BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Logical Fallacy Dalam Keseharian

Logical Fallacy Dalam Keseharian

Pena Laut - Manusia dan berpikir tentunya tidak dapat dipisahkan, karena manusia sendiri hakikatnya adalah hewan yang berpikir (hayawanun natiq, animal rationale). Dalam sebuah penelitian mengungkapkan bahwa otak manusia dapat memproduksi sekitar 50.000 pikiran dan mengalami 100.000 reaksi kimia setiap detiknya.

Namun ternyata manusia dengan bekal otak yang canggih itu tidak menjamin bahwa berpikirnya tepat dan akurat. Manusia sering terpengaruh atau terpeleset pada bias-bias dalam berpikir. 

Problematika pada manusia sekarang yaitu, cenderung bertindak terlebih dahulu sebelum mengetahui bagaimana cara bertindak dengan tepat. Sama halnya dengan berpikir, manusia enggan mempelajari tentang cara berpikir yang tepat, bagaimana mungkin kita tahu itu tepat atau tidak, kalau masih belum mengetahuinya, sehingga dari tindakannya tersebut manusia sering terjerumus dalam bias-bias/kesesatan berpikir.

Beberapa bias-bias kesesatan berpikir yang sering dilakukan manusia saat ini diantaranya:

1. Action Bias

Bias berpikir ini terjadi disaat seseorang menemui hal yang baru atau belum pasti sehingga ia tidak mengukur ketepatan dalam tindakannya. Action Bias ini terjadi ketika seseorang tidak melihat ketepatan, fungsi, dan efektivitas tindakannya.

Seseorang yang telah mengidap penyakit Action Bias ini cenderung melihat apa tindakan yang ia ambil, tanpa melihat kualitas tindakannya.

Contoh Action Bias banyak terjadi di kehidupan sehari-hari, termasuk di dunia akademik. Pernyataan “Yang penting baca buku”, bisa dikategorikan termasuk penyakit Action Bias, karena ia tidak melihat ketepatan, fungsi, maupun efektivitas dari membaca buku.

Bisa saja kita melakukan tindakannya tersebut hanya satu kali, kan “yang penting baca buku”. Beda kiranya kalau kita berpandangan “Baca Buku itu Penting”, kita akan berusaha semaksimal mungkin agar bagaimana mendapatkan buku, setelah itu menyusun management waktunya demi membaca buku.

Pernyataan “Yang penting hadir diskusi”, juga dapat dikategorikan penyakit Action Bias.

Terkadang ketika kita hadir dalam diskusi malah sibuk membuat forum sendiri. Karena kita tidak melihat ketepatan ataupun fungsi tindakannya dalam berdiskusi.

Bisa saja dalam seringnya hadir diskusi tersebut dijadikan lokomotif agar bisa dianggap aktif berorganisasi, atau cuma hanya sekedar pengguguran tanggung jawab, padahal dengan hanya kita sekedar hadir disetiap diskusi, bisa dianggap aktif berorganisasi? Mungkin ya bisa dipikir sendiri-sendiri oleh pembaca yang budiman.

Demikianlah Action Bias terlihat aktif, meskipun tanpa hasil.

2. Halo effect

Kesesatan berpikir Halo Effect ini terjadi ketika seseorang memunculkan kesan positif atau negatif yang akan dijadikan dasar untuk menilai semua aspek lain secara keseluruhan. Contoh yang paling mudah yaitu tentang kecantikan dan ketampanan.

Hasil penelitian psikolog Thorndike terhadap mahasiswa menunjukkan bahwa yang cantik dan tampan  itu lebih menyenangkan, lebih jujur, bahkan bisa jadi lebih pintar. Orang-orang yang menarik ini biasanya mempunyai perjalanan karier yang mulus. Pengaruh ini dapat diamati di tempat kerja yang biasanya memakai syarat “berpenampilan menarik”.

Apabila dicermati lebih teliti lagi, kesesatan berpikir ini bisa menggiring seseorang pada ketidakadilan, stereotyping, misalnya saat ras, gender, dan lain sejenisnya dijadikan barometer/tolok ukur dalam menilai seseorang secara utuh.

Ia akan menjadi rasis serta seksis dalam pola pikir seperti ini. Misalnya “Orang Gondrong itu urakan”, “Hati-hati dengan orang yang bertato”, atau “Jauh-jauh dengan orang Gondrong, mereka tidak dapat diatur”, padahal kan ya tidak nyambung antara gaya berpakaian dengan pola kehidupannya.

Tapi sebaliknya, cara berpikir seperti ini bisa memunculkan kebahagiaan, kesenangan ataupun kegembiraan, meskipun ya hanya sementara. Seperti saat kita mendapat penilaian “menarik”, “pintar”, “sopan”, dan lain sejenisnya yang berdasarkan pada bagian kecil dari perilaku atau penampilan kita.

Jelasnya pola pikir seperti ini menghalangi pemahaman kita atas realitas ataupun kenyataan. Untuk menghindari pola pikir ini manusia harus bergerak melampaui “yang kelihatan, yang menonjol, yang menarik,  ataupun yang jelek” saja.

Jangan hanya melihat satu sisi saja untuk menilai fenomena, seseorang, dan sesuatu. Kemampuan telaah mendalam, analisis tajam, dan komprehensif atas suatu fenomena, seseorang, atau sesuatu, dapat membantu kita agar tidak terjangkit kesesatan berpikir Halo Effect ini.

3. Social Proof

Ketika engkau berada dalam sebuah acara diskusi di kelas kampus. Saat sedang enaknya berdiskusi tiba-tiba pemateri melihat ke atap kelas kampus, sehingga banyak orang yang melihat ke atap, tanpa berpikir jauh engkau pun ikut melihat ke atap. Mengapa? Social Proof.

Selanjutnya, saat pemateri pergi keluar kelas tiba-tiba seseorang bertepuk tangan, lalu hampir semua orang yang berada di kelas ikut bertepuk tangan. Sehingga engkau pun tanpa sadar ikut bertepuk tangan. Mengapa? Social Proof.

Setelah diskusi selesai, engkau mungkin akan pergi ke kamar mandi kampus sebentar. Ketika tiba disana ternyata antrian panjang, dan engkau perhatikan orang yang keluar dari kamar mandi memasukkan uang kedalam kotak di depan pintu kamar mandi sebelum ia pergi. Engkau sendiri? Kemungkinan besar akan memasukkan uang juga ke dalam kotak itu. Mengapa? Social Proof.

Social Proof sering disebut insting kerumunan, membuat seseorang merasa tindakannya benar ketika kebanyakan orang melakukan tindakan tersebut. Singkatnya ikut-ikutan. Semakin banyak orang yang melakukan tindakan tersebut, semakin tindakan itu dianggap benar.

Mengapa kita melakukan hal itu? Mungkin di masa lalu, kita mengikuti apa yang dilakukan orang lain adalah jalan untuk bisa survive atau selamat. Bayangkan 100.000 tahun yang akan datang, engkau sedang pergi ke puncak gunung bersama teman-temanmu. Tiba-tiba teman-temanmu lari kencang berbalik arah.

Akankah hanya berdiam saja, mengamati apa yang sebenarnya terjadi, atau ikut berlari kencang mengejar teman-temanmu dan nanti saja untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi?

Meskipun sosial proof ini absurd, kadang juga berguna untuk berbagai kepentingan. Misalnya saat kita jalan-jalan yang belum sama sekali kita ketahui, kemudian kita lapar dan mencari toko.

Masuk akal jika kita menggunakan Sosial Proof ini untuk mencari toko yang sesuai dengan cara mencari toko yang banyak didatangi oleh masyarakat di situ. Bisa dikatakan kita meniru apa yang dilakukan oleh masyarakat lokal.

Mungkin dari contoh bias-bias berpikir tersebut kita bisa mengoreksi lagi, apakah kita sudah berpikir dengan tepat dan akurat? Agar kita tidak terjerumus dalam bias-bias/kesesatan berpikir.

Setidaknya yang penulis harapkan pembaca bisa sadar dan merubah pola pikirnya -yang dari sudut pandang logika masih kurang tepat- dalam tindakan sehari-harinya.

Oleh  : Muhammad Hilmi Hafi Ramadhani

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak