BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Kisah Kasih Pejuang Emansipasi: Maria Walanda Maramis, Tonggak Perempuan Minahasa Bergerak

Maria Walanda Maramis

Pena Laut - Maria Walanda Maramis merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia asli kelahiran Kema, sebuah desa kecil di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Perempuan yang memiliki nama asli Maria Josephine Catherine Maramis lahir pada 1 Desember tahun 1872 dan wafat pada 22 April 1924.

Maria adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bernadus Maramis dan Sarah Rotinsulu.

Sejak kecil Maria tumbuh bersama pamannya Mayor Ezau Rotinsulu, karena kedua orang tuanya meninggal akibat wabah Kolera yang kala itu menyerang Kema saat masih berumur 6 tahun.

Walaupun terbilang singkat, Maria berkesempatan untuk menempuh pendidikan dasar membaca dan menulis selama tiga tahun di sekolah Melayu di daerah Maumbi.

Saat itu, anak-anak perempuan di Minahasa tidak diperbolehkan untuk sekolah lebih tinggi, sebab mereka harus tinggal di rumah untuk belajar mengurus rumah tangga dan menunggu dipersunting.

Sehingga Maria terpaksa mengikuti peraturan tidak tertulis tersebut yang telah berlaku secara turun temurun dan mengubur keinginannya untuk dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Paman Maria waktu itu merupakan seorang kepala distrik di Maumbi sehingga sering kedatangan tamu pejabat penting, yang mengharuskan Maria harus menyiapkan segala kebutuhan jamuan bersama bibinya.

Dari situ Maria belajar bagaimana mengurus rumah tangga, bahkan dia sampai ahli dalam memasak masakan belanda karena saking seringnya pejabat Belanda yang datang.

Pada usia remaja, Maria dikenal sebagai gadis yang cakap dan juga sopan santun sehingga mulai dilirik banyak laki-laki.

Maria pun menikah saat umurnya masih 18 tahun dengan Joseph Frederick Calusung Walanda, seorang guru bahasa di HIS Manado dan diboyong ke Maumbi, Sulawesi Utara.

Saat itu Maria melihat wanita di tempatnya tinggal tidak memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan, rumah tangga, dan mengasuh anak.

Sehingga secara diam-diam Maria berkeliling untuk mendidik para perempuan untuk menyulam, memasak sampai membuat kue serta mendorong perempuan-perempuan untuk turut berbagi keterampilan mereka kepada sesama.

Perlahan tapi pasti Maria mulai meningkatkan gerakan dengan mengumpulkan beberapa orang temannya lalu mendirikan organisasi dengan tujuan memajukan pendidikan kaum perempuan dengan nama Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT).

Pada tanggal 8 Juli 1917 diselenggarakannya rapat terbuka yang dihadiri masyarakat Manado kala itu, dan pada kesempatan itulah PIKAT diperkenalkan kepada masyarakat luas. 

Maria dengan pengetahuan yang serba sederhana ia menggunakan berbagai keahliannya untuk membesarkan organisasinya.

Ia menggunakan media massa, surat kabar, dan untuk menambah pemasukan organisasi dengan menjual hasil masakan, kue-kue dan hasil pekerjaan tangan murid-murid di sekolah PIKAT kepada para anggota dan donator.

Langkah pertama PIKAT adalah mendirikan sekolah rumah tangga untuk gadis-gadis yang telah menamatkan pendidikan mereka di Sekolah Dasar.

Pada tahun 1930 Gubernur Jenderal Van Limburg stirum beserta istrinya berkunjung ke sekolah PIKAT, istri Gubernur Jendral tersebut sangat terkesan dengan apa yang dilihat dan didengarnya dari Maria, dan sebelum pulang ia meninggalkan uang sebanyak empat puluh ribu gulden sebagai sumbangan.

Setelah melalui berbagai tantangan dan celaan, dengan cita-cita dan tekad yang kuat Maria membawa bukti nyata bahwa perjuangannya bukanlah hal yang sia-sia.

Terwujudnya PIKAT dengan segala pencapaiannya tak kunjung menyurutkan semangatnya, Maria selalu berusaha meningkatkan cita-citanya, sementara itu kesehatan Maria juga turut menurun.

Ia mulai jarang menghadiri rapat-rapat PIKAT, namun selalu rajin untuk menulis surat kepada cabang-cabang PIKAT dan permohonan kepada pemerintah untuk terus mendanai PIKAT sekalipun ia tengah dirawat di rumah sakit. 

“Jangan lupakan PIKAT, anak-anak yang bungsu”. Kalimat itu menjadi pesan terakhirnya untuk kepentingan PIKAT sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada bulan April 1924 dalam usia 51 tahun.

Pemerintah Republik Indonesia menghargai jasa-jasanya Maria karena telah memajukan kaum wanita, dengan Kepres No. 012/TK/1969 sehingga Maria dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia.

Pemerintah Daerah setempat juga membangun monumen Maria Walanda Maramis di desa Maumbi untuk mengenang jasanya, dan rakyat Minahasa selalu memperingati Hari Ibu Walanda Maramis setiap tanggal 1 Desember.

Oleh : Rahmah Maftuhah Rohman

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak