BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Reuni Asghar Dua Sahabat Karib : Agnostisisme dan Theisme

Cerpen pen laut

Pena Laut - Di tengah hiruk-pikuknya problematika sosial, ekonomi, politik dan budaya, ternyata, persahabatan tidak lantas memudar. Pernah terdengar, hidup tanpa mempunyai sahabat bagaikan burung tanpa sayap. Bagaimana burung dapat terbang di atas cakrawala, jika ia tidak mempunyai sayap? Ah! Mengapa memikirkan persoalan yang bukan menjadi alur cerita ini. 

Rudolf dan Antonio adalah sepasang sahabat sedari kecil. Hingga, mereka berdua harus berpisah karena menempuh pendidikan tinggi. Rudolf ke Rusia, sedangkan Antonio ke Yaman. Sungguh perbedaan yang nyata! 

Liburan telah tiba. Mereka berdua sudah merencanakan liburan tahun ini akan bertemu di kedai kopi langganan mereka. Persahabatan yang terlihat sederhana. Sudah hampir dua tahun mereka tidak bertemu, sekali bertemu hanya di kedai kopi. Tak heran, karena kedai kopi adalah tempat ternyaman untuk diskusi, sharing bahkan “rasan-rasan!”

Rudolf datang lebih dulu dan beberapa menit kemudian Antonio menyusul. Mereka berdua pesan kopi hitam dengan sedikit gula dan memesan camilan untuk menemani pertemuan mereka. 

“Bagaimana kabarmu, An?” tanya Rudolf 

“Alhamdulillah. Baik, Rud” jawabnya lembut.

“Engkau bagaimana?” tanya Antonio

“Ya, begini aku sekarang. Mungkin sama dengan yang dulu, hanya meninggalkan hal-hal yang tidak perlu di pegang lagi,” jawab Rudolf dengan menghisap rokok kesukaannya.

Teriakan panggilan barista telah terdengar, “Rudolf si pembunuh Tuhan!”. Rudolf dengan lagak “petantang-petenteng” mengambil kopi dan camilan yang sudah terpesan. Wajah Antonio yang semenjak mendengar teriakan tersebut menjadi kaku. 

Melihat raut wajah Antonio yang berbeda setelah mendengar nama pesanan mereka, Rudolf menanyakan hal tersebut kepada Antonio. 

“Ada masalah dengan pesananmu, An?”

“Tiii..tidak, Rud” dengan jawaban yang gugup.

“Jujurlah, An. Ada apa denganmu? Kau heran dengan nama pesanan itu?” tanya Rudolf dengan pelan.

Karena Antonio yang sedari dulu memang “blak-blakan” terhadap Rudolf, ia memberanikan diri bertanya perihal apa yang menjadi keheranannya. 

“Kau tadi mengatakan padaku, bahwa kau meninggalkan sesuatu yang tak perlu dipegang lagi? Apa yang kau maksud itu?” tanya Antonio yang memberanikan diri seraya menggerakkan bibir perlahan mengucap kalimat istighfar.

“Hahahaha. Kau ini seperti bocah kemarin sore saja, An. Iya, aku sekarang lebih memegang prinsip daripada agama. Banyak hal yang mencerahkan perihal kepercayaan terhadap entitas tertinggi bernama Tuhan,” jawabnya dengan tangan yang terus bergerak seperti dalang dalam pertunjukan wayang. 

“Aku membaca beberapa literatur perihal teologi—pemikiran—yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru-guru kita dulu. Dari sudut pandang sains dan ideologi, aku menemukan hal yang membuat sudut pandangku berubah total,” imbuhnya.

Antonio menangkap apa yang disampaikan oleh Rudolf, dan ia juga berusaha menyelami apa yang diyakini sahabatnya saat ini. 

“Lantas, bagaimana kau membaca realitas agama saat ini dengan menggunakan sudut pandangmu yang kata orang sebagai agnostik itu?” tanya Antonio yang serius. 

“Agama. Menurutku, agama adalah sistem yang berawal dari keyakinan bahwa ada sesuatu yang ‘ideal’ dari yang ada di alam semesta ini. Dari khotbah-khotbah yang disampaikan oleh pemuka agama zaman dulu atau, tokoh yang disebut raja kala itu mengatakan bahwa dirinya wakil Tuhan.”

“Tuhan, adalah konsepsi manusia yang banyak ditemukan kontradiksinya. Seperti halnya banyak sekali pertanyaan bahwa ketika Tuhan mahakuasa, mengapa masih banyak manusia yang menderita?” jelasnya.

Karena semakin bingungnya si Antonio yang theistik, ia segera menyudahi pembahasan yang bersifat privasi itu. 

“Astaghfirullah, semoga apa yang kita bicarakan kali ini diampuni oleh Allah SWT. Sudahlah, Rud, apa yang engkau yakini itu urusanmu dan apa yang aku yakini, itu pun menjadi urusanku,” ujar Antonio.

Setelah pembahasan yang sangat menegangkan tersebut, mereka berdua mengganti topik pembicaraan tentang masa kecil yang lucu dan menyenangkan. Meskipun perasaan Antonio masih merasakan keanehan terhadap keyakinan sohibnya itu, tapi Antonio tidak pernah mempersoalkan hal itu sehingga menjadikan persahabatan mereka terganggu. Justru, Antonio dan Rudolf semakin harmonis dan sama sekali terlihat tidak terjadi apa-apa pada mereka. 

Pertemuan itu, dengan kopi pahit dan camilan “tahu walik” (meskipun ‘tahu’-nya tidak dihidangkan secara terbalik), juga tak lupa dengan rokok yang asapnya setia menemani temu kangen dua sahabat karib itu. Perbedaan keyakinan tidak menjadikan persahabatan mereka “retak”—seperti biasanya kalimat ini digunakan motivator untuk memberikan motivasi dalam seminar dengan analogi gelas atau piring. 

Oleh : Dendy Wahyu Anugrah

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak