BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Dari Rukun Islam ke Transformasi Sosial

Semenjak duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK), kita telah di ajari oleh guru yang sangat sabar, semoga beliau-beliau dirahmati Allah SWT, ikhlas dan perjuangan tanpa letih mengajari kita sedikit demi sedikit. Mulai dari huruf-huruf, mengeja dan permainan yang mendidik. Begitupun “Rukun Islam”, kita di ajari mereka dengan riang gembira dan terus diulang agar hafal hingga dewasa.

Pena laut
Dewasa ini, kita diajari oleh Kyai (yang dilegitimasi oleh masyarakat, bukan atas pengakuan individu), hadits-hadits shohih. Dalam kitab Arba’in An nawawi hadits ketiga disebutrkan,

                                                                                              
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
[رواه الترمذي ومسلم ]

“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Al Khatthab radiallahu’anhuma ia mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Mekkah dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

 

Baiklah, saya tidak akan berlama-lama bernostalgia semasa balita. Itu pun tidak penting bagi kalian yang membaca tulisan ini. Kita tahu bahwa, Rukun Islam terdapat lima urutan mulai dari syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Terkesan individual kalimat diatas. Tapi sebenarnya terdapat dimensi sosial yang (mungkin) belum kita ketahui.

Hal diatas dapat dilihat pada kutipan berikut,

“Pada dimensi individu, ukuran keimanan bersifat sangat pribadi dan merupakan urusan seseorang dengan Allah sendiri (hablun minallah). Sedang apa dimensi sosialnya, syahadat yang tampak bersifat sangat pribadi itu ternyata berwawasan sosial, karena pengucapannya harus dilakukan di muka orang banyak, seperti dalam persaksian perkawinan. Apalagi tentang Rukun Islam yang lain. Shalat, apalagi berjamaah, berfungsi mencegah perbuatan keji dan munkar, yang berarti berorientasi menjaga ketertiban masyarakat. Sementara zakat telah jelas sebagai ibadah sosial, puasa adalah keprihatinan sosial, dan ibadah haji adalah saat berkumpulnya kaum muslimin dari segala penjuru dengan berbaju ihram yang sama tanpa memandang pangkat dan kedudukan.” (RMI, 2020 : 41-42)

Dalam hal ini, Gus Dur yang menjawab pertanyaan para kiai se-Jawa Barat kala itu memberikan banyak pengetahuan dan tuntutan bagi kita untuk terus berusaha merealisasikan berbagai konsep yang diangkap “kaku”, agar dapat di manifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat, sosial.

Apabila agama berangkat dari keyakinan, maka keyakinan yang telah kita tanamkan baik-baik dalam hati haruslah berdampak pada orang lain. Seperti halnya paham Ahlussunnah wal jama’ah yang dulu di pahami sebagai teologi semata, berkat intelektual nahdliyin kala itu, termasuk KH. Said Aqil Siroj dan para team perumus, mampu menjadikan paham ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA) sebagai manhaj atau metodologi berfikir dan bergerak.

Tanpa panjang lebar dalam memaparkan hal tersebut, tugas kita saat ini adalah giat mempelajari khazanah islam yang saat ini mulai terbengkalai. Seperti kitab-kitab kuning, sejarah, filsafat islam, dan disiplin ilmu lainnya. Sembari belajar teori, kita juga di tuntut untuk mengamalkannya. Sebagai penutup tulisan yang abstrak ini, saya akan menutupnya dengan penggalan sya’ir dalam Kitab populer di pesantren : 

فَسَــادٌ كَبِيْرٌ عَــــالِمٌ مُـتَهَتِّــــكٌ ۞ وَ اَكْبَرُ مِنْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكُ

هُمَا فِتْنَةٌ فِي الْعَالَمِيْنَ عَظِيْمَةٌ ۞ لِمَنْ بِهِمَا فِيْ دِيْنِــــــهِ يَتَمَسَّكُ

Artinya : Kerusakan yang besar adalah orang yang berilmu tapi tidak tahu malu dengan selalu bermaksiat. Dan kerusakan yang lebih besar lagi adalah orang yang bodoh namun tetap bersikukuh menjalankan ibadah dengan kebodohannya.

Kedua orang ini fitnah terbesar di dunia bagi siapapun yang berpegang teguh mengikutinya

 Oleh : D.W Anugrah

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak