Pena Laut - Di telinga kita sudah tidak asing lagi mendengar nama seseorang dengan banyak julukan sastrawan, kolumnis, jurnalis, politikus bahkan agamawan yang taat khususnya para kader organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Beliau adalah H. Mahbub Djunaidi.
Bagi kader PMII, beliau adalah salah satu pendiri—meskipun tidak dikategorikan ke dalam empat belas pendiri—yang mampu memberikan kontribusi yang tidak di ragukan lagi kepada organisasi.
Bung Mahbub, begitu sapaan akrab beliau, bagi para sahabat, beliau adalah sosok yang teguh pendirian, humoris dan sangat berani.
Di buktikan dalam tulisan-tulisannya yang kritis terhadap kekuasaan dan fenomena sosial kala itu.
Bahkan di awal Orde Baru, beliau sempat di penjara tanpa pengadilan.
Namun, bukan hal itu yang menjadi fokus tulisan ini, melainkan dari sisi jurnalisme yang mempunyai ciri khas tersendiri; satire dan humor di kemas apik oleh Bung Mahbub.
Maka tak berlebihan jika beliau dijuluki “Sang Pendekar Pena”.
Pramoedya Ananta Toer—sastrawan indonesia—menuliskan salah satu gagasannya dalam buku Jejak Langkah, salah satu seri dalam tetralogi buru, mengisahkan sosok Minke membuat surat kabar pertama milik pribumi dan melalui jurnalisme, ia berusaha membuka pandangan masyarakat akan ketertindasan pribumi kala itu. Kritik penguasa lewat tulisan.
Maka, menurut pendapat subjektif penulis, Mahbub Djunaidi adalah Minke di masa transisi—masa Revolusi dan awal Orde Baru—yang berusaha membuka pandangan masyarakat terhadap problem sosial, politik, ekonomi hingga budaya.
Banyak tokoh besar memberikan kesan pribadinya terhadap Bung Mahbub seperti, Goenawan Mohamad—wartawan, sastrawan, dan aktivis—mengawali tulisannya tentang Mahbub dengan kalimat emosional: “Saya punya kecemburuan pada Mahbub”.
Pendiri dan mantan Pemred Tempo ini melanjutkan, “Bagaimana dia bisa menulis hingga orang tertawa, padahal isinya cukup serius?”
Bagi Goenawan, Mahbub adalah penulis kolom yang belum tertandingi siapapun.
Kepiawaiannya dalam menulis—satire dan humor—membuat tulisan-tulisan beliau memberikan ciri khas tersendiri.
Bagaimana mungkin, kritik tajam di kemas melalui bahasa yang pada sebagian orang dianggap “kasar”, justru membuat orang tertawa?
Hal tersebut tak lepas dari kecerdasan dan ketangkasan beliau dalam menulis.
Bayangkan, selain beliau mempunya ciri khas dalam menulis, beliau juga menulis sekali jadi. Orisinil tanpa melewati proses editing.
Aktivis pergerakan harus berupaya meneladani dan mencetak “Mahbub-Mahbub” baru, kendati sebagian orang sosok seperti Mahbub Djunaidi tidak akan ada lagi. Hanya satu, the one and only.
Oleh : Dendy Wahyu
Posting Komentar