Aku adalah Rossa, penduduk Desa Liberte. Di desa kami yang terhempas tanah yang berwarna hijau ditemani pepohonan yang masih asri. Sekitar abad 19, imperialisme dari bangsa Eropa telah memporak – porandakan tanah kelahiran kami.
Pagi sekali aku terbangun mendengar teriakan yang keras dari depan rumah, ternyata ia Mirsah si wajah bulat, yang dibawa paksa oleh tentara bejat Eropa untuk dijadikan pemuas birahi busuk mereka.
Aku menangis menjadi jadi di dalam kamar dan terus berdo’a kepada Tuhan agar aku dijauhkan dari malapetaka. Kekasihku bernama Jean Egaliter.
Ia kekasihku, dengan selalu membawa kemarahannya dengan orang berbangsa Eropa itu.
Sesudah terjadi teriakkan Mirsah, tiba – tiba suara langkah kaki yang mengendap endap menuju ke jendela kamarku..
"Tuhan, selamatkan hambaMu ini", desusku
"Sssstttt..sssttt.. Rossa ? dimanakah engkau kekasihku ?"
Ternyata ia Jean yang mengkhawatirkanku dan datang kerumahku dengan cepat. Lalu ia kupersilahkan masuk kerumah dengan keringat yang bercucuran.
"Kau mau air minum, Mas?"
"Air putih saja, Sa..", dengan suara terengah – engah
"Ini, Mas, airnya diminum dulu"
Dengan satu kali tegukkan langsung habis. Diruang tamu itu ia menceritakan kejadian dijalan – jalan yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri kebiadaban orang – orang Eropa itu.
Kami berniat jalan – jalan selesai berbincang di ruang tamu, memakai sepeda ayahku yang sudah lama tak terpakai.
Ayahku mati karena mencoba membuat gerakan massa untuk mengusir penjajah, tapi sayangnya ia gugur karena ditilap oleh kawannya sendiri yang saat ini menjadi mandor dilahan teh desa Liberte.
Tempat bermain masa kecilku telah diubah menjadi tempat para pelacur dan penjudi diwaktu malam hari, sawah – sawah yang indah dari kejauhan berubah menjadi lautan keringat – keringat pribumi.
"Kekasih, kalau nanti aku tiada, maukah kau meneruskan perjuanganku dan ayahmu ? melawan manusia biadab itu!", dengan mata merah dan kata – kata yang berapi – api.
"Mas, aku akan selalu ada dimanapun engkau berada, bahkan digaris depan melawan iblis – iblis jahannam itu.
"Kalau kau mati, akupun harus ikut mati. Lebih baik mati dalam perlawanan daripada hidup memakan hak – hak sesama", kupeluk erat kekasihku seakan enggan untuk ditinggalkan
Dari kejauhan terlihat dua tentara yang sedang berjalan sempoyongan membawa botol arak ditangannya. Tiba – tiba ia menghalangi kami,
"You orang sini ? pribumi monkey! Budak – budak tak bisa diatur", ia menendang kekasihku Jean dan memukulinya tanpa ampun.
Kekasihku dibuatnya seperti bermain sepakbola, tendangan dari kanan ke kiri hingga kekasihku pingsan dibuatnya.
Aku teriak tidak ada yang berani membantuku waktu itu, mereka memandangiku dengan wajah iblis!
"You cantik juga, puaskan kami berdua!"
"Jangan..jangan.. Mas! Tolong aku! Tuhan, kutuklah biadab – biadab ini!", seruku yang terus dipaksa oleh mereka.
Aku menangis sejadi – jadinya, mahkotaku direnggut oleh iblis - iblis jahanam yang menjajah negeriku. Kekasihku siuman dari pingsannya, melihatku dengan pakaian yang berantakan ia menatapku dari bawah keatas..
"Sayang, kau ? kenapa denganmu ?", dengan matanya berkaca – kaca.
"Maafkan aku, Mas, mereka telah merenggut kehormatanku," aku tak mampu menahan tangisan
"Persetan!".
Ia menangis memelukku lalu ia menggendongku untuk pulang kerumah. Dengan matanya yang berapi – api, dada yang terus menerus memberontak seperti ingin memukul iblis – iblis yang telah membuatku hampir gila!.
"Sayang, kau beberapa hari ini dirumah saja ya, jangan keluar rumah. Jika rindumu tak mampu terbendung, sebut namaku dan pejamkan matamu, rasakan aku dalam ruang hatimu.
Beberapa hari ini aku akan pergi sebentar, tak lama, pasti aku akan pulang untukmu. Sehabis itu aku akan menikahimu, Sayang".
Tanpa berkata – kata akupun tersentuh dengan kata – katanya. Dikecupnya keningku dan ia pun pergi dengan berlari seperti dikejar anjing – anjing tirani.
Sudah empat hari aku tak keluar rumah, pintu rumahku ada yang mengetuk..
"Rossa! Rossa..!", teriak seseorang sepertinya gugup sekali.
Kupersilahkan masuk seseorang itu.
"Sebentar, Tuan, akan kubuatkan minum dulu".
Entah mengapa ia menolaknya dan sepertinya ada hal yang akan dibicarakan olehnya.
"Rossa, kau dengar kabar ada perlawanan besar besaran di perbatasan desa Liberte dan desa Hierarji ?" dengan kata – kata yang terbatah – batah.
"Disana, sahutnya, kaum pribumi melawan tentara – tentara Eropa, Ros, kau tahu siapa yang memelopori gerakan itu ?"
Aku masih terdiam .
"Dia adalah kekasihmu Jean, empat hari yang lalu ia mengamuk di tengah desa dan mengajak warga untuk melawan kedzhaliman orang – orang Eropa itu".
"Lantas, mengapa kau kemari ? toh, memang kekasihku Jean dari dulu memihak perlawanan. Ia sering membicarakan revolusi kuba dan sebagainya".
"Bukan itu yang ingin aku beritahu padamu, Ros".
"lantas?" heranku
"Jean Egaliter yang memelopori gerakan warga itu diketahui oleh gubernur jenderal. Aku memang sahabat yang bodoh, Ros, tak mampu menjaga kekasihmu".
"Apa maksudmu ?"
"Jean tewas ditembak sepuluh kali oleh tentara – tentara itu, Ros".
"Biadab!"
Aku berdiri dan berjalan ke teras rumah. Kupanggil semua warga desaku.
"Wahai penduduk desa Liberte, empat hari yang lalu saudara – saudara kita telah memperjuangkan tanah kelahirannya yang dirampas oleh iblis – iblis yang menjelma menjadi manusia itu.
Kekasihku telah mati dibarisan perlawanan! Mungkin juga keluarga, saudara kalian semua.
Tuhan tidak tuli! Tuhan mendengarkan rintihan hambaNya yang tertindas! Teruslah hidup para warga! Jangan sampai mati dengan tak berarti.
Kejadian empat hari yang lalu akan menjadi sejarah, bahwa disini, di tanah kelahiran kita ini, pernah terjadi pemberontakkan kepada orang – orang yang seharusnya hidup di Neraka!"
Aku tak mampu menahan tangisku setelah orasiku yang berapi – api. Kekasihku adalah pahlawan bagi sebangsanya.
"Mas, kau selalu hidup di dalam hati manusia – manusia yang berbudi luhur dan melawan segala bentuk penindasan! Selamat jalan, kekasih, sampai kapanpun aku mencintaimu dan perjuanganmu".
Penulis Sahabat Dendy Wahyu Anugrah (Ketua Rayon Syariah 2020-2021)
Baca Juga : Santri dan Mahasiswa
2 komentar