Pena Laut - Sejarah peradaban manusia tidak lepas dari dialektika pemikiran yang terus mengalami progresivitas, sehingga mampu melahirkan ilmu pengetahuan (science) yang sampai saat ini masih menjadi diskursus kaum intelektual.
Pertengkaran ilmiah menjadi kultur yang senantiasa dihargai dalam petualangan intelektual manusia yang arif—mencintai akan kebenaran. Skeptisisme merupakan sebuah metode yang berusaha membuat jarak antara realitas dan subjektivitas sebagai pencarian kebenaran hakiki.
Metode skeptis tersebut juga digunakan oleh filsuf sekaligus ulama’ yang masyhur, terutama dalam khazanah Islam, yakni Imam-Ghazali (1058-1111 M). beliau bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, dilahirkan di Tus sebuah kota di Khurasan (sekarang Iran).
Menurut sebagian ahli sejarah, dahulu tempat kelahiran Al-Ghazali tersebut oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah dijadikan tempat propaganda. Di tempat ini pula Dinasti Abbasiyah didirikan dan melahirkan ulama-ulama masyhur dalam kesejarahan Islam.
Sejak kecil, Al-Ghazali memang sudah menunjukkan ketertarikan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu agama. Sehingga, ketika berguru kepada Imam Al-Haramain, Al-Juwaini, beliau mendapat julukan Bahr Mughriq (Samudra yang menenggelamkan) oleh gurunya.
Dan karena kealimannya dalam berbagai bidang keilmuan yang diakui oleh banyak pihak, maka tak heran jika beliau dijuluki sebagai Hujjat Al-Islam.
Biografi dan kisah Al-Ghazali tidak akan cukup jika ditulis di sini dan, memang hal tersebut bukan pembahasan utama tulisan ini.
Pada masa beliau, banyak sekali kelompok-kelompok yang merasa “paling” benar dan layak untuk diikuti. Masyarakat yang mengidap penyakit akut berupa “taklid buta” tersebut seringkali menuai konflik yang tidak berkesudahan.
Fakta perihal klaim kebenaran tersebut membuat beliau merasa tertarik untuk mendalami satu per satu kelompok yang ada. Sehingga, Al-Ghazali sampai pada pemikiran bahwa segala sesuatu perlu diragukan terlebih dahulu, agar manusia mendapatkan kebenaran yang memuaskan.
Tanpa adanya sikap skeptis, niscaya manusia tidak akan pernah menemukan kebenaran hakiki. Hal ini pernah disampaikan beliau sebagai berikut;
الشكوك هي الموصلة الى الحق, فمن لم يشك لم ينظر, و من لم ينظر لم يبصر, و من لم يبصر بقى فى العمى والضلال
“Keraguanlah yang mengantarkan kepada kebenaran. Barangsiapa yang tidak pernah merasa ragu maka ia tidak memandang. Barangsiapa yang tidak pernah memandang maka ia tidak pernah melihat. Dan barangsiapa yang tidak pernah melihat maka ia akan tetap di dalam kebutaan dan kesesatan” ( Brian M. Hauglid, 2001 : 90).
Secara epistemologis, metode Syak (keraguan) atau skeptis merupakan upaya untuk mendapatkan kepastian dari kebenaran pengetahuan yang ingin didapatkan. Al-Ghazali menggunakan metode ini untuk mencari kebenaran dalam segala hal, sehingga dapat memberikan kepastian—jauh dari probabilitas. Struktur skeptisisme Al-Ghazali dibagi menjadi tiga.
Pertama, keraguan terhadap pengetahuan empiris (panca indera), kedua, keraguan terhadap pengetahuan intelektual primer (akal) dan ketiga, meyakini hati sebagai sumber pengetahuan sebenarnya.
Keraguan terhadap pengetahuan empiris
Dalam meragukan pengetahuan empiris, Al Ghazali memberikan penjelasan bahwa panca indera tidak bisa dijadikan sarana untuk mencapai kebenaran yang pasti. Karena, panca indera masih mempunyai kelemahan dalam pencarian kebenaran. Seperti halnya mata. Indera penglihatan tersebut masih terdapat tipu daya, misalnya melihat pensil di dalam gelas yang berisi air nampak terlihat bengkok, padahal tidak demikian. Atau, air laut dari kejauhan tampak berwarna biru, padahal jika dilihat dari dekat berwarna bening.
Hal ini menunjukkan, bahwa panca indera memiliki kelemahan, sehingga tidak menghasilkan kebenaran yang pasti. Dalam filsafat, pemikiran semacam ini termasuk ke dalam aliran Empirisme, yang menganggap pengetahuan diperoleh secara aposteriori (empiris).
Keraguan terhadap akal
Setelah meragukan pengetahuan aposteriori, beliau juga meragukan pengetahuan akal. Namun, sebelumnya beliau sempat meyakini bahwa pengetahuan yang bersifat logis adalah suatu kebenaran. Karena, akal pikiran manusia menganggap segala sesuatu yang dihasilkan melalui logika, adalah kebenaran atau logis.
Prinsip-prinsip rasional nampaknya niscaya tidak memiliki keraguan di dalamnya, seperti halnya sepuluh lebih banyak daripada tiga atau seseorang tidak bisa secara simultan berada di waktu dan tempat yang sama. Hal ini sulit dibantah, namun Al-Ghazali terus berusaha mencari, apakah logika adalah satu-satunya alat untuk menentukan kebenaran hakiki.
Ternyata, beliau masih menemukan kelemahan dalam rasio manusia. Misalnya, manusia menyadari akan adanya mimpi. Dalam keadaan tidur—tidak terjaga—manusia mengetahui adanya mimpi dan terkadang dapat menceritakan mimpi tersebut secara sempurna.
Hal ini menandakan, bahwa akal manusia terbantahkan dengan adanya mimpi—yang semua manusia meyakini bahwa mimpi memang benar adanya.
Pada saat Al-Ghazali menemukan kebuntuan dalam menentukan sumber otoritas pengetahuan yang meyakinkan, beliau mengalami krisis intelektual yang luar biasa. Disebutkan dalam otobiografinya, al-Ghazâlî mengalami krisis intelektual selama dua bulan lamanya. Ia bimbang dan tak ada lagi pegangan.
Pengetahuan inderawi yang mula-mula ia yakini kebenarannya ternyata menyimpan kelemahan, begitu juga dengan pengetahuan rasional. Pada saat itulah al-Ghazâlî mendapat nur (cahaya) dari Tuhan hingga jiwanya kembali sehat (Asrori, 2018 : 89).
Hati sebagai sumber pengetahuan
Fase ketiga ini, merupakan fase terakhir sebagai perjalanan epistemologi Al-Ghazali dalam menentukan sumber otoritas pengetahuan.
Berbeda ketika membahas pengetahuan empiris dan akal, beliau justru menemukan hati sebagai sumber pengetahuan yang tidak dapat diragukan dan lebih otoritatif daripada yang lain. Hal tersebut dikatakan Al-Ghazali dalam karyanya, Al-Munqidz :
حتى شفى هللا تعالى من ذلك المرض وعادت النفس الى الصحة و االعتدال و رجعت الضروريات العقلية مقبولة موثوقا بها على أمن و يقين, و لم يكن ذلك بنظم دليل و ترتيب كالم, بل بنور قذفه هللا تعالى في الصدر, و ذلك النور هو مفتاح أكثر المعارف
“Allah menyembuhkan penyakitku sakitku tersebut, sampai jiwaku pun kembali sehat dan moderat lagi. Hasil daya pikir pun kembali diterima dan dipercaya serta penuh rasa aman dan yakin.
Dan semua itu bukan karena adanya dalil yang teratur rapi serta kata yang tersusun benar, tapi karena adanya cahaya yang diturunkan Allah dalam kalbu, yaitu cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan” (Al-Ghazali, Al-Munqidz : 29).
Menariknya, setelah Al-Ghazali mendapatkan “cahaya ilahi” secara tidak sengaja, justru beliau kembali meyakini bahwa pertimbangan akal dan bukti empiris merupakan sumber pengetahuan dan keduanya tidak mungkin dipisahkan.
Dalam Pemikiran Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzsche), Immanuel Kant (1724-1804) juga berupaya mensintesiskan kedua aliran filsafat; Rasionalisme dan Empirisme. Peran keduanya berusaha membenarkan bahwa manusia menemukan kebenaran melalui rasio dan bukti empiris. Tidak hanya memprioritaskan satu corak pemikiran belaka.
Oleh : Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar