BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Konsep Disobedience (Ketidakpatuhan) Dalam Kerangka Epistemik Erich Fromm



Pena Laut - Erich Fromm (1900-1980) merupakan sosok pemikir yang seringkali dikaitkan oleh filsafat cinta. Tak heran, karena karyanya yang berjudul The Art of Loving (1956) sangat berpengaruh dan diminati oleh banyak kalangan, membuat namanya dikenal.

Ia juga salah satu tokoh Mazhab Frankfurt yang dikenal melalui karya-karyanya di bidang filsafat, sosiologi dan psikoanalis.

Pemikirannya yang luas dan lintas disiplin keilmuan membuatnya sejajar dengan para pemikir Mazhab Frankfurt lain seperti Adorno, Habermas, Foucault dan Horkheimer.

Fromm sendiri termasuk penulis prolifik. Karya-karyanya menyumbang banyak ide kreatif terkait nilai-nilai kehidupan dan masa depan kemanusiaan. (Mulia Ardi, 2021: 29).

Pemikiran From perihal ketidakpatuhan adalah salah satu indikasi bahwa ia secara radikal berusaha mencari sesuatu yang menjadi penyebab sebuah peradaban manusia yang terus menerus mengalami perubahan.

Perubahan yang dimaksud ialah sejarah peradaban manusia dari zaman kuno hingga apa yang kita namakan sebagai zaman yang serba Post—dengan segala kompleksitas yang terjadi.

Penulis akan berusaha memaparkan konsep yang menarik dari pemikiran Fromm mengenai Disobedience (Ketidakpatuhan).

Menurut pandangan mayoritas (masyarakat), ketidakpatuhan merupakan sesuatu yang nista, bengis, bahkan terbilang dosa. Berbeda dengan kepatuhan. Ia menjadi sebuah tindakan yang dianggap masyarakat sebagai suatu kebajikan, kebaikan moral hingga dapat mendatangkan pujian.

Namun, dalam epistemologi Fromm, hal semacam itu merupakan konklusi yang terkesan terburu-buru. Ketidakpatuhan dan kepatuhan seharusnya dipahami secara proporsional, agar tidak terjadi pembiasan dalam memahami istilah tersebut.

Menurut Erich Fromm, sejarah umat manusia berawal dari ketidakpatuhan dan kepatuhan akan mengakhiri sejarah umat manusia.

“Sejarah umat manusia berawal dari tindakan ketidakpatuhan, dan bukan tidak mungkin sejarah umat manusia justru akan berakhir karena tindakan kepatuhan.” (Fromm, 2020: 7) Mengapa demikian?

Kita dapat melihat, dalam tradisi Ibrani dan Yunani percaya bahwa sejarah umat manusia berawal dari tindakan ketidakpatuhan.

Kisah Adam dan Hawa adalah satu yang juga dijadikan rujukan oleh Fromm tentang ketidakpatuhan manusia. Tidak hanya itu, tokoh mitologi Yunani yang bernama Prometheus juga dijadikan sebagai penguat atas tesis tersebut.

Prometheus dalam mitos Yunani juga menganggap semua peradaban manusia sebagai akibat dari tindakan ketidakpatuhan. Prometheus mencuri api pengetahuan dari para dewa dan menjadikan pengetahuan itu sebagai peletak dasar evolusi manusia. Tak akan ada yang namanya sejarah umat manusia kalau bukan karena “kejahatan Prometheus’ ini.” (Fromm, 2020: 9)

Sebuah tindakan ketidakpatuhan membuat sejarah umat manusia terus mengalami perkembangan. Namun, jika tindakan ketidakpatuhan ini dilakukan tidak sesuai porsi dan proporsi, maka yang akan terjadi adalah sebuah kehancuran. Hematnya, tindakan tersebut harus dilakukan secara proporsional.

Sebuah sikap yang mengikuti kesadaran nurani, hukum kemanusiaan dan akal budi adalah ciri dari revolusioner. Karena, jika manusia hanya sam’an wa tho’atan kepada segala sesuatu—taklid buta—maka, ia adalah seorang budak.

Sebaliknya, jika manusia hanya mengatakan “tidak” kepada segala hal, yang bertindak atas dasar emosional belaka, maka ia seorang pemberontak.

Untuk memahami maksud Fromm, maka di bawah ini akan dijelaskan mengenai kualifikasi penting, agar tidak terjadi kerancuan istilah.

Kepatuhan Heteronom dan Kepatuhan Otoriter

Kepatuhan heteronom adalah kepatuhan terhadap seseorang, instansi atau kekuasaan yang ditandai dengan tindakan penyerahan diri, bersifat pasrah dan mengikuti penilaian dari orang lain.

Sedangkan, Kepatuhan otoriter adalah sebuah kepatuhan terhadap akal budi, nalar dan determinasi diri yang mencoba mengafirmasi diri.

Perbedaan keduanya akan dijelaskan lebih mendalam oleh Fromm sebagai berikut;

Kesadaran Nurani

Kesadaran ini berimplikasi terhadap dua fenomena yang bertentangan satu dengan yang lain; kesadaran otoriter dan kesadaran humanistik.

Pertama, kesadaran otoriter adalah suara otoritas tertentu yang tertanam dalam diri (internalisasi), yang kita sedia membuatnya senang yang kita takut membuatnya murka. (Fromm, 2020: 12)

Kesadaran ini merupakan faktor eksternal yang telah terinternalisasi, sehingga membuat diri seseorang merasa bahwa hal tersebut berasal dari dirinya sendiri.

Misalnya, seseorang melakukan sesuatu karena rasa takut atau khawatir, jika tidak melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya. Atau, melakukan sesuatu karena ingin mendapatkan pujian dan penghargaan belaka.

Kedua, kesadaran humanistik adalah suara yang berasal dalam diri setiap manusia dan tidak bergantung pada sanksi ataupun penghargaan yang bersifat eksternal.

Hal tersebut diperjelas oleh Fromm, bahwa kepekaan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai karakteristik humanis adalah ciri dari kesadaran humanistik.

“Kesadaran humanistik didasarkan pada fakta bahwa sebagai manusia, kita memiliki pengetahuan intuitif tentang apa yang manusiawi dan tidak manusiawi, apa yang kondusif dan destruktif bagi kehidupan.” (Fromm, 2020: 13)

Lebih lanjut, Fromm menegaskan, kepatuhan kepada “kesadaran otoriter” yang berprefensi kepada faktor eksternal cenderung melemahkan “kesadaran humanistik” tersebut.

Karena, kesadaran yang ditawarkan oleh Fromm merupakan sebuah kesadaran yang berasal dari diri setiap manusia. Namun, karena (masih) banyaknya “hijab-hijab” yang menghalanginya, membuat manusia belum sampai kepada kesadaran yang diharapkan Fromm; kesadaran humanistik.

Kesadaran Otoriter Rasional dan Irasional

Tindakan atau sikap kepatuhan terhadap otoriter yang ada di luar diri seseorang, ipso facto, berupa penyerahan diri, oleh Fromm dibagi menjadi dua bagian. Otoriter rasional dan ortoriter irasional. (Mulia Ardi, 2021: 42)

Otoritas rasional direpresentasikan dalam hubungan guru dan murid yang masing-masing bisa saling menerima disebabkan adanya tujuan dan arah yang sama. Sedangkan otoritas irasional ditunjukkan dalam relasi majikan dan budak yang tidak searah atau saling bertolak belakang.

Dalam otoritas rasional, hubungan antar kedua belah pihak berorientasi kepada sesuatu yang saling menguntungkan satu sama lain (simbiosis mutualisme).

Tidak ada kesenjangan antara kedua belah pihak. Hal ini dicontohkan melalui hubungan guru dan siswa. Keduanya mempunyai tujuan yang sama dan tidak bersifat eksploitatif—tentu sesuai dengan peran masing-masing.

Sedangkan, dalam otoritas irasional terdapat salah satu pihak yang mengalami eksploitasi, represi hingga diskriminasi. Terdapat kesenjangan kepada salah satu pihak. Seperti halnya relasi majikan dan budak atau yang seringkali menjadi kajian sentral mengenai hal ini adalah kaum borjuis dan proletar; buruh.

Relasi antara keduanya tidak sehat. Dalam arti, salah satu pihak mengalami eksploitasi yang berkepanjangan. Si borjuis hanya mementingkan dirinya sendiri—kesejahteraan—tanpa memikirkan kesejahteraan buruh. Menurut Fromm, hal semacam ini merupakan otoritas irasional.

Mengenai kedua otoritas tersebut, dapat memberikan gambaran bahwa, otoritas rasional lebih terbuka dan tidak terkesan memaksa dalam praktiknya. Atau, dapat diterima sebagai sesuatu yang benar tanpa adanya paksaan atau indoktrinasi.

Berbanding terbalik dengan otoritas irasional. Otoritas yang kedua ini mempunyai tendensi kepada indoktrinasi dan sugesti, sehingga manusia tidak dapat dengan bebas untuk mengatakan “tidak” terhadap sesuatu yang membatasinya.

Pribadi yang Bebas Menurut Erich Fromm

Seseorang bisa menjadi pribadi yang bebas karena tindakan ketidakpatuhannya, dengan belajar mengatakan “tidak” pada kekuasaan.

Tetapi, kondisi kebebasan itu tidak bisa hanya diraih dengan memiliki kemampuan untuk tidak patuh, karena kebebasan itu sendiri adalah pra-kondisi untuk tidak patuh. (Fromm, 2020: 16)

Kebebasan adalah sebuah manifesto bagi setiap individu yang berusaha mengekspresikan dirinya. Menurut Fromm, manusia menjadi bebas ketika ia berani mengatakan “tidak” pada kekuasaan.

