.

Hormat Dalem,
Dendy Wahyu

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak