BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Roman Jejak Langkah: Kisah Antara Minke dan 'Medan'

 

Roman Jejak Langkah

Pena Laut - Jejak Langkah merupakan roman seri ketiga dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.

Dalam novel yang mengambil latar belakang Hindia Belanda awal abad 20 ini mengisahkan bagaimana Minke, tokoh utama dalam cerita ini mulai menyusun langkah untuk mendirikan organisasi pribumi pertama di Hindia Belanda untuk melawan dominasi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang sudah bercokol selama berabad-abad lamanya.

Dalam perjalanannya merintis organisasi tersebut, Minke bertemu dengan Ang San Mei.

Seorang gadis Tionghoa yang merupakan anggota organisasi Tionghoa Hwee Koan, sebuah organisasi Tionghoa di Hindia Belanda yang berdiri pada tahun 1900.

Perkenalan Minke dan Ang San Mei dimulai dari surat mendiang sahabat Minke  bernama Kwo Ah Soe yang merupakan tunangan Mei.

Ang San Mei memberikan pengaruh besar dalam kehidupan Minke. Sebagai seorang organisatoris dan juga menjadi Istrinya, Mei terus mendorong Minke untuk membuat organisasi bagi sebangsanya sendiri.

Karena pada saat itu, belum ada organisasi  pribumi yang mampu menjadi pelindung dan pengayom bagi mereka. 

Sayangnya, jalinan kasih Minke dan Ang San Mei tidak berlangsung lama. Ang San Mei meregang nyawa karena penyakit Hepatitis yang dideritanya.

Perpisahan dengan Ang San Mei membuat Minke terpukul dan bertekad untuk menjadi pembela bagi pribumi sebangsanya.

Ketika para pejuang lain memilih jalan perlawanan bersenjata, Minke justru memilih jalan jurnalistik dalam perjuangannya.

Bersama beberapa kawan dan kenalan, Minke kemudian mendirikan sebuah organisasi Pribumi bernama Syarikat Priyayi, dengan surat kabarnya bernama 'Medan'.

'Medan' menjadi suratkabar yang paling digandrungi oleh pribumi dari segala kalangan.

Dari priyayi sampai rakyat biasa, semua merasa terwakili dengan hadirnya 'Medan'.

Medan' menjadi sumber bacaan bagi pribumi dan penerang bagi mereka untuk mengetahui dan mendapatkan hak-haknya, juga menjadi sarana untuk merekrut anggota baru bagi Syarikat.

Namun, gemilangnya 'Medan' tidak sejalan dengan gerak roda organisasi Syarikat Priyayi.

Dominasi priyayi dalam organisasi menjadikan Syarikat macet tak berkembang.

Feodalisme budaya Jawa yang terwujud dalam sembah dan rangkak  masyarakat yang menjadi anggota syarikat kepada para priyayi, menjadi faktor mengapa Syarikat tidak menjadi organisasi yang  seperti Minke harapkan.

Justru dengan mendirikan sebuah organisasi modern, Minke menginginkan budaya tersebut dihapus, dan menjadikan semua anggota organisasi berada dalam kesetaraan, baik  dari kalangan priyayi ataupun bukan priyayi.

Pada akhirnya Syarikat Priyayi mati. Namun tidak demikian dengan surat kabarnya 'Medan'.

Dengan para pelanggan yang semakin bertambah luas di setiap daerah, 'Medan' berkembang pesat dalam bentuk majalah, dan koran, menjadi media pribumi pertama yang paling mendominasi di Hindia Belanda.

Lewat 'Medan' pula, Minke memobilisasi segala daya melawan kekuasaan Belanda yang telah berlangsung berabad-abad umurnya.

Melalui 'Medan', Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik.

Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru: "Didiklah rakyat dengan organisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan." (Mhb)

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak