BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Hari Tani Nasional dan Nasib Petani yang Kian Termarginalkan

"Petani adalah penolong negeri."                                                                                                       (KH. Hasyim Asy'ari dalam Soeara Moeslimin Indonesia, 15 Januari 1944.)

24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional (HTN). Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA).

Pada tanggal 24 September 1960 dan ditetapkannya tanggal tersebut sebagai Hari Tani Nasional oleh  Presiden Soekarno, melalui Keppres No. 169 Tahun 1963, menjadi awal dari peringatan hari tani yang kita peringati hari ini, Jum'at 24 September 2021.

Nari tani nasional

Pada usia ke 58 tahun peringatan hari tani yang kita peringati tahun ini, nasib petani justru semakin memprihatinkan.

Seiring dengan merosotnya harga cabai beberapa waktu yang lalu, impor berbagai kebutuhan pokok yang terus digenjot oleh negara, dan perampasan lahan dan ruang hidup kaum tani yang memicu konflik agraria di berbagai daerah, menambah lengkap penderitaan mereka.

Apa yang menjadi harapan para pendiri bangsa, dengan menerbitkan UUPA 1960, nampaknya masih menjadi sebuah angan yang melambung tinggi di angkasa.

Sejatinya UUPA 1960, mengamanatkan Reforma Agraria, yakni pemerataan pembagian  lahan pertanian kepada petani (Redistribusi),  dan memberi kekuasaan penuh rakyat atas kepemilikan tanah. 

Namun di zaman Presiden Soeharto, di bawah rejim Orde Baru, masyarakat justru tak lagi memiliki kuasa atas tanah mereka.

Melalui beberapa undang-undang yang diterbitkan oleh Presiden Soeharto, seperti  Undang-undang Penanaman Modal Asing 1967, UU Pertambangan, dan UU Pokok Kehutanan yang diterbitkan di tahun yang sama, seolah menjungkirbalikkan semangat dan cita-cita Reforma Agraria. 

Di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, diterbitkan UU No 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang ditandatangani pada tanggal 24 September 2018, nampaknya hanya sebagai fatamorgana saja.

Masih maraknya perampasan tanah dan ruang hidup rakyat di berbagai daerah, adalah sebagai buktinya. Menyusul dengan ditekennya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), UU Minerba (Mineral dan Batubara), semakin memperjelas tidak komitmenya pemerintah dalam menegakkan reforma agraria sejati.

Petani, yang selalu digadang-gadang sebagai garda depan bagi ketersediaan pangan bangsa ini, justru kini tak mampu berbuat banyak, akibat serangan impor dan harga yang anjlok di pasaran.

Padahal, tanpa adanya peran penting dari petani, Negara ini bukanlah negara agraris, dan kita tak akan mampu mencapai swasembada pangan, seperti yang dicita-citakan. 

Lalu bagaimana dengan peran mahasiswa terhadap nasib petani hari ini ?

Penulis : Kawulo Ngawam

Baca Juga : Aku Cinta dan Perlawanan

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak