BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Banalitas Intelektual (Studi Kasus di IAI Ibrahimy Banyuwangi)

Banalitas Intelektual

Pena Laut - Pendidikan sebagai salah satu elemen yang sangat penting dalam masyarakat, seringkali menjadi fokus pembahasan tersendiri dalam dunia akademisi.

Beragam perspektif dihadirkan guna menyelesaikan problematika yang ada dalam dunia pendidikan. Mulai dari sistem pendidikan, lembaga pendidikan hingga ketimpangan yang ada di dalam relasi kuasa pendidikan.

Sebagai contoh, biasanya para kritikus pendidikan menghadirkan pemikiran Paulo Freire (Pendidikan Kaum Tertindas) sebagai “senjata” ampuh di medan laga pertempuran dialektis atau menghadirkan gagasan baru, sehingga memunculkan sintesis yang akan menjadi hidangan manis dalam dunia pendidikan.

Terminologi Banalitas adalah hasil pemikiran dari filsuf yang mempunyai pengaruh pada Abad ke 20, yakni Hannah Arendt (1906-1975).

Dalam bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, Arendt mengistilahkan banalitas sebagai kejahatan yang hilang ciri jahatnya, dianggap wajar atau biasa.

Arendt mengungkapkan istilah “banalitas kejahatan” untuk mendeskripsikan situasi yang dialami Eichmann, prajurit Nazi. Eichmann tidak merasa melakukan kejahatan terhadap kaum Yahudi.

Eichmann merasa hanya melakukan kewajiban di satuan militernya, bahkan ia menyarankan untuk mempertanyakan lagi aturan-aturan dasar di satuan militernya karena seharusnya dia naik pangkat setelah menunaikan tugas (Wattimena, 2011).

Kendati Eichmann sebagai tentara Nazi, ia tidak merasa sebagai subjek atau pelaku kejahatan atas kaum Yahudi. Ia bukan orang yang jahat dan penuh siasat, melainkan orang biasa yang tidak tahu apa-apa. Karena ketidaktahuannya itulah, daya kritis Eichmann menjadi terbunuh. 

Untuk menilai sistem pendidikan, khususnya perguruan tinggi, penulis menggunakan istilah banalitas sebagai landasan filosofis untuk menganalisis realitas yang ada di tempat para Dewa Intelektual (meminjam istilah Mahbub) tersebut.

Kendati demikian, bagaimana nanti hasilnya, di sini penulis hanya akan menyebutkan indikator perguruan tinggi yang mengalami kebanalitasan. Pun tidak berusaha mendiskreditkan salah satu pihak atau mempunyai tujuan yang bersifat pragmatis di balik tulisan ini.

Melihat kampus yang ada di Indonesia terlampau banyak, maka penulis hanya mengambil salah satu perguruan tinggi yang ada di Kabupaten Banyuwangi, yakni Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy, Genteng.

Tentang Banalitas Intelektual 

Banalitas intelektual adalah suatu kondisi yang ditandai dengan tiga hal, yaitu pendangkalan pemikiran yang tidak disadari, merosotnya kualitas akademik, dan kualitas intelektual.

Kualitas akademik dapat dipahami sebagai kemampuan penguasaan ilmu, sedang kualitas intelektual ialah komitmen akademisi terhadap bidang ilmu yang digeluti (Adinda S, 2013).

Merosotnya kualitas akademik, misalnya terdapat dosen yang belum menguasai mata kuliah yang diajarkan dan hanya “menggugurkan” kewajibannya dalam menulis jurnal ilmiah.

Penguasaan dalam materi perkuliahan sangat berimplikasi pada transformasi ilmu pengetahuan. Atau, bagaimana dosen dan mahasiswa terus belajar di dalam maupun di luar kampus dengan mengadakan diskusi-diskusi kecil—Halaqah. Hal ini dapat memicu adanya pemahaman dalam ilmu pengetahuan.

Pengertian intelektual disadari memiliki arti yang sangat luas. Pengertian intelektual yang dimaksudkan adalah pembatasan pada kegiatan intelektual kampus yang aktivitasnya berada di perguruan tinggi (Nugroho, 2012: 7).

Indikator Banalitas Intelektual yang ada di Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy ialah sebagai berikut :

Pengkhianatan Akademik 

Pengkhianatan akademik yang dimaksud ialah, para akademisi tidak lagi mementingkan ilmu pengetahuan sebagai landasan untuk mencari kebenaran, keadilan, penguasaan ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada pengabdian masyarakat.

Misalnya, dosen yang lebih mementingkan kerja-kerja pragmatis untuk menghasilkan pendapatan lebih yang ada di luar kampus, konsekuensinya perkuliahan seringkali diliburkan atau tidak pernah mengajar sama sekali.

Anehnya, dosen yang seperti ini justru dipertahankan oleh pihak Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy. Meskipun sifatnya pengabdian, seharusnya pendidikan—jam perkuliahan--menjadi prioritas dosen tersebut. Istilah populernya Lillahi Ta’ala. Ini bukan soal gaji, melainkan soal generasi.

Intelektual yang Mengejar Popularitas 

Fenomena ini biasanya terjadi dalam “jagat maya”. Banyak dosen yang diundang untuk menjadi pemateri dalam seminar-seminar atau lingkar diskusi, sehingga dalam flayer ditulis sebagai ahli atau pakar.

Padahal, perihal pemahaman, justru mereka cenderung tidak sesuai dengan sebutan ahli atau pakar tertentu. Meskipun, tidak semua dosen atau akademisi yang “berwajah” demikian. Banyak juga akademisi atau pakar tertentu tampil di Youtube atau Televisi yang dijadikan pemateri untuk memaparkan pendapatnya sesuai dengan keahliannya.

Namun, dalam hal ini penulis memaparkan akademisi yang hanya “mencakar-cakar” keuntungan dari pendapat yang mereka sampaikan. Seharusnya, mereka menyampaikan kritik dan saran tersebut murni untuk kesejahteraan masyarakat. 

Heru Nugroho menyebutnya dengan istilah fenomena klobotisme (seperti klobot, kertas pembungkus rokok yang diremas dan berbunyi kemresek, gemerisik).

Akhirnya, kritik-kritik yang dilontarkan si akademisi lewat media hanya membuahkan keuntungan pribadi, misalnya diangkat menjadi menteri, wakil menteri, atau staf presiden. Akibat ini hanya memuaskan hasrat kuasa pragmatis (ekonomi-politik) si akademisi.

Hasrat distansi dan diri otonom menjadi karakter si akademisi ketika membidik sasaran kritik menyebabkan kritik kehilangan daya emansipatorisnya untuk sungguh menyelesaikan masalah sosial masyarakat (Nugroho, 2012: 9-10).

Degradasi Kegiatan Akademik

Indikator yang terakhir mengenai degradasi yang terjadi dalam kegiatan-kegiatan kampus. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Organisasi Intra Kampus (OMIK) maupun oleh kampus sendiri kurang memberikan hasil yang memuaskan.

Bisa dibilang belum menyentuh rumpun masyarakat yang ada di sektor bawah. Misalnya, dalam menyelenggarakan kegiatan, grand oriented-nya bukan penyelesaian problematika masyarakat, melainkan hanya seremonial yang mempunyai maksud-maksud tertentu.

Sehingga, esensi dari kegiatan tidak pernah terpikirkan sama sekali. Belum lagi agenda kampus. Tampaknya kampus hanya menyelenggarakan kegiatan tahunan atau kegiatan yang menghasilkan “amplop” belaka.

Padahal, untuk “nggembleng” kualitas civitas akademika, perlu adanya langkah-langkah signifikan dan tepat sasaran. Bukan hanya seremonial dan memanfaatkan momentum.

Bahkan, jika boleh ditarik ke belakang, agenda-agenda politik masih bertebaran di dunia kampus. Seperti agenda Parpol (partai politik) hingga pemilihan rektor—yang belakangan banyak membuat khalayak “geleng-geleng”.

Banyaknya kepentingan kelompok membuat sakralitas dunia kampus—yang melahirkan kaum intelektual, katanya—menjadi terkontaminasi. Bukan maksud menganggap bahwa jabatan struktural itu tidak penting, justru dengan adanya jabatan struktural, kampus mampu menjalankan mekanisme dan kebijakannya dengan sebaik mungkin.

Yang menjadi titik permasalahan di sini adalah ketika orientasi perguruan tinggi hanya politik-praktis belaka. Akankah tidak berbanding terbalik dengan istilah bahwa kampus adalah tempat para Dewa Intelektual? 

Oleh : Dendy Wahyu Anugrah

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak