Pena Laut - Kampus sering dimaknai sebagai miniatur negara. Perihal istilah tersebut, semua mahasiswa pasti pernah mendengar bahkan menjadikan hal itu sebagai tema diskusi di kedai kopi.
Di dalamnya terdapat organisasi mahasiswa intra kampus dan ekstra kampus (OMIK dan OMEK).
Organisasi intra kampus bertujuan mengembangkan sekaligus menghidupkan sistem demokrasi yang ada di lingkup kampus.
Sedangkan organisasi ekstra kampus bertujuan untuk mengembangkan sumber daya mahasiswa seperti skill, intelektual hingga management organisasi.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah salah satu dari beberapa organisasi yang ada di kampus.
Kaderisasi adalah tujuan utama dari organisasi PMII. Berbagai diskursus seputar politik, filsafat, sosial, ekonomi hingga budaya menjadi pembahasan rutinan.
Pengembangan intelektual menjadi point penting dalam menjalankan roda organisasi.
Perihal visi-misi organisasi tidak perlu diuraikan di sini, karena tulisan ini bukan hasil MUSPIMNAS PMII!.
Adapun yang menjadikan tulisan ini dibuat ialah tendensi organisasi seolah-olah menjadi lokomotif politik pragmatis.
Sebelum itu, penulis tidak mengatakan bahwa politik itu “haram”, melainkan mencoba kritik terhadap realitas yang ada di organisasi PMII hari ini.
Beberapa temuan, banyak alumni (mohon maaf, penulis tidak menggunakan istilah senior!) yang dirasa menggunakan organisasi sebagai lokomotif politik.
Dulu, ketika selesai mengikuti Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) tidak begitu aktif dalam mengikuti kegiatan dan agenda Pengurus Rayon maupun Komisariat.
Setelah dinyatakan lulus, mereka berbondong-bondong mengaku sebagai “anggota PMII”.
Sungguh ironi!
Pengakuan secara subjektif bahwa “pernah” menjadi kader PMII ternyata hanya ingin mendapatkan rekomendasi agar bisa mencalonkan sebagai Bawaslu, Panwas, PPK dll.
Adalah salah satu indikasi bahwa PMII hari ini menjadi batu loncatan para “alumni” yang mempunyai kepentingan pribadi.
Apalagi, persyaratannya hanya pernah mengikuti MAPABA yang dibuktikan adanya sertifikat atau kesaksian semata.
Bahkan, terdapat alumni yang dulu tidak pernah aktif sebagai anggota, justru setelah lulus meminta sertifikat untuk persyaratan pekerjaan yang bersifat temporal.
Tiba-tiba, banyak yang mengaku, “Saya ini dulunya PMII!” atau “Saya dulu, dek, aktif di PMII sampai membuat perubahan” dan ungkapan yang tentu tidak dapat ditulis di sini.
Fenomena “tiba-tiba” mengaku PMII ini sekarang banyak ditemukan dalam realitas berorganisasi.
Entah bagaimana tanggapan para alumni—yang benar-benar alumni—untuk menyikapi hal ini.
Apakah sudah melewati musyawarah yang sesuai dengan manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah—fikr wal harokah.
Tidak hanya itu, beberapa kader melihat fenomena ini menjadi pragmatis dalam menjalankan organisasi.
Esensi dari mahasiswa yang mempunyai label “aktivis”, sekarang mengalami dekadensi yang sangat drastis.
Mudzakarah, munadharah dan mutharahah (istilah dalam kitab ta’lim muta’alim) tidak begitu digandrungi oleh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi pergerakan.
Pertengkaran argumentasi rasional hampir jarang ditemukan dalam kehidupan organisasi.
Diskusi – diskusi “nakal” sudah mulai usang, debat kusir di pertontonkan sedangkan argumentasi yang membuka ruang dialektika ditinggalkan.
Teringat oleh ungkapan filsuf jerman, Friedrich Nietzsche, bahwa
“Tidakkah yang paling berat adalah merendahkan diri untuk membunuh keangkuhan? Mempertontonkan ketololan untuk mencemooh kebijaksanaan sendiri?”
Masih banyak kader yang menganggap bahwa alumni lebih “superior” daripada kader. Hal ini juga berpotensi menjadikan organisasi di politisasi oleh beberapa orang yang berada di dalam maupun di luar organisasi.
Bukan maksud untuk mendiskreditkan beberapa pihak, namun ini juga suatu problem yang harus diluruskan, melihat realita di lapangan perlu banyak pembenahan yang serius.
Organisasi kita sedang sakit, kitalah yang harus mengobatinya. Pola pikir kitalah yang masih bayi, kitalah yang harus mendewasakannya!
Oleh : Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar