BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Sahabat: Budaya atau Formalitas?

Sahabat

Pena Laut - Gamblang sudah kita ketahui bahwa “Sahabat” adalah sebutan bagi segenap anggota, kader, atau alumni yang berproses di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang biasa disingkat PMII.

Namun dalam perjalanannya sebutan ini masih terasa bukan menjadi sebuah hal yang bisa dibanggakan oleh orang-orang di internal PMII sendiri.

Dalam berkegiatan, banyak dari sahabat-sahabat PMII masih menggunakan nama panggilan atau sebutan “Mas” dan “Mbak” kepada orang yang dirasa lebih tua sebagai penghormatan.

Fenomena ini sebenarnya harus dijadikan refleksi oleh Sahabat-Sahabat PMII.

Dalam sejarahnya sebutan ini timbul dengan harapan bahwa segenap kader yang berproses di PMII mengikuti lampah para sahabat nabi yang berjuang tanpa pamrih, bergerak militan di segenap medan, dan berintelektual dalam keilmuan.

Berbicara tentang nama, saya selalu teringat tentang pepatah yang terkenal dari pujangga besar inggris William Shakespeare yaitu, “What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.“ kurang lebihnya kalimat tersebut memiliki arti, “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi”.

Saya kurang paham, apakah banyak dari kalangan kita (saya juga mahasiswa yang berproses di PMII) mempercayai adagium tersebut? Entahlah, pertanyaan itu juga layak saya tanyakan kepada diri saya sendiri.

Namun, sebagai pemikir islam kita memiliki bentuk perlawanan dari petuah sang pujangga, kita seharusnya mengingat bahwa nama yang diberikan orang tua kepada kita adalah ribuan harapan.

Menurut islam hakikat nama adalah sebuah doa. Tak jarang kita dengar banyak nama diganti karena dianggap nama tersebut kurang baik.

Banyak dari muslim menamai putranya dengan kata “Muhammad” sebagai harapan anaknya nanti dapat mengikuti segenap sunnahnya, serta nabi Muhammad dapat memberikan syafaat kepadanya di hari kiamat kelak.

Tak ubahnya sematan kata Muhammad, “Sahabat” harus kita yakini bahwa itu adalah sebuah doa yang dapat menjadikan kita istiqomah meniru perilaku sahabat.

Selain menjadi sebuah doa, “Sahabat” di sini seharusnya juga menjadi sebuah kebanggaan karena notabenenya sebutan tersebut adalah sebagai tanda pengenal.

Dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13 yang beberapa waktu lalu dilantunkan dalam pembukaan piala dunia 2022 mengingatkan kepada manusia bahwa mereka diciptakan “لِتَعَارَفُوْا” atau untuk saling mengenal. Ayat tersebut mengajarkan bahwa untuk dikenal kita harus berani untuk mengenalkan diri.

Para ilmuan banyak dikenal karena nama yang mereka sematkan untuk penemuannya. Alexander Graham bell terkenal hingga saat ini karena penemuannya berupa telepon, lalu Albert Einstein dengan teori relativitasnya, serta Radio yang berperan penting mengenalkan penemunya yaitu Guglielmo Marconi.

Berhubungan dengan konteks ini PMII akan banyak dikenal karena bibit yang dilahirkan adalah berupa “Sahabat”. Lantas jika produk yang dilahirkan tidak bangga dengan namanya sendiri bagaimana bisa kita akan banyak dikenal oleh dunia?

Di paragraf terakhir ini saya tidak akan menanam poin baru. Saya rasa substansi tulisan bisa dilukiskan dengan dua inti sari yaitu bahwa “Sahabat” adalah doa dan tanda pengenal.

Kedepannya semoga sebutan ini tidak lagi menjadi hal yang tabu didengar atau awkward diucapkan. “Sahabat” bukan hanya formalitas tapi sebutan tersebut adalah budaya yang harus terus dilestarikan.

Oleh : YBY

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak