Pena Laut - Pada 15 Agustus 2019, Rumah produksi film Falcon Pictures merilis Film berjudul “Bumi Manusia”.
Film yang diadaptasi dari roman dengan judul yang sama, karya seorang sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer ini, disutradarai oleh Hanung Bramantyo.
Pada adegan permulaan, kita disuguhkan dengan narasi yang diceritakan oleh aktor muda Iqbaal Ramadhan yang memerankan tokoh Minke, sebagai tokoh utama dalam film ini.
Dalam narasi pembuka itu diceritakan bahwa bangsa Hindia Belanda telah memasuki zaman yang disebut dengan Zaman Modern, sebuah zaman yang membawa kemajuan dalam segala bidang, yang dibawa oleh bangsa Eropa.
Tentu bagi saya pribadi, sebagai salah seorang penggemar dan pembaca karya-karya Pram, dengan suguhan adegan yang demikian, berharap dalam menit-menit berikutnya akan mampu merepresentasikan apa yang tertuang dalam roman sepenuhnya. Namun ternyata harapan itu pupus pada akhirnya.
Bumi Manusia: Antara Film dan Novel
Sejak kabar film ini akan dirilis berhembus di tengah masyarakat, banyak menuai pro dan kontra, terutama dari para pembaca novel karya Pram.
Menurut mereka, dengan adaptasinya novel Bumi Manusia ke dalam film, justru akan merubah banyak pesan dan nilai sosial kemanusiaan yang terkandung dalam novel tersebut.
Kekhawatiran ini, juga datang dari saya pribadi, karena menurut saya, novel Pram yang luar biasa itu penuh dengan pesan tentang bagaimana sebuah bangsa harus berani bangkit dari keterkungkungan penjajahan.
Bukan hanya sekedar kisah cinta dua anak manusia semata.
Pram dalam novel Bumi Manusia, melalui bahasanya yang khas, banyak menyiratkan pesan tentang latar belakang ekonomi-politik, serta permasalahan sosial yang terjadi di masa kolonial akhir abad 19.
Di setiap dialog para tokohnya, syarat dengan bagaimana perlakuan bangsa Belanda terhadap pribumi yang diskriminatif.
Memandang rendah, sebagai bangsa yang tertinggal, dan tak mampu disederajatkan dengan bangsa bangsa eropa.
Salah satunya seperti perbincangan antara Minke dengan Sarah dan Miriam, kakak beradik putri Tuan Asisten Residen de la Croix (Hal.205-217).
Seolah Pram ingin menyampaikan sebuah pesan penting terhadap setiap pembaca, bahwa sebagai sebuah bangsa yang generasi mudanya turut memberi peran di setiap pergerakannya harus memiliki semangat untuk membaca dan menulis, juga mencintai karya sastra.
Sosok Minke dalam cerita ini, sebagai tokoh utama, adalah representasi dari pesan Pram tersebut.
Sebagai seorang siswa Hoogere Burgerschool (H.B.S) sekolah yang setara dengan Sekolah Menengah Atas, ia banyak menulis surat, dan cerita yang termuat dalam koran
Melalui kecintaannya terhadap sastra dan ilmu pengetahuan, Minke menjadi sosok pribumi Jawa yang berbeda dengan sebangsanya pada umumnya.
Ia seolah menjadi sosok pembaharu, yang di masa mendatang akan menjadi pelopor dari bangkitnya pergerakan sebuah bangsa yang telah lama terjajah.
Seperti yang ditulis Miriam de la Croix Kepada Minke dalam suratnya. Berikut penggalannya:
“Sahabat, jangan kau heran, Papa mempunyai perhatian besar terhadapmu,”
Sampai dua kali ia bertanya, ada atau belum surat dari kau. Papa ingin sekali mengetahui kemajuanmu. Sungguh ia terkesan oleh sikapmu. Kau, katanya, orang Jawa dari jenis lain, terbuat dari bahan lain, seorang pemula dan pembaharu sekaligus,” (Hal. 283)
Sementara itu dalam Film, korespondensi antara Minke dengan keluarga de la Croix ini tidak dimasukkan dalam cerita, namun hanya berfokus pada cerita cinta Minke dan Annelies.
Terlepas dari tujuan pembuatannya, film Bumi Manusia arahan Hanung Bramantyo ini dalam pandangan saya memang jauh dari entitas yang ada dalam novelnya.
Karena bagaimanapun, Bumi Manusia bukan hanya sekedar kisah cinta antara Minke dan Annelies Mellema semata.
Namun di dalamnya penuh dengan pesan berharga yang ditujukan kepada bangsa ini, terutama bagi generasi mudanya, agar mau menjadi pribadi yang mencintai ilmu pengetahuan, dan menjadi pelopor bagi perubahan di segala bidang.
Dan tentunya dimulai dengan membaca dan menulis.
Oleh : MHS
Posting Komentar