Namun, tidak berhenti di situ, pribadi yang bebas tidak hanya “modal” berani untuk tidak patuh saja, melainkan harus mempunyai kemampuan atau kualitas yang matang. Karena, jika hanya bersikap tidak patuh—atas dasar emosi—maka seseorang hanya menjadi pemberontak, bukan revolusioner.

Terdapat distingsi menurut Fromm tentang pemberontak dan revolusioner. Untuk sekedar menjadi pembanding, silahkan membaca pemikiran Mikhail Bakunin dalam buku God and The State (Tuhan dan Negara).

Jika seseorang tidak mempunyai kapasitas untuk menentukan kebebasannya sendiri, maka ia tidak akan pernah berani tidak patuh pada kekuasaan.

Fromm secara eksplisit mengutarakan bahwa sistem sosial, politik, dan agama apa pun yang mengklaim kebebasan, tetapi mencegah ketidakpatuhan, tidak berhak bicara tentang kebenaran (Fromm, 2020: 16)

Alasan mengapa kita tidak sampai berani mengatakan “tidak” pada kekuasaan atau tidak berani untuk tidak patuh adalah karena hampir sepanjang sejarah umat manusia mengatakan bahwa “kepatuhan” merupakan kebajikan dan “ketidakpatuhan” adalah kenistaan yang tidak bisa ditawar.

Hal ini dikuatkan oleh statement Fromm sebagai berikut :

“Alasannya sederhana: karena hampir di sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, kelompok minoritas selalu menguasai yang mayoritas. Aturan hidup ini niscaya karena kesenangan dan kenikmatan hidup hanya cukup menerima remah-remahnya saja.

Jika segelintir orang ini ingin mempertahankan kehidupan mereka yang penuh kenikmatan, ingin lagi dan lagi sampai melimpah lebih dari cukup, dengan menyuruh orang kebanyakan (mayoritas) agar melayani dan bekerja buat mereka, maka satu persyaratan harus terpenuhi, yaitu orang kebanyakan itu harus belajar patuh.” (Fromm, 2020: 16)

Kepatuhan dalam konstruk pemikiran Fromm, merupakan tindakan yang eksploitatif segelintir orang yang berorientasi mensejahterakan golongannya atau pribadinya.

Hal ini menjadi banal, jika kita melihat saat ini banyak masyarakat yang “merongrong” kesakitan karena penindasan struktural-sistematis yang dilakukan oleh segelintir orang; oligarki, kapitalis, feodalis.

Kendati demikian, menurutnya, hal tersebut bisa saja menjadi kehancuran bagi segelintir orang tersebut, jika orang kebanyakan sadar akan dirinya yang tereksploitasi. Sehingga, melahirkan gerakan massa untuk memakzulkan kekuasaan yang zalim.

Sebuah perlawanan atau ketidakpatuhan tidak dapat dipisahkan dari atmosfer intelektual. Hal tersebut menjadi pertanda munculnya para filsuf zaman Pencerahan (Aufklarung).

Suasana kritis merupakan sebuah keindahan yang dilandasi oleh sentralitas akal budi dan nalar. Perlawanan yang dipelopori oleh aktivis intelektual pada zaman ini tidak lain adalah perlawanan terhadap proposisi yang dilandasi oleh tradisi, takhayul, kepercayaan, dan kekuasaan absolut.

Tak heran, jika pada zaman Pencerahan, terdapat semboyan seperti “Sapere Aude!” (berani berpikir sendiri) atau “de omnibus est dubitandum” (apapun itu, orang harus melakukannya).

Untuk mengakhiri pembahasan mengenai konsepsi ketidakpatuhan a la Erich Fromm, di bawah ini adalah pernyataannya yang harus diingat dan dilakukan oleh segenap manusia—khususnya aktivis dan organisatoris.

“Manusia organisasi kehilangan kapasitas dan kemampuan untuk tidak patuh, karena ia sebenarnya sudah tidak menyadari lagi bahwa selama ini ia sudah bersikap patuh.

Pada titik nadir bentang sejarah ini, kemampuan untuk meragukan, mempertanyakan, mengkritik, dan tidak patuh mungkin satu-satunya tonggak penentu antara masa depan umat manusia dan akhir peradaban.” (Fromm, 2020: 19).

Sumber :

Fromm, Erich. Perihal Ketidakpatuhan. terj. M. Isran. Yogyakarta: Ircisod, 2020.
Ardi, Mulia. Erich Fromm Dan Ketidakpatuhan Publik Di Masa Pandemi Covid-19. Jakarta : Alim’s Publishing, 2021.


Oleh : Dendy Wahyu Anugrah (Mahasiswa Softinala Institute)

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak