Pena Laut - Pada permulaan tahun 2015, seorang pemuda yang sedang menempuh tahun terakhir di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) tampak bingung dengan nasib keberlanjutan pendidikannya. Dia sering melamun.
Mungkin karena dia sendiri dari kalangan orang yang tidak kaya, membuat sikapnya jadi minder dengan teman-temannya yang sudah sesumbar akan menuju ke kampus-kampus besar dan terkenal setelah lulus dari SMA.
Sementara pihak keluarga pemuda tersebut menginginkan agar dirinya bisa menjadi kebanggaan keluarga, dengan menjadi seorang sarjana, dan punya pekerjaan mapan di hari depan.
Berbeda dengan kebanyakan siswa yang lain, yang seolah dengan cerah melihat nasib mereka di kemudian hari, sang pemuda merasa dilema berat tengah menimpa hidupnya.
Pasalnya, dalam kesehariannya, ia juga seorang santri kalong (santri yang hanya ikut ngaji diniyah namun tidak mondok).
Sang pemuda memiliki harapan besar agar dirinya pada suatu hari bisa menjadi seorang santri yang beneran mondok. Harapan besarnya itu rupanya bertentangan dengan keinginan sang ayah, yang juga memiliki titel sarjana di belakang namanya.
Menurut sang ayah, anak semata wayangnya itu adalah harapan terbesar keluarganya, yang akan mampu merubah nasib mereka kelak.
Sang pemuda punya pandangan lain. Menurutnya, menjadi santri lebih berarti dan punya manfaat besar bagi masyarakat sekitar. Karena santri yang punya latar belakang pernah belajar di pondok pesantren, selalu punya pandangan baik di mata masyarakat. Lebih-lebih di tengah masyarakat yang religius.
Mulai dari menjadi imam sholat, pemimpin tahlil, menjadi mudin saat ada yang meninggal, dan menjadi penyembelih hewan di hari qurban, adalah hal yang membanggakan bagi seorang santri.
Meskipun tidak sembarang santri bisa melakukan hal-hal tersebut, namun dalam pandangan sang pemuda, itu adalah cita-cita yang mulia.
Sang ayah juga punya pandangan lain. Menurutnya, menjadi sarjana, jauh lebih mulia. Mahasiswa, nama yang disandangkan kepada mereka yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, menjadi harapan masyarakat sebagai pembawa arah perubahan pada kehidupan yang lebih baik.
Menjadi sarjana berarti menjadi seorang yang punya ilmu tinggi. Itu tertanda dalam ijazah dan juga gelar yang tercantum di belakang nama.
Gelar itulah yang akan menjadi acuan berbagai perusahaan untuk menjadikan mereka yang bergelar menjadi karyawan. Ketika pekerjaan telah diperoleh, apalagi di sebuah perusahaan yang besar, maka keluarga karyawan akan bangga menepuk dada.
Ujian nasional telah berlalu, sang pemuda dinyatakan lulus dengan nilai yang biasa-biasa saja. Semua teman-temanya sudah bersiap untuk mengikuti pendaftaran di masing-masing kampus yang mereka impikan, sementara sang pemuda masih termangu meratapi nasibnya.
Masa pendidikan diniyah pondok yang masih tersisa satu tahun, dan masa pendaftaran kampus yang sudah dimulai, menjadi dua hal yang saling beradu dalam otak sang pemuda.
Dengan dorongan sang ayah yang tak kenal lelah, akhirnya sang pemuda ikut daftar di kampus yang sebenarnya bukan menjadi prioritasnya.
Berbagai pendaftaran telah dia ikuti, dan berbagai tes ujian telah dia lalui, namun Tuhan berkehendak lain, tak satupun kampus yang ia pilih mau menerimanya.
Mungkin ini kabar baik untuk pemuda, karena dia bisa menyelesaikan diniyah di pesantren satu tahun lagi. Tapi mungkin ini juga kabar buruk bagi sang ayah, karena harapannya untuk menjadikan sang anak sebagai sarjana harus tertunda.
Tahun 2016, satu tahun telah terlewati dengan banyak kenangan sebagai seorang santri kalong dan juga sebagai seorang santri yang lulus di jenjang Tsanawiyah.
Dari kabar yang didapat dari seorang kawan, sang pemuda mengetahui bahwa di kampus kecil yang ada di dekat tempat tinggalnya, telah membuka jurusan yang menjadi tujuan sang pemuda sejak lama, untuk menyalurkan pengetahuannya sebagai seorang santri, yaitu sebagai seorang da'i.
Hasrat yang lama terkubur hidup kembali. Sang ayah menjadi sumringah mendengar sang anak yang ingin kuliah. Dengan segera pendaftaran diikuti. Lalu tes ujian dilewati dengan mudah, maka sang pemuda kini telah resmi berstatus sebagai seorang mahasiswa.
Pada perkuliahan pertama, sang pemuda merasa asing dengan yang ada di sekitarnya. Semua hal yang pernah dia dapat di pesantren rupanya tak mudah dia terapkan di tempatnya yang baru kini.
Di kelas, dia terheran dengan model belajar yang sama sekali berbeda dengan yang ia terima selama ini. Selama di pesantren, dia mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan oleh gurunya.
Tidak pernah sedikitpun terpikir untuk berdiskusi lebih-lebih mendebat apa yang dipaparkan oleh guru karena itu merupakan bentuk kesopanan dan ketawadhuan.
Namun diperkuliahan, apa yang ia lihat justru berlawanan. Ketika seorang dosen menyampaikan materi, tak jarang di tengah pemaparannya ada seorang mahasiswa yang bertanya, menyanggah, bahkan mendebat apa yang disampaikan oleh dosen.
Keheranan sang pemuda terjawab, kala ia mengikuti sebuah perekrutan organisasi, yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
Bersambung............. :)
Cerpen ini ditulis oleh Sahabat Hasan Basri (Ketua Rayon Syariah 2019-2020).
Baca Juga : Filosofi Buah Blimbing
Posting Komentar