BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Filosofi Buah Blimbing

filosofi buah belimbing
Pena Laut - Pagi itu hujan sudah mulai reda setelah semalaman lebat dan tak mau bersahabat. Beberapa anak sudah  mencari buah kampung alami yang terus berjatuhan, ada mangga gadung dan jambu biji yang elok, kebetulan musimnya seperti bersamaan. Mengganggu goyang lidah jika melihat ranumnya, meski sebagian ujungnya telah dimakan kelalawar.

Orang desa menyebutnya codot, ya codot memang bermainya pada waktu malam, jika siang adalah waktu spesial mereka untuk tidur. Begitulah circle komunitas alam, manusia, hewan dan peradabannya. Sungguh menajubkan, bagi mereka yang mau berfikir.

Lain mangga lain juga blimbing. Blimbing hijau menguning, mangga juga berangkat dari hijau menguning, akan tetapi blimbing hadir tidak menunggu musim jika ia ingin berbunga, seketika itu ia berbunga. 

Blimbing lebih suka main simbol-simbol, sedangkan mangga dia lebih suka bermain lugu seadanya saja, ia tak mau berubah bentuk, dari pencit menjadi ranum, dia tetap di dahan dan ranting yang tinggi. Blimbing masih terus bermain symbol dan sandi.

Blimbing adalah pertanda bahwa diri itu telah memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai makhluk yang mulia, blimbing telah menyadari akan kemahakuasaan Tuhan, blimbing tahu bagaimana menuju jiwa yang tenang, tak kalut pada keadaan dan goncangan jiwa jaman.

Blimbing adalah teladan insani ketika harus menyusuri kehidupan dari kecil yang lemah hingga dewasa dan berujung pada kematian. Blimbing tak hanya sekedar buah yang lezat, akan tetapi ada kisah inspiratif yang sepektakuler di dalamnya. 

Mbah Zein pada senja sempat memberikan petuah kepada santri-santri yang ada di musholanya.

“Kalian jangan lengah dan kendor dalam belajar ilmu agama, peganglah prinsip rukun islam dengan kuat satu demi satu, sesuai perkembangan jiwa ragamu kelak. Raihlah kearifan hidup sebagai buah blimbing seperti yang pernah diajarkan oleh Sunan Kalijaga pada abad 15 silam di tanah Jawa Tengah.Buah blimbing itu seperti keajaiban, memiliki pelipis yang runcing berjumlah lima, sebagai symbol rukun islam, syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji bagi kalian yang sudah mampu melaksanakanya!” 

tutur Mbah Zein, kemudian ia menyanyikan tembang lir-ilir yang sangat filosofis itu.

Lir-ilir

Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir 

Tak ijo royo royo tak sengguh penganten anyar

Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi

Lunyu lunyu penekno kanggo basuh dodotiro

Dodotiro dodotiro kumintir bedhah ing pinggir

Dondomano jrumatane kanggo seba ngko sore

Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane

Sun surako surok hiyo.

“Wah iya mbah, insyaa Allah saya akan bisa melaksanakanya,” seru Hanafi dengan optimis yang tinggi. 

“Siap mbah, kenapa kok Sunan Kalijaga mencontohkan blimbing dalam tembang tadi mbah, kok tidak buah kelapa?” sela Alif dengan antusias.

“Itu kebetulan saja, blimbing bisa dijadikan pijakan untuk rukun islam, seandainya ada buah nangka yang bentuk fisiknya seperti buah blimbing ya tentu saat itu buah nangkalah yang dijadikan symbol dan untaian lirik-lirik dalam tembang oleh Sunan Kalijaga.

Sudahlah ini saatnya Adzan magrib , siapa yang jadi Muadzin? Ahmad, Alif, Hanafi, Zaky atau Fikri?” Mbah Zein mengurai sejarah masa lalu seraya mengambil hati para santrinya yang sepanjamg tahun hanya berjumlah lima orang itu.

Tak lama kemudian Fikri meraih mikrofon dan menunjukan suara merdu serta nafas panjangnya. Mbah Zein tampak bangga melihat dan mendengarkan Fikri mengumandangkan adzan magrib.

Yatim piatu yang kini hidup bersama kakeknya mbah Irsyadul Ibad, rumahnya berjarak setengah kilometer dari mushola, Mujahidin itu memang terkenal cerdas sejak SD. Selepas sholat magrib mbah Zein meneruskan ngaji kitab yang menjadi tradisinya.

Guru ngaji yang berjiwa budayawan religius itu hampir sama dengan Gus Mus dalam gaya tausiahnya. Sesekali, beliau melontarkan pertanyaan kepada santrinya, baik berupa ayat Al quran atau syair islam.

Para santri jadi betah dan rindu untuk berkumpul dengan sang guru.

“Bocah-bocah, sebagaimana setelah sholat isya kita akan berpisah, jangan lupa terus belajar dan berdoa serta berolahraga dengan rutin dan istirahat yang cukup. Ingat pandemi covid 19 belum berakhir kita harus taat pada prokes.

Belajarlah bersedekah sekali tempo, karena bersedekah dapat menolak bala dan memanjangkan umur, melancarkan rezeki serta dicintai Allah dan manusia. Marilah kita tutup pengajian malam ini denagan membaca surah Annasr dan doa kaffarotul majlis, nashrun minallah wa fathun qarib, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh, mbah Zein menutup pengajiannya di musholla yang asri.

Seketika itu lampu mushola mati, kecuali sebuah lampu pijar di serambi dan dua buah lagi masing-masing di tempat wudhu putra dan putri.

Katak berut pun menyanyi bersautan, prtanda parit-parit di desa dipenuhi dengan air lantaran musim hujan mulai mengekalkan diri. Maka tak ayal jika ratusan anak katak hijau pun enggan diam, menghias suasana malam tanpa kesal, sebelum selanjutnya pagi menyapa.

Baca Juga : Aku Bangga Menjadi Pelacur

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak