Pena Laut - Di sebuah desa yang kumuh dan penuh asap pabrik yang mewarnai desa kami, banyak masyarakat yang mempunyai gangguan pernafasan. Desa Jatikebo adalah sebuah desa yang berada di balik layar kemegahan kota yang seringkali dijadikan “staycation” oleh para turis dan pejabat.
Namaku adalah Alif, dulu bapak memberi nama tersebut karena teringat ketika dulu sewaktu mengaji, huruf favoritnya adalah Alif. Tak heran, jika namaku tidak mempunyai maksud atau makna tertentu, karena bapak tidak pernah belajar filsafat, katanya.
Kehidupan di desa yang bisa terbilang memprihatinkan itu, aku merasa bahagia karena mempunyai teman-teman yang sangat mengerti aku—maksudnya, selalu mau diajak bermain.
Biasanya, ketika sepulang sekolah kita istiqomah dalam menjalankan permainan demi permainan. Misalnya, mulai dari petak umpet, sepak sodor, mandi di kali, terakhir masak - masakan di rumah teman perempuanku untuk mengisi perut yang kosong-melompong.
Geng pertemanan yang diberi nama Sembilan Unta—meskipun jumlah anggotanya masih lima orang—yang terdiri dari Sukemi, Rendy, Kamto dan si cantik Mega.
Geng kami ini dideklarasikan pada 12 Desember tahun 2021 bertempat di rumah tua bekas Belanda yang menurut warga desa kami, rumah itu angker. Tapi, karena warga tidak berani mendekati rumah itu, akhirnya rumah peninggalan belanda itu kami jadikan markas besar Geng Sembilan Unta dan rumah tua itu kami beri nama “Pipolondo”. Mengingat, bahwa Pak Karni sering mengucapkan kalimat itu waktu pelajaran Matematika dan lagi pula nama itu juga sesuai, karena ada kata “Londo”-nya.
Waktu itu aku sedikit bosan dengan permainan yang hanya itu-itu saja, tidak ada perubahan sama sekali. Permainan juga harus ada revolusi, pikirku. Di tengah teman-temanku yang bermain sepak sodor—entah di desa kalian apa menyebutnya—ada suara radio yang terdengar pelan, “Kita harus melawan segala...........susah payah kita...” (suara yang terputus-putus karena diterpa oleh angin rindu).
Karena penasaran, aku berusaha mencari asal suara radio itu dan ternyata, suara itu terdengar jelas di rumah Pak Kades Untung, padahal hidup dia banyak ruginya, yang saat itu beberapa orang berkumpul. Ada Pak Kadus, Carik, RT dan RW, Ketua Ranting NU, Ibu Muslimat dan masih banyak lagi, karena bukan tujuanku untuk menyebutkan satu persatu orang yang ada di sana. Selang beberapa menit, radio dimatikan. Lalu, Pak Kades memulai pembicaraan yang berada di halaman rumahnya.
“Menurut pemahamanku, mendengar pidato tersebut, kita harus berusaha melawan atas ketertinggalan dan ketertindasan desa Jatikebo!” ucap Kades, sambil mengangkat tangannya ke langit dan penuh semangat berkobar, seperti waktu aku bertanya pada pelajaran biologi karena gurunya cantik.
Orang-orang yang ada di sana mengangguk-angguk layaknya rumput gajah yang tertampar angin. Maklum, di desa kami yang berpendidikan tinggi justru tidak pernah pulang, katanya sudah sukses di kota orang, jadi tidak mau kembali di desa yang terbelakang ini. Uh! naif sekali.
Mendengar pembicaraan Pak Kades itu, aku langsung berlari menuju ke tempat bermain Geng Sembilan Unta yang ada di halaman Markas Besar Pipolondo untuk memberi kabar kepada kolega-kolegaku. Oh, iya, sekedar informasi belaka, bahwa kedudukanku di geng ini adalah Imam Besar. Jadi, aku yang memimpin mereka. Dulu, waktu pembentukan geng ini, mereka sepakat dan berjanji bahwa aku tidak boleh otoriter. Setibanya aku di markas, kupanggil teman-teman dengan terengah-engah.
“Sukemi!....Rendy!....Kamto!...Si Cantik Mega! Kemarilah! Aku punya informasi penting. Ini instruksi Imam Besar.”
Setelah itu, mereka berkumpul dengan badan penuh keringat, untung saja sudah bawa kanebo. Dengan mata penasaran, Kamto yang botak licin itu menimpali.
“Ada apa Imam besar?” tanyanya dengan badan tegap seperti tentara Nazi.
“Aku baru saja di rumah Pak Kades, tadi di sana ada konferensi meja lonjong!”
“Maksudmu?” tanya Kamto
Mata tajam mereka semua tertuju padaku seperti guru Bimbingan Konseling ketika terdapat siswanya yang terkena kasus. Informasi ini penting, maka untuk membahasnya tidak sembarang tempat. Maka, kuajak teman-teman untuk berada di ruang rapat markas.
“Karena ini sifatnya penting, alangkah baiknya kita masuk ke dalam, ke ruang rapat.”
Mereka semua menyetujui permintaanku. Ruang rapat kita sederhana saja, meja bundar kecil, toples berisi permen dan tumpukan buku-buku sastra yang tidak lazim untuk anak seusia kita, seperti karya-karya Leo Tolstoy, Karl May, Ernest Hemingway, JP. Sartre, Albert Camus, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan masih banyak lagi.
Ketika rapat, pasti salah satu dari kita bergiliran menjadi pembuka rapat, kali ini adalah giliran Si Cantik, Mega. Dengan suaranya yang lembut agak cempreng, ia membuka rapat.
“Assalamualaikum, sebelum rapat dilaksanakan, mari kita berdoa agar rapat kita berjalan dengan lancar dan nantinya akan menghasilkan keputusan yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat pada umumnya, terkhusus bagi geng kita. Al fatihah.”
“Terimakasih, untuk mempersingkat waktu, saya persilahkan kepada Imam Besar untuk memimpin jalannya rapat kali ini. Waktu dan tempat kami persilahkan.” Tambahnya.
Dengan mata yang masih tajam dan was-was, aku menengok ke kanan dan ke kiri, siapa tahu ada Petrus (Penembak Misterius) yang menjadi mata-mata dan berusaha menangkap kita semua. Siapa tahu?!
“Assalamualaikum, para kamerad Geng Sembilan Unta yang ternyata jumlahnya hanya lima orang. Semoga nantinya terwujud cita-cita kita untuk menyempurnakan geng kita ini dengan sembilan orang. Aamiin.”
“Di saat kalian sedang asyik bermain, aku mendengar suara radio yang lirih. Akhirnya aku penasaran dan mencoba mencari asal suara radio tersebut. Tidak lama, asal suara radio ternyata di rumah Pak Kades Untung yang ternyata beliau banyak ruginya. Di sana beberapa orang berkumpul untuk mendengarkan pidato seseorang yang tak pernah ku kenal siapa namanya. Tapi, kurang lebih pidato yang disampaikan adalah menyerukan masyarakat yang ada di desa untuk melawan segala bentuk penindasan dan ketertinggalan desa kita, yakni Desa Jatikebo.”
Tiba-tiba Sukemi yang sedari tadi bengang-bengong memotong perkataanku.
“Lantas, pentingnya dimana, Lif. Eh, Imam Besar?” dengan jari telunjuk yang tidak pernah menyerah mencari kotoran yang ada di dalam lubang hidungnya itu.
“Bagaimana engkau dapat mengerti pokok persoalannya di mana, sedangkan aku belum selesai memberikan informasi kepadamu? Oke, untuk menghemat waktu, akan aku berikan poin pembahasan rapat kita kali ini. Dari apa yang sedikit aku dengar dari ‘ndakik-ndakik’-nya orang-orang tadi, bahwa mereka berusaha menjalankan revolusi. Nah! Ini pembahasan kita, kalian tahu apa itu revolusi?” tanyaku dengan mata yang terus menatap raut wajah mereka sedang berpikir seperti para filsuf yang berpikir tentang kebenaran Idealisme atau Materialisme.
Si Rendy, adalah anak kampung sebelah yang cerdas. Dia yang selalu tanggap tiap ada pembahasan semacam ini. Maklum, dia sekolah di sekolah dasar ternama dan selalu juara. Setelah aku selesai memberikan persoalan yang harus dibahas, ia langsung menjawab.
“Aku pernah mendengar kata itu di sampul buku yang dibawa ayahku. Kalau tidak salah judulnya ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ tulisan Ir. Sukarno. Waktu aku bersama ayah, kuberanikan diri untuk bertanya apa itu revolusi. Kemudian ia menjawab dengan tersenyum, bahwa revolusi adalah buah apel yang dijatuhkan, bukan menunggu buah apel itu jatuh dengan sendirinya,” jawab Rendy.
Kamto, kulihat sedari tadi menggaruk-garuk kepalanya yang licin membuat jari-jarinya beberapa kali terpeleset olehnya, kemudian menanyakan uraian Rendy yang didapat dari ayahnya.
“Apakah harus buah apel? Sedangkan di desa kita tidak ada apel. Adanya nangka, jambu, pisang, singkong. Berarti, desa kita mustahil menjalankan revolusi, soalnya tidak ada apel,” Kamto.
Dari ungkapan Kamto, kita semua tertawa terbahak-bahak atas keluguannya. Padahal, sebenarnya yang disampaikan Rendy berupa metafora.
“Ah, kamu ini, To, ada-ada saja,” kata Si Cantik Mega.
Kemudian Mega mencoba mengajukan pendapatnya. Ketika Mega akan mengutarakan pendapat, kita semua sebisa mungkin untuk tidak membuat suara sedikitpun, karena suaranya yang lembut dan landai. Terkadang, kita sempat dibuatnya mengantuk.
“Kalau menurut sepengetahuanku, revolusi adalah perubahan. Karena, waktu pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Bu Santi pernah berkata bahwa ada teori C. Darwin tentang evolusi manusia. Bahwa evolusi adalah perubahan bertahap. Kalau menggunakan ilmu cocoklogi (mencocokkan), berarti revolusi adalah perubahan atau berubah. Soal berubah seperti apa, aku belum sampai kesana,” ujar Si Cantik anak makelar hewan itu, segala hewan dijual oleh ayahnya. Mulai yang berkaki dua, empat sampai yang tidak berkaki, seperti ikan dan ular.
“Aku masih bertanya-tanya,” Sukemi menanggapi, “Revolusi ini sebenarnya istilah dari mana dan untuk apa kita harus menjalankan revolusi? Padahal, kata Aristoteles, segala sesuatu yang kita temui ini bergerak. Jadi, aku masih bingung.”
Karena aku Imam Besar, maka aku harus berusaha menertibkan rapat kali ini.
“Ehem….Ehem, jawaban yang kalian utarakan tidak salah, kok. Toh, waktu di sekolah kita tidak diberitahu tentang apa itu revolusi. Kita mendengar istilah itu baru ini, dari pertemuan yang diadakan di rumah Pak Kades. Tapi, aku berusaha menarik benang dari jawaban-jawaban kalian. Bahwa, revolusi adalah sebuah gerakan untuk merubah suatu tatanan yang (mungkin) dirasa terdapat ketimpangan di sana. Negara, misalnya. Aku pernah membaca, dulu di Prancis ada revolusi pada tahun 1789-1799 yang sering disebut Revolusi Prancis. Katanya, masyarakat Prancis kala itu berusaha menggulingkan Raja Louis XVI yang lalim. Sehingga, rakyat jelata dan kaum borjuis merasa terbebani dengan adanya kebijakan raja tersebut. Di Rusia juga ada revolusi pada tahun 1917 yang dipelopori oleh revolusioner kala itu untuk menggulingkan Dinasti Tsar II. Sehingga, nantinya berdiri Uni Soviet.”
“Jadi, konklusinya revolusi adalah perubahan. Sudah itu aja, kalau mau belajar secara mendalam tentang hal ini, nanti kita buat konferensi besar-besaran dan mengundang geng-geng lain untuk bergabung, agar kita juga mendapatkan pandangan lain,” pungkasku.
Karena waktu sudah menunjukkan jam 15.15 WIB, sedangkan mengaji di Ustadz Sobari dimulai pada pukul 15.30 WIB, maka kita sepakat bahwa pekan depan akan membuat konferensi besar yang tidak ada meja, sederhana saja.
“Karena ngaji kurang lima belas menit lagi, maka rapat kali ini dirasa cukup dan kita bertemu minggu depan. Terimakasih atas waktunya kamerad-kamerad, jangan lupa memprioritaskan bermain dan terus membaca. Karena sekarang ini banyak orang yang suka ndakik-ndakik tapi esensinya luput dari pembahasan. Dariku Imam Besar Geng Sembilan Unta, Wassalam.”
Si Cantik Mega kemudian menutup rapat dengan segera, kemudian kami berlari berhamburan ke rumah masing-masing, karena kalau telat mengaji, pukulan rotan Ustadz Sobari seperti brutalitas aparat kepada massa aksi menanti. Sebelum tiba di rumah, kami selalu bersiap diri untuk menerima serangan bedak yang menginvasi wajah kami dari ibu setelah mandi.
Oleh : Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar