Pena Laut - Prosesi forum Musyawarah Kerja (Musker) pada Senin (28/11/2022) lalu, oleh Pengurus Yayasan Ibrahimy (Yasmy) telah selesai dilakukan.
Kita tahu forum tertinggi di tingkatan kampus Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng- Banyuwangi dilaksanakan di Hotel Ketapang Indah Banyuwangi, yang dihadiri perwakilan dari pejabat tinggi kampus.
Selain dalam rangka untuk memperbarui statuta kampus agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman, Musker juga bertujuan memilih Rektor baru IAI Ibrahimy periode 2023/2026.
Walaupun sempat terjadi polemik terkait adanya dualisme hasil pemilihan rektor, namun pihak yayasan telah memutuskan H. Lukman Hakim, S.Ag.,M.HI sebagai rektor terpilih dan katanya keputusan tersebut tidak dapat diganggu gugat.
Sebelumnya, saya sebagai mahasiswa “basi” kampus IAI Ibrahimy mengucapkan selamat atas terpilihnya rektor yang baru. Di sini, saya akan mengingatkan beberapa hal kepada Rektor yang baru saja terpilih tentang situasi dan kondisi kampus yang akan anda pimpin selama empat tahun kedepan.
Saya kira, Bapak Rektor yang terhormat tidak keberatan untuk membaca dan bersama-sama mewujudkan “Make Great Ibrahimy” (istilah Badan Eksekutif Mahasiswa periode lalu).
Jadi, kampus kita bisa dibilang adalah kampus yang mengalami kemajuan di beberapa sektor, semisal dengan dibukanya program pascasarjana yang saya kira terkesan sedikit memaksa.
Kemudian beberapa fasilitas mahasiswa juga terpenuhi seperti penambahan kelas belajar dengan cara menyekat auditorium maupun pelebaran kantin, untuk mempermudah mahasiswa saat belanja makanan atau mengurus kebutuhan fotokopi atau ngeprint dan lain sebagainya.
Walaupun belum sepenuhnya terpenuhi, tapi kami sangat bersyukur dan besar harapan kami, dengan adanya rektor yang baru mampu memberikan perubahan yang signifikan terhadap kampus tercinta.
Baiklah saya rasa, mukaddimah ini terlalu bertele-tele dan menjenuhkan. Langsung saja, saya akan sebutkan beberapa hal yang saya tulis di awal.
Pertama, Sistem Kampus yang Transparan dan Akuntabel.
Poin pertama ini menjadi hal yang paling dikeluhkan oleh setiap mahasiswa Ibrahimy yang saya temui. Mereka termasuk saya berharap sistem yang diberlakukan oleh kampus bisa transparan dan akuntabel, sehingga civitas akademika—termasuk mahasiswa—dapat mengetahui alokasi dana yang telah dibayarkan.
Selama ini, transparansi dana yang telah dibayarkan kepada kampus, seperti pembayaran KKN dan PPL, belum sepenuhnya transparan. Semisal, KKN kemarin. Banyak mahasiswa yang mengeluh perihal fasilitas KKN yang dirasa kurang memuaskan.
Apalagi, tema yang diangkat belum secara komprehensif dipahami oleh bapak-ibu dosen pembimbing, sungguh ironi. Seharusnya, tema yang diangkat harus sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi mahasiswa atau, mengundang beberapa mahasiswa untuk ikut membahas problematika yang sesuai dengan konteks saat ini.
Kedua, sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal.
Pemberlakuan sistem pembayaran Uang Kuliah tunggal (UKT) yang ada di IAI Ibrahimy perlu adanya sedikit perubahan.
Bayangkan, terdapat dua ribu lebih mahasiswa, ketika ingin mengajukan dispensasi harus melewati satu pintu; di Wakil Rektor II, Apalagi ditambah dengan pelayanan staf yang “menyeramkan”. Mbok ya senyum sedikit.
Mungkin, dengan pelayanan yang ramah, banyak mahasiswa yang tidak terlalu tertekan dengan “tunggakan” perihal pembayaran kuliah.
Saat ini, kampus kita memberlakukan sistem satu pintu ketika mahasiswa ingin mengajukan dispensasi pembayaran UKT. Sebenarnya sesuai dengan sistem yang sebelumnya dimana hak kuasa dekan untuk memberikan dispensasi pembayaran saya rasa lebih efektif dan efisien. Karena melihat banyaknya mahasiswa yang membutuhkan dispensasi ketika pembayaran.
Ketiga, Fasilitas Kampus.
Ketika kewajiban mahasiswa dipenuhi dengan membayar UKT, seharusnya kampus terus berusaha memaksimalkan sarana dan prasarana untuk keberlangsungan proses belajar-mengajar.
Beberapa waktu lalu, telah dibuka pascasarjana Pendidikan Agama Islam (PAI). Rencananya, tahun berikutnya akan dibuka pascasarjana Hukum Keluarga Islam (HKI).
Orientasi membuka pascasarjana adalah program yang baik, namun seharusnya kampus lebih fokus kepada fasilitas yang diberikan kepada mahasiswa yang sedang menempuh strata satu (S1).
Karena, melihat masih banyaknya mahasiswa di berbagai semester yang “merasa” fasilitas yang diberikan kampus belum diterima sepenuhnya. Seperti kurangnya ruang kelas.
Apalagi, menurut penuturan beberapa mahasiswa, beberapa dosen yang dirasa “tidak” kompeten di bidangnya membuat mahasiswa menyayangkan hal tersebut. Hematnya, fasilitas untuk mahasiswa strata satu harus diutamakan.
Keempat, menciptakan kampus yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpendapat telah diatur dalam undang-undang No. 9 tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa, kebebasan berpendapat diperbolehkan dan sah.
Kritik yang konstruktif perlu dilestarikan dan sudah menjadi kultur mahasiswa sejak dulu. Bagaimana mungkin lembaga pendidikan tinggi yang notabene menyadarkan kesadaran kritis bagi mahasiswa, justru tidak memberikan ruang untuk dikritik ulang atas kebijakan yang diberlakukan. Padahal, kritik yang konstruktif membuat kebijakan tersebut menjadi sempurna.
Kritik yang dilontarkan oleh mahasiswa terhadap kebijakan kampus seharusnya diterima dengan penuh keterbukaan. Kultur akademik yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat akan menghasilkan taraf keilmuan yang kompeten dan mampu berkontribusi dalam dunia kampus. Represifitas pihak kampus terhadap mahasiswa membuat mereka semakin “berani” dalam melontarkan apa yang menurut mereka “ideal”. Karena, kritisisme adalah hak dasar bagi mahasiswa.
Saya teringat dengan ungkapan revolusioner--yang ditenggelamkan dalam sejarah—Ibrahim Datuk Tan Malaka, kurang lebih demikian :
“Jika sistem itu tidak bisa diperiksa kebenarannya dan tidak bisa dikritik, maka matilah ilmu pasti itu.”
Perguruan tinggi harus membangkitkan kembali kultur kebebasan berpendapat. Argumentasi yang rasional dan ilmiah adalah salah satu kultur mahasiswa.
Jadi, konklusinya, argumentasi yang rasional yang dapat dipertengkarkan di dunia kampus. Pasalnya, masih ada penekanan yang membuat mahasiswa “kena mental” ketika mahasiswa berusaha mengutarakan kritik terhadap kebijakan – kebijakan kampus.
Kelima, kampus juga memperhatikan perihal isu-isu pelecehan dan kekerasan seksual.
Menurut Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAI Ibrahimy kasus pelecehan seksual verbal, fisik dan psikologis terdapat 25 kasus pada tahun 2021 hingga bulan Oktober 2022. Sedangkan Kekerasan pada perempuan, fisik, verbal dan psikis sejumlah 65 kasus.
Dari data yang disampaikan oleh Ketua PSGA IAI Ibrahimy, menunjukkan bahwa masih banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan atau mahasiswi. Itupun belum sepenuhnya dituntaskan. Perlu adanya Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk mengadvokasi hal ini. Seminar – seminar dan pelatihan yang mengangkat tema seksualitas, gender hingga pengenalan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) harus diselenggarakan oleh pihak kampus.
Menangani korban pelecehan dan kekerasan seksual perlu dampingan yang intens, tidak hanya memberikan nasihat biasa. Mereka (para korban) memerlukan pendampingan bukan ceramah.
Jika data di atas adalah tindakan mahasiswa kepada mahasiswa yang lain, lantas apakah ada kasus antara dosen dan mahasiswa? soal ini saya serahkan kepada semua mahasiswa.
Sebenarnya masih banyak hal yang secara eksplisit tidak ditulis di sini. Akan tetapi, dari kelima point yang telah diuraikan diatas cukup mewakili suara para mahasiswa yang ada di akar rumput.
Semoga surat cinta ini dibaca oleh Bapak Rektor Institut Agama Islam yang baru. Terakhir, saya teringat adagium dari Lord Acton yang seringkali menghantui birokrasi. Ini bukan tuduhan atau semacamnya, tapi lebih kepada sebagai pengingat kita bersama untuk terus berhati-hati dalam menggunakan kekuasaan.
“Power tends to corrupt and absolute power corrupts, absolutely.”
Penulis Surat Cinta : Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